Siang dengan panasnya yang terik terasa memanggang kota kabupaten brebes , membuat orang-orang yang tidak ingin tersengat oleh panasnya matahari, berusaha mencari tempat berteduh. Namun bagi para kuli pasar, tukang becak, serta pekerja kasar lainnya, mereka bagai tak merasakan sengatan terik matahari. Mereka terus sibuk dengan pekerjaannya, agar bisa mendapatkan uang untuk sesuap nasi.
Seorang gadis cantik berseragan sekolah SLTA, dengan agak tergesa-gesa menuju ke sebuah toko buku yang ada di jalan RA. Kartini. Begitu sampai di depan toko buku, gadis cantik itu segera menerobos masuk ke dalam toko. Karena buru-buru dan agak meleng, sampai-sampai gadis cantik berambut panjang bergelombang hitam berkilau itu tak memperhatikan bahwa di depannya ada seorang pemuda yang tengah berdiri sambil memandang ke arah rak buku. Tak ayal lagi, terjadilah tabrakan diantara mereka.
Pemuda itu tersentak kaget. Begitu juga dengan si gadis. Lalu keduanya sama-sama tertegun, dengan mata saling pandang. Dan untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya diam membisu. Hanya mata mereka saja yang terus saling pandang
Cowok tampan berambut agak gondrong itu tersenyum. Sehingga membuat gadis cantik itu akhirnya jadi tersipu sembari menundukkan kepala
"Maaf," katanya lirih.
"Tak mengapa. Mau beli buku, ya?" tanya cowok
"lya... kakak sendiri?"
itu
"Namaku Kusuma. Kamu...?" kata cowok tampan berambut agak gondrong itu sembari mengulurkan tangannya mengajak kenalan.
Gadis cantik itu pun membalas uluran tangan cowok itu. Sehingga keduanya pun bersalaman. Kemudian gadis cantik itu menyebutkan namanya. "Suci. Atau biasa dipanggil Suci."
"Nama yang indah, secantik orangnya," puji Kusuma, yang kembali membuat Suci tersipu malu dan kembali menundukkan kepala. Seakan berusaha menyembunyikan rona merah yang tergambar di kedua pipinya.
"Kata-kata kakak, seperti seorang seniman
saja," desah Suci.
"Oh ya?"
"Ya. Apa kakak seorang seniman?" "Bagaimana kamu tahu?"
"Jadi, benar kakak seorang seniman?"
"Ya, seniman pemula yang masih kere karena baru berusaha merintis," tutur Kusuma sambil
tersenyum.
"Ah, kakak terlalu merendah." "Itulah kenyataannya."
"Tapi, saya yakin suatu saat kakak pasti akan menjadi seniman yang sukses. Oh ya, kalau boleh saya tahu, kakak berkarya di bidang apa?" tanyaSuci
"Cerita"
*Penulis?"
"Begitulah."
"Cerpen, atau novel?" "Novel "
"Wuah...! Apa karya kakak sudah ada yang diterbitkan?"
"Sudah beberapa.
"Wuah, boleh dong saya tahu?"
"Tuh..." Kusuma menunjuk ke conter buku. dimana terdapat beberapa novel yang dipajang "Yang mana, Kak?" tanya Suci sembari mendekat ke arah conter buku dimana beberapa novel dipajang.
Kusuma mengikuti, lalu mengambil beberapa novel yang merupakan karyanya dan memberikan nya pada Suci.
"Wuah, jadi kakak toh yang nulis novel ini?"
tanya Suci sambil memandang lekat ke wajah
tampan cowok berambut agak gondrong itu, seakan
berusaha memastikan dan meminta ketegasan dari
cowok itu.
Dengan bibir tersenyum, Kusuma meng
angguk. "Boleh dong aku minta? Soalnya aku juga suka kok baca-baca novel. Apa di rumah, kakak punya
koleksi?" "Ada. Setiap terbit, oleh penerbit aku diberi lima
buku. Ya, lumayan untuk koleksi. Jadi kalau dik Suci mau, biar nanti kukasih."
"Kapan?"
"Dik Suci maunya kapan?" "Ya, kalau bisa secepatnya."
"Ambil saja itu, b "Ah, enggak mau. Aku ingin yang benar-benar dari kakak dan sudah ditanda tangani oleh kakak sebagai bukti kalau novel itu benar-benar karya kakak. Soalnya nama pengarang di novel ini tidak sesuai dengan nama kakak, sih
"Baiklah. Biar nanti kuberi copy naskah
sekalian.
"Gitu, dong. Jadi kan bisa meyakinkan kalau novel-novel karya Adi Asmara ini benar-benar karya kakak. Tapi ngomong-ngomong, kok pakai nama samaran sih, Kak?" tanya Suci ingin tahu
Entahlah. Nama itu penerbit yang member," jawab Kusuma. "Kenapa tidak pakai nama kakak sendiri saja?
"Ya, aku sudah berusaha meminta agar memakai namaku langsung, tapi penerbit tidak mau Alasannya namaku kurang pasaran."
"Nama Kusuma kan bagus. Buktinya, ada artis yang namanya Kusuma," protes Suci. "Ya, itu menurut kita. Tapi menurut penerbit kan
lain
"Bener ya, Kak."
"Apanya?"
"Novel dan copy naskah yang kakak janjikan
"Bilakan kuberikan?" "Jika bisa, nanti malam"
"Boleh. Tapi, kemana aku harus mengirim? Sedangkan aku tidak tahu dimana rumah dik Suci Suci membuka tas sekolahnya, mengeluarkan sebuah buku dan sebatang bolpoin. Kemudian dia pun menuliskan alamat rumahnya. Setelah itu, Suci bermaksud merobek lembar yang telah dia tulis
alamat rumahnya, namun Kusuma dengan cepat
mencegah
"Jangan dirobek."
"Kenapa?"
"Boleh kupinjam bukumu?"
"Hmm... Boleh. Tapi pulangnya harus ada
ya? isinya, ya
"Apa isinya?"
"Puisi Sebagai penulis novel, aku yakin kakak juga pintar menulis puisi."
"Kok tahu?"
"Ya, menduga saja."
"Wah, jangan-jangan dik Suci seorang para "Uhh... Kok kakak berkata begitu,
normal"
Memangnya aku pantas jadi mbah dukun?" "Bukan mbah dukun."
"Lalu apa namanya?"
"Bidadari."
"lih... Ngerayu lagi." "Nggak boleh?
"Nggak dilarang
"Tapi, nanti ada yang marah." "Siapa yang marah?"
"Ya, pacar dik Suci,"
"Aku belum punya pacar, kok."
"Masa?"
"Suer.
"Terbuka nih ceritanya?
"Iya, dong Yang penting tidak buka-bukaan. Sebab kalau itu masih dilarang." sahut Suci sambil
tersenyum
Kusuma pun tersenyum.
"Dik Suci"
"Kamu kemari tentu perlu sesuatu, kan?" Wuah, kenapa aku jadi lupa tujuanku semula datang kemari? Kak sih.
"Kok aku yang disalahkan?" "Habis, gara-gara bertemu dengan kakak, aku jadi lupa pada tujuanku semula datang kemari Jadi, menyesal nih ceritanya?"
"tya. Tapi bukan menyesal tak suka. Menyesal kenapa baru sekarang kita bertemu ya?"
"Kenapa memangnya?" "Ya, kalau dari dulu, mungkin aku akan merasa lebih senang.
"Kenapa begitu?" "Ya, habis siapa tahu aku bisa menjadi teman
dekat si pengarang novel." "Memangnya kamu mau jadi pacar seniman kere macamku?"
"Kak jangan terlelu merendah. Sekarang mungkin kakak masih biasa, karena kakak baru pemula. Siapa tahu kelak kakak menjadi pengarang novel sukses dan terkenal seperti Mira W. Marga dan lainnya. Kalau kakak terus berkarya disertai dengan semangat, aku yakin kakak pasti akan bisa seperti mereka. Bahkan mungkin bisa melebihi mereka
"Insya Allah, semoga do'amu didengar dan dikabulkan oleh Allah." Jika do'aku terkabul, kuharap kakak jangan
melupakanku, ya?" "Tentu saja tidak. Nah, sekarang kamu keman mau cari apa?"
"Waduh, lupa lagi. Kak sih....* "Kok aku lagi yang disalahkan?"
"Iya, dong. Siapa lagi yang harus Suci salahkan? Gara-gara bertemu dan kenal dengan kakak, Suci jadi lupa apa yang harus Suci beli." "Alas tulis?"
Suci termenung, berpikir. Namun tak lama kemudian dia menggelengkan kepala Kusuma menyebut yang lain, dan lagi-lagi Suci menggeleng kan kepala
"Wuah, kok semua tidak? Jadi mau apa kemari? Masa kemari hanya untuk bertemu dan berkenalan denganku, sih?" goda Kusuma.
"Entahlah. Mungkin memang sudah jodoh, Kak." "Benarkah kita jodoh?" "Mungkin. Buktinya, kini aku benar-benar lupa pada tujuanku semula datang kemari."
"Baiklah kalau begitu. Karena kamu tak ingin membeli apa-apa, bagaimana jika untuk merayakan perkenalan kita, kutraktir makan bakso dan es teler di warung Bu Somad?" ajak Kusuma.
"Kak tahu warung Bu Somad?" "Iya, kenapa?"
"Memangnya, dulu kakak Kusuma sekolah
dimana?"
"Di SMU Negeri 1.
"Benarkah?
"Masa aku bohong?" Pantas, aku pernah dengar...
"Dengar apa?"
"Ya, aku pernah mendengar bahwa ada alumni SMU Negeri 1 Brebes yang menjadi penulis novel. Jadi itu kakak rupanya?"
"Mungkin."
"Kok mungkin?"
"Ya, siapa tahu ada alumni SMU Negeri 1"
Brebes yang lain, yang juga bisa menulis sepertika Tapi, katanya dulu sewaktu di SMU alumni juga sering menulis cerpen dan mengirimkannya majalah MOP dan juga mengelola majalah dinding Kuskui, itu memang aku."
"Tahun berapa kakak lulus SMU Negeri 1"Tiga tahun yang lalu," jawab Kusuma Jadi, aku masuk SMK, kakak keluar SMU? "Kamu kelas tiga sekarang?"
"tya." "Sebentar lagi ujian, dong." "lya."
"Kalau begitu, tentunya kamu sudah punya pacar, dong
"Huh, kok kakak tak percaya, sih?" "Tak percaya apa?"
"Bukankah tadi sudah kukatakan, aku belum punya pacar Aku belum ingin pacaran dulu, sebelum berhasil meraih cita-citaku," tegas Suci "Wah, kalau begitu aku juga tak punya harapan, dong.
"Kata siapa? "Lho, tadi kamu kan ngomong belum mau pacaran sebelum cita-citamu tercapai." "lya. Tapi untuk kakak ada kecualian."
"Kenapa begitu?" "Enggak tahu..
"Oke, ayo kita keluar dan menuju warung Bu Somad, ajak Kusuma
Kusuma mengajak Suci keluar dari toko buku itu. Kemudian sambil beriringan dan ngobrol keduanya pun menuju ke wanung Bu Somad yang terkenal akan bakso dan es telernya Bahkan semenjak Kusuma masih duduk di bangku SMU Negeri 1, warung Bu Somad sudah terkenal. Di warung itulah biasanya Kusuma dan teman temannya mangkal menikmati bakso dan es teler sepulang sekolah.
Kemunculan Kusuma di warung Bu Somad, langsung disambut ramah dan penuh suka cita oleh Bu Somad. Kusuma merupakan tangganan warung itu semasa masih duduk di bangku SMU, jadi Bu Somad sangat kenal dengannya. Dan setelah tiga tahun lebih tak bertemu, kini Kusuma muncul di warungnya. Ito sebabnya yang membuat Bu Somad merasa suka cita dan senang bertemu kembali dengan cowok itu. Yang walaupun dulu semasa di SMU badung, namun suka membela orang kecil. Bahkan dulu Kusuma pernah dicari-can polisi, gara gara membela seorang tukang becak yang sudah tua usianya
Ceritanya seperti yang Bu Somad dengar sendiri dan teman-teman Kusuma waktu itu, bahkan kemudian Bu Somad juga mendengar langsung dan Kusuma dan tukang becak yang dibelanya Siang itu, ketika Kusuma pulang sekolah dan melangkah menuju ke alun-alun kabupaten Brebes, dia melihat seorang polisi menghentikan seorang tukang becak yang usianya sudah tua karena salah jalan Tukang becak itu sedang membawa beberapa karung berisi buah kelapa Polisi itu, kemudian memarahi tukang becak tua itu. Bukan itu saja, dengan semena-mena polisi berpangkat sersan dua itu, mencabut spentil ketiga roda becak. Lalu menyuruh si tukang becak untuk kembali mengayuh becaknya.
Melihat ketidak adilan dan ketidak bijaksanaan sarda polisi itu terhadap tukang becak yang buta hurup dan buta hukum itu, seketika tergeraklah hati Kusuma untuk membela si tukang becak. Kusuma langsung berlari menghampiri. Kemudian dengan penuh keberanian, Kusuma pun memprotes tindakkan serdan polisi itu.
Terjadilan perdebatan antara oknum serda polisi yang tak berperikemanusiaan itu dengan Kusuma. Dan tiba-tiba, oknum serda polisi itu memukul Kusuma. Karena Kusuma adalah juara karate antar pelajar sepropinsi Jawa Tengah, maka dengan mudah dia mengelakkan serangan itu Kemudian dia pun membalas dengan pukulan telak ke wajah oknum serda polisi itu, yang seketika menjerit kesakitan. Dari hidung dan sudut bibir oknum serda polisi itu mengeluarkan darah. Bahkan ketika Kusuma kembali memberikan satu pukulan lagi, oknum serda polisi itu pun menggelosor pingsan. Teman-teman oknum serda polisi yang berjaga
di pos perempatan jalan A. Yani langsung menuju
ke tempat itu. Saat itu pun Kusuma yang melihat gelagat tak baik, langsung ambil langkah seribu. Seminggu Kusuma dicari-cari polisi. Namun petugas tak berhasil menemukannya. Bahkan di rumahnya di Bulakamba pun, polisi tidak berhasil menemukan Kusuma. Karena waktu itu Kusuma memang tidak pulang, tetapi menginap dan bersembunyi di rumah orang tua angkatnya yaitu dokter Sutarso.
Setelah seminggu tak berhasil ditemukan, akhimya Kusuma pun datang ke rumah Rudy, yang ayahnya menjabat sebagai komandan Polres
Brebes. Pada ayahnya Rudy, Kusuma pun menceri takan kejadian yang sebenarnya. Sehingga ayahnya Rudy mengerti duduk persoalannya. Dan saat itu juga, Kusuma diajak oleh ayahnya Rudy ke kantor Kusuma dipertemukan dengan oknum serda polisi itu. Oleh ayahnya Rudy, bawahannya itu pun diberi peringatan agar jangan bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil.
"Polisi adalah pelindung dan pengayom masyarakat. Jika tindakkan polisi sepertimu, bagaimana masyarakat akan memberikan penilaian baik pada kita?" tutur ayah Rudy "Citra kepolisian kita sudah buruk, itu disebabkan oleh oknum-oknum sepertimu, yang bertindak melampaui batas. Menjadikan jabatan dan pangkat sebagai alat gagah gagahan, yang membuat masyarakat kian bertam bah antipati terhadap polisi."
Oknum polisi itu akhirnya menyadari kekeliruan dan kesalahannya, lalu meminta maaf pada Kusuma Bahkan sejak peristiwa itu, antara Kusuma dan serda polisi itu pun menjalin persahabatan yang baik
Begitulah Kusuma. Demi membela kebenaran dan keadilan, dia harus berurusan dan menjadi buronan polisi selama seminggu. "Eh, nak Kusuma. Apa kabar?"
"Baik, Bu. Bagaimana dengan ibu? Saya berharap ibu juga sehat-sehat saja dan tak kurang satu apapun dan senantiasa dalam limpahan rahmat Allah."
"Amiin... Alhamdulilah, berkat do'a dari nak Kusuma. Wuah, sekarang sudah jadi penulis novel terkenal jadi lupa ya sama ibu?" "Kok ibu tahu kalau saya menulis novel?"
"Wuah, hampir tiap hari banyak yang membica rakan dirimu, nak Kusuma.
Kusuma hanya tersenyum sambil meng geleng-gelengkan kepala Sementara para pengunjung warung itu yang kebanyakan anak-anak sekolah putri, seketika mengarahkan pandangan mereka ke arah Kusuma dan Suci. Lalu mereka berbisik-bisik.
"Hei, anak-anak. Ini lho yang namanya Kusuma, yang sering ibu ceritakan pada kalian. Nak Kusuma ini langganan ibu dulu, semasa masih sekolah di SMU Negeri 1. Dan kini, nak Kusuma adalah seorang penulis novel."
Cewek-cewek berseragam sekolah itu mangangguk Kemudian salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya, "Jadi, kakak alumni SMU Negeri 1?" "Iya,"
"Kalau begitu, kakak yang sering dituturkan oleh guru-guru kami, dong?" "Memangnya, adik-adik dari SMU Negeri 1 Kusuma balik tanya. "lya."
"Apa saja yang guru kalian ceritakan?" "Ya, mengenal kakak. Dulu kakak pengelola atau redaksi mading, kakak juga dulu sering menulis cerpen dan mengirimkannya ke majalah MOP, dan banyak lagi. Kata guru-guru lagi, kakak dulu juga bengal, ya? Suka berkelahi dan suka membang kang."
"Wuah, terbuka deh kartuku," gumam Kusuma sambil tersenyum sembari meman-dang ke arah Sud yang juga terse-nyum. "Tapi, meski nakal dan bandel, kata para guru
kakak juga merupakan kebanggaan SMU Negeri 1." tambah cewek itu. "Oh ya?" Suci yang menyahuti "Kenapa memangnya?"
"Kak Kusuma itu juara karate antar pelajar se Jawa Tengah. Kak Kusuma juga juara mengarang dan membaca puisi antar pelajar se-kabupaten Brebes. Dan setiap kali ada pentas seni, maka kak Kusuma yang senantiasa menjadi sutradaranya. Iya kan, Kak?"
"Wah, apa yang guru kalian ceritakan itu terlalu berlebihan," jawab Kusuma.
"Ah, enggak juga. Bapak dan ibu guru bisa membuktikan kebenaran cerita mereka, kok. Di ruang guru, banyak piala dan piagam penghargaan atas nama kakak.
"Eh, kak. Ngomong-ngomong, sesekali ke sekolah, dong," pinta siswi SMU Negeri 1 lainnya. "Nanti kalau sudah terkenal."
"Sekarang kakak juga sudah terkenal," "Apanya yang terkenal? Aku belum bisa apa
apa. "Tapi sudah menjadi kebanggaan tersendiri, tho
kak.
"Alhamdulilah, jadi mengurangi dosaku dimasa lalu,"
"Dosa apa?" tanya Suci. "Ya itu, dulu aku badung. Suka berkelahi dan melawan guru. Padahal itukan tidak baik dan dosa. Sebab guru adalah orang tua kita juga," tutur Kusuma.
"Insyaf nih ceritanya?" goda Suci. Kusuma tersenyum. Suasana warung Bu Somad pun semakinsemarak, dengan berame-ramenya anak-anak SMU Negeri 1 yang kebetulan berada di situ meminta tanda tangan dari Kusuma, juga minta dituliskan puisi di buku mereka. Dan semua itu semaki membuat Suci kian bertambah kagum, juga simpati pada Kusuma
Jangan lupa ke sekolah, Kak," pinta siswi-siswi SMU Negeri 1 sebelum pergi meninggalkan warung Bu Somad,
"Insya Allah." "Jangan insya Allah, dong. Harus...!" desal mereka
"Kalau Allah tak mengijinkan, lalu besok atau nanti malam aku mati, bagaimana?" "Wuah, jangan mati dulu..." Suci yang menang
"Kenapa memangnya? Kita tak bisa menentang takdir Tuhan," kata Kusuma "Aku akan berdo'a, kiranya kakak diberi umur
panjang. "Terimakasih. Tapi, kenapa kamu ingin aku berumur panjang?
Suci tak menyahut. Dia justru malah diam sambil menundukkan kepala. Seakan berusaha menyem. bunyikan rona merah yang seketika itu muncul menghiasi kedua pipinya. Justru Bu Somad yang
malah menanggapi. "Masa nak Kusuma tak tahu sih?" "Tahu apa, Bu?
"Tahu perasaan, dong."
"Maksud ibu?" "Ya, perasaan nak Suci."
"Kenapa memangnya perasaanmu?" tanya Kusuma pada Suci.
"Enggak apa-apa. "Jangan memendam perasaan tho, nak Suci. Bahaya," goda Bu Somad.
"Seharusnya orang yang bersangkutan tak perlu diberi penjelasan, Bu," jawab Suci sambil melirik ke arah Kusuma.
"Wuah, inilah kelemahanku dari dulu Jika sudah ngobrol sama wanita, aku jadi sulit memahami nya," gumam Kusuma
"lih Suci gemas, talu sambil memelototkan kedua matanya yang indah bening, gadis cantik itu mencubit lengan Kusuma. Sehingga membuat Kusuma meringis kesakitan. Sementara Bu Somad hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku kedua sejoli itu