PART 2
Seperti janjinya, malam harinya, selepas maghrib dengan membawa beberapa novel dan juga beberapa copy naskah novel karyanya, Kusuma datang berkunjung ke rumah Suci yang jaraknya sepuluh kilometer lebih dari rumahnya di Bulakamba. Karena memang belum punya alat transportasi sendiri, untuk sampai ke rumah Suci, Kusuma terpaksa harus naik angkutan umum.
Seorang wanita cantik yang wajahnya mirip dengan Suci, berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu.
"Selamat malam, Tante?" sapa Kusuma sopan sambil menganggukkan kepala dan tersenyum. "Malam. Cari siapa ya?"
"Suci ada, Bu?" "Oh, cari Suci?"
"Iya, Bu."
"Ada. Adik siapa?"
"Saya temannya, Bu."
"Teman sekolah?" "Bukan, Bu. Teman biasa..."
"Nama adik siapa?"
"Kusuma, Bu."
"Niningnya sedang belajar," kata wanita itu. "Siapa, Bu?" terdengar suara Suci bertanya
dari dalam.
"Ada yang mencarimu."
Tak lama kemudian, Suci keluar. "Eh, kakak Kusuma. Ayo masuk, Kak."
"Terimakasih. Permisi, Tante." "Ya," sahut wanita separoh baya itu sembari melangkah pergi meninggalkan ruang tamu dimana putrinya dan Kusuma berada.
"Ibumu?" tanya Kusuma. "He-eh. Kenapa memangnya?"
"Tak apa-apa."
"Begitulah sikap ibu, Kak. Jangan diambil hati..." "Ah, tidak. Oh ya, aku jadi mengganggu belajarmu."
"Tidak. Aku sudah selesai kok belajarnya." "Ini kubawakan apa yang kamu minta."
"Wah, aku tadi siang cuma mengujimu saja kok, Kak. Aku sudah yakin kalau kamu penulis novel. Apalagi anak-anak SMU Negeri 1 Brebes turut memastikan kebenaran kalau kamu seorang penulis novel, jadi aku semakin bertambah yakin. Oh ya, mau minum apa?"
"Tak usah repot."
"Tidak. Sebentar, ya? Duduk dulu, Kak," kata Suci sembari melangkah masuk ke ruang tengah dengan membawa novel dan copy naskah pemberian Kusuma, meninggalkan cowok itu sendiri di ruang tamu.
Tiba di ruang tengah, ibunya memanggil.
"Suci..."
"Ya, Bu?"
"Siapa dia?" "Teman Suci, Bu."
"Anak mana?"
"Bulakamba.
"Masih sekolah?
"Sudah tamat tiga tahun yang lalu, Bu "Sudah bekerja?
Ya
"Dimana dia kerja?
"Di rumahnya.
"Kok?"
"Dia penulis novel" "Seniman?"
Suci mengangguk.
"Apa itu?"
"Copy naskah dan novel-novel karyanya
jawab Suci,
"Untuk apa dia berikan padamu?"
"Suci yang minta "
"Untuk apa?"
"Ya, untuk bukti bahwa kakak Kusuma de benar-benar penulis novel. Karena di jaman sekarang, banyak orang yang mengaku-ngaku seniman, namun ketika diminta bukti hasil karyanya dia tak bisa membuktikannya. Sedangkan kakak Kusuma, bisa menunjukkan bukti kalau dia memang seorang seniman, penulis novel. "Huh apa yang bisa dibanggakan dan
seorang seniman?" kata ibunya dengan suara sinis Suci tak menyahuti, dia pun melangkah menuja ke kamarnya untuk menyimpan copy naskah dan novel-novel pemberian Kusuma. Tak lama kemudian dia kembali keluar, menuju ke ruang makan untuk membuat-kan minuman untuk Kusuma.
Setelah selesai membuatkan teh manis, Suc pun membawanya ke ruang tamu dimana kusuma
"Maaf, agak lama "Tak apa"
Suci meletakkan cangkir berisi teh manis beserta tatakannya. Lalu setelah meletak-kan baki di kolang meja, Suci pun duduk di sofa yang ada di depan Kusuma duduk
Sesaat keduanya sama-sama dian, tak ada
yang berusaha untuk memulai bicara Hanya sesekali saja keduanya saling pandang kemudian
sama-sama tersenyum.
"Kak
"Ya?"
"Kok diam saja?
"Lalu, apa yang harus kukatakan?" "Diminum, Kak Maaf, yang ada cuma itu saja.
Tak apa. Bukan minumannya kok yang kutuju "Lalu apa yang ingin kakak tuju? "Bertemu denganmu."
"Ini sudah bertemu Kok malah diam?" goda Suci sambil tersenyum. "Memandangmu, rasanya aku jadi tak bisa mengucapkan kata-kata," tutur Kusuma
lagi
lih, mentang-mentang seniman. Berpuisi lagi
"Nggak suka, ya?"
"Suka
"Sungguh?" "Sungguh.
Kembali keduanya sama-sama dia Sementara di ruang tengah, wanita separoh baya ibu Suci tampak wajahnya menunjukkan rasa kura suka. Wanita separoh baya itu berharap anak punya teman lelaki yang orang kaya, bukan seorang seniman pemula yang belum punya apa-apa dan
pula, belum ada ceritanya seorang seniman bisa membahagiakan keluarganya. Jangankan mengurus rumah tangga, mengurus diri sendiri saja kada tak bisa
"Kak
"Ya?"
"Boleh aku tanya?"
*Silakan.
"Waktu di SMU, kakak sudah pernah punya
pacar?" "Belum"
"Yang benar?"
"Sungguh. "Masa, sih?"
Tak percaya ya sudah "Percaya
"Kenapa sih kamu tanyakan hal itu?"
"Ya, pengin tahu aja,"
"Kalau sudah tahu? "Ya, jadi hatiku tidak ragu dan bimbang lagi "Kamu mau menerimaku sebagai temanmu
"Kenapa tidak?
Begitulah obrolan yang keluar dari mulut mereka malam itu Jam tujuh ayah Suci pulang dari tempat kerjanya. Dengan sopan Kusuma memberikan
salam, kemudian memperkenalkan diri pada lelaki
separoh baya itu, yang tampaknya menerimanya
dengan baik. Teman sekolah Sucikan tanya ayah Suci
"Bukan Om Teman biasa "Oo ayah Suci manggut-manggut Sudah
kerja?
Menulis, Om
"Menulis apa?"
Cat Cat Abadi
"Kak Kusuma penulis novel, Pak
"Oo Seniman, dong?"
"Baru merintis, Om."
"Ya, sabar saja. Nanti juga berkembang
sendiri
ya, Om
Ya sudah, ngobrollah dulu dengan Suci Om masuk dulu, ya?"
"Ya. Om Ayah Suci pun meninggalkan putrinya dengan Kusuma, masuk ke ruang dalam. Di ruang keluarga, dia melihat istrinya tengah duduk sendirian sambil menyaksikan acara televisi
"Kok sendirian, Bu?" "Mau ngapain memangnya?"
"Ya, kan ada tamu. Temani ngobrol bagaimana
"Malas "Kenapa?
"Bapak setuju jika Suci berhubungan dengan
anak itu?
"Kenapa memangnya? Tampaknya dia anak "Dia kan belum bekerja, Pak."
Kata siapa? Dia sudah kerja, kok."
Menulis? "Ya itukan sama artinya kerja Bahkan dia malah bisa dikata berusaha atau wiraswasta sendiri.
Justru anak muda seperti dia yang kelak bisa
berhasil, Bu." "Ya sudah Tapi pesanku, kataupun kamu tak suka padanya, sebaiknya jangan tunjukkan sikap
"Ah, aku tak percaya...
tak sukamu di depannya?
"Apa pedulinya?" punya tepostiro, Bu
"Ya, kita harus
Ayah Suci hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap istrinya yang egois dan ma menang sendiri. Dari dulu, sikap istrinya memang begitu istrinya yang memang dulunya anak orang kaya, senantiasa memandang orang dari segi mater saja, tidak berusaha memandang dan hati nurani Sebaik apapun orang itu, kalau tidak menunjukkan materi, maka istrinya akan menganggap remeh
Sebenarnya ayah Suci tak suka dengan cara pikir istrinya. Dan dia pun selama ini bukan hanya diam saja. Sudah berulang kali dia menasehati namun semua percuma saja. Nasihatnya masuk telinga kanan, keluar telinga kini. Istrinya toh akan tetap saja dengan sikapnya yang sebenarnya tidak baik
Ketika jam menunjukkan angka delapan malam, Kusuma pun pamit. Hanya ayahnya Suci saja yang muncul, sedangkan ibunya tidak mau menemui
Kusuma
"Kalau begitu, tolong sampaikan salam pada Tante, Om," kata Kusuma. Ya, nanti Om sampaikan.
"Permisi, Om Selamat malam... "Selamat malam. Hati-hati, nak Kusuma Ya, Om Suci pun mengantar Kusuma sampai di jalan
Sambil melangkah, mereka kembali ngobrol.
"Suci "Ya, Kak?"
"Sepertinya ibumu kurang suka padaku."
"Biarkan saja, Kak. Toh buktinya ayah suka
pada kakak
"Kamu sungguh mau menerimaku sebagai
temanmu?"
"Kok kakak tanya begitu?"
"Ya, bagaimana juga aku hanyalah seorang seniman kere, . Aku juga bukan anak orang berada seperti keluargamu.
"Aku menyukai kakak bukan karena harta, Kak Tapi aku tulus menyukai kakak. Dan bagiku, kakak adalah lelaki pertama yang mampu menggurat kata cinta di hati, walaupun kita baru bertemu dan kenalan.
"Sungguhkah itu?" "Ya. Kak. Bagaimana perasan kakak sendin?"
"Aku pun merasakan hal seperti itu, Suci. Jujur saja, walau kita baru bertemu dan berkenalan, namun di hatiku telah tumbuh sekuntum bunga yang tertulis namamu Aku mencintaimu, Suci Dan jika kamu percaya, kaulah gadis pertama yang kucintai Dan aku janji, bahwa hanya kamu yang akan senantiasa mengisi hatiku.
"Aku pulang dulu, Suci."
"Besok, bisakah kita bertemu?"
"Dimana?"
"Jemput aku di sekolah." "Baiklah. Aku pulang dulu."
"Hati-hati, Kak. Dan ingat, jangan ngeluyur
kemana-mana." "Paling aku mampir ke rumah orang tua angkatku."
"Memangnya, kakak punya orang tua angkat
di Brebes ini?" l
"Ya, di Pesantunan."
"Oh ya?" "Ya."
"Ya sudah, hati-hati..."
"Kamu juga, jangan terlalu melek malam. Ingat, kamu harus mampu menunjukkan prestasi yang baik."
"Bersamamu, aku akan berusaha meraih cita-citaku
"Ya..." ucap Kusuma dengan bibir tersenyum.
Suci pun ikut tersenyum.
"Baiklah Suci, selamat malam."
"Malam..."
Kusuma pun meneruskan langkah dengan diikuti pandangan mata Suci yang berbinar-binar penuh rasa bahagia.