Edward tetap kembali ke kamar sang istri dengan jutaan pikiran yang menghantuinya. Perempuan yang di cintai nya itu sedang terlelap dengan teduh, namun hati Edward lebih bisa merasakan kesakitan di wajah itu. Apalagi setelah ia melakukan medical check up tadi.
Tidak duduk di samping ranjang Sonia, ia lebih memilih duduk di sebuah sofa mewah yang menghadap ke arah lain. Ia menengadahkan kepalanya, memijat lembut kening paripurna itu.
Tidak lama pintu kamar terbuka, Edward mengangkat wajahnya dan melirik ke arah pintu. "Edward?" ucap seorang lelaki padanya.
"Steve!" jawab Edward dia berdiri dan langsung menghampiri Steve lalu memeluknya.
"Tadi aku ke rumah, tapi asisten rumah tangga bilang istrimu sakit jadi aku kemari" lanjut Steve "Apakah dia baik-baik saja?"
Edward mengangguk, dan Sonia terbangun karena percakapan itu.
"Hai" Steve mendekati Sonia dan mengulurkan tangannya.
Sonia meraih tangan itu dan tersenyum."Hai" jawabnya.
"Maaf untuk ini, seharusnya aku datang ke pesta pernikahan kalian, tetapi kita malah bertemu di rumah sakit untuk pertama kalinya!" Steve tampak memelas.
"Aku tahu kamu mengejar mimpimu untuk membuat obat mendunia kualitas terbaik, jadi bagaimana hasilnya, hasil dari menelantarkan pernikahan adikmu?" Edward menyindir Kakaknya, yang membuat Steve merasa tidak enak terhadap Sonia juga.
"Aku akan tahu hasilnya, aku kesini untuk mendaftarkan obat itu agar di akui secara internasional aku harap segera melihat hasil akhirnya!" Steve tampak berharap dengan ucapannya.
"Istirahatlah lebih dulu, mungkin kakak lelah setelah tiba dari Belanda langsung kesini!" timpal Sonia.
"Aku cukup tidur di pesawat, no problem"
Kedua adik kakak itu kembali duduk di sofa sementara seorang suster datang untuk mengganti cairan infus Sonia yang habis.
Setelah mengobrol Steve pamit untuk menemui Ibu dan Ayahnya, ia lebih dulu menemui sang adik di banding kedua orangtuanya. Edward mengantar sampai lobby rumah sakit.
Di perjalanan pulang Steve memikirkan tentang obat yang ia lihat di meja di depan sofa dia duduk tadi bersama Edward. Obat yang sangat ia pahami betul karena itu adalah obat yang selama ini ia teliti.
Keesokan harinya Edward memiliki pekerjaan yang mengharuskan nya pergi ke luar kota selama satu Minggu. Dan ia meminta bantuan pada Steve untuk menjemput Sonia di rumah sakit.
Steve tidak menolak, karena dia juga tidak memiliki banyak pekerjaan, sebelum Edward menikah dia memang tinggal di rumah mewah milik adiknya itu dibandingkan dengan orang tuanya.
Kali ini pun Edward tidak keberatan jika kakaknya tinggal di rumah miliknya, memang rumah itu memiliki banyak kamar tidur di lantai satu maupun dua.
Pintu kamar rawat Sonia terbuka, wanita itu mengira Edward yang datang, namun harapannya musnah karena yang datang adalah Kakak iparnya.
"Sonia, Edward pergi ke luar kota untuk bisnis aku yang menjemput mu aku sedang luang," ucap Steve setelah melangkahkan kakinya kedalam ruangan itu.
"Maafkan aku Kak, jadi merepotkan padahal aku bisa pulang sendiri jika Edward tidak menjemput."
"Tidak masalah, lagi pula aku tidak ada kerjaan!"
Sonia di bantu keluar dari ruangan itu oleh Steve dan memasuki mobil sedan keluaran Italia yang terparkir di depan rumah sakit khusus pasien VVIP.
"Aku pernah melihat mobil ini di garasi Papa, tapi tidak ada satupun yang mengemudikan nya! ternyata ini milikmu Kak!"
Steve menoleh pada Sonia, seraya melihat gadis itu memegang bagian pintu mobilnya. "Lagipula banyak mobil di sana, Papa bisa menggunakan mobil manapun asal jangan Jaguar!" jawab Steve.
"Jaguar?" tanya Sonia, ia melihat betul merek mobil bukanlah yang di sebut Steve.
"Bukan merk nya, tapi nama mobil ini jaguar aku memberi nama karena warnanya yang pekat seperti jaguar hitam," Steve menjelaskan.
Sonia mengangguk. Mereka tiba di rumah. Dan langsung memasuki ruang tamu. "Son, kamu tidak masalah aku menginap disini? aku tidak biasa tidur di rumah Mama Papa jika balik ke New York!"
Sonia menoleh, "Tentu saja Kak, lagi pula banyak kamar disini, kamu bisa memakainya seperti sebelum aku tinggal disini!"
Steve tersenyum senang mendengar perkataan Sonia. Wanita yang kini menjadi adik iparnya memang di ceritakan oleh Edward sebagai perempuan yang berpikiran terbuka.
Hari berganti, Sonia kini lebih terbiasa makan bersama Steve! Steve juga senang bermain basket di halaman belakang, walau sendirian ia tampak bersemangat.
Satu minggu berlalu, Edward hanya sesekali menelpon Sonia karena ia kelelahan setelah turun ke lapangan mengecek pembangunan menara baru.
Sonia yang tampak melamun sendirian di hampiri oleh Steve. "Are you okay?"
Sonia mengangkat wajahnya. "Im good, thankyou!" Sonia menyunggingkan senyum manisnya.
"Mau coba main basket?" Steve memegang bola basket dan menunjukkan pada Sonia ia siap mengeluarkan keringat, "Aku akan mengajarimu!" lanjut Steve dengan gaya cool.
"Tentu saja, aku sangat ingin belajar terimakasih Kakak!" jawab Sonia, dengan pakaian yang cukup pantas untuk bermain basket, Sonia langsung turun ke lapangan di belakang rumahnya itu bersama Steve.
Steve menerangkan bagaimana cara merebut bola dan mencontohkan nya untuk melempar bola basket ke ring, Sonia dengan lugu mengangguk. Namun baru saja Steve memainkan bola basket itu, Sonia dalam hitungan detik merebut bola dari tangan lelaki yang ia sebut Kakak itu.
Steve terkejut, baru saja ia menoleh bola itu sudah di lempar oleh Sonia ke ring dan masuk, membuat mata Steve terbelalak.
"Ah, maaf Kakak aku baru belajar apakah caranya seperti itu?" tanya Sonia, dengan wajah polos.
Steve yang menahan harga dirinya karena sudah terlalu sombong mengajari Sonia dengan ucapan, ia berusaha mencari alasan. "Itu sudah bagus bagi pemula, jangan terlalu cepat nanti kamu bisa terjatuh karena lapangan licin,"
Sonia mengangguk. Kini Steve memberikan bola itu pada Sonia, dan dengan trik yang langsung ia gunakan, lagi-lagi Sonia bisa melewati Steve dan memasukan bola ke ring.
"Sonia, apakah kita harus mencoba memasukan bola ke ring paling cepat sampai hitungan ke 10?"
Sonia mengangguk. Bola di lemparkan ke atas, Steve memegang kendali namun Sonia bisa merebut bola itu dari tangan Kakak iparnya. Dan bola selanjutnya masuk ke ring.
Lagi dan lagi, dari 10 poin yang di sebutkan Steve! Sonia memimpin dengan 7 poin.
"Son, apakah Edward mengajarimu samai sehebat ini?" tanya Steve penasaran.
Sonia menghela nafas, sembari mengelap keringat di keningnya! "Aku yang mengajari Edward, bukan sebaliknya," jawab Sonia.
Dia tersenyum dengan memperlihatkan deretan giginya yang putih rapih, membuat Steve menatap pemilik senyum itu dan lesung pipi yang memperindah pemandangan itu, ia hanya mampu terdiam ketika Sonia membalik tubuhnya dan berlalu ke dalam rumah.
Steve terpesona pertama kalinya pada adik iparnya itu, dan mendengus senyum yang tertahan.