Chereads / AFFAIR WITH INFIDELITY / Chapter 7 - STEVE AND ASTRAPHOBIA

Chapter 7 - STEVE AND ASTRAPHOBIA

"Akan lebih baik jika kita duduk disini bersama anak-anak kita, betulkan sayang?" tana Sonia dengan wajah ceria.

Edward tersenyum dan mengangguk, ia merentangkan tangannya kini dan menyuruh Sonia leluasa bersandar di dadanya.

Edward membuat Sonia tertidur di pangkuannya, seraya terus mengelus rambut gadis itu. Kemudian menggendong nya dan menidurkan di ranjang.

Ia menatap wajah sejuk sang istri dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Aku juga ingin memberikan mu seorang anak, tentu saja aku ingin sayangku, namun aku juga tidak tahu akan mengalami hal seperti ini!" lirih Edward dalam hati.

Edward tidak langsung tidur setelah itu, ia pergi ke meja kerjanya membuka pencarian di internet cara pengobatan Azoospermia terbaik. Namun solusi yang keluar adalah operasi sesuai yang di ucapkan Dokter. "Jika memang ini solusinya, aku mungkin memang harus melakukannya," lirih Edward, pandangannya kembali pada wajah Sonia yang terlelap.

Ia berpikir keras untuk melakukan operasi namun tanpa sepengetahuan istrinya, karena hal itu bisa membuat Sonia merasa sakit hati dan akan melarang melakukan operasi. Namun Edward juga tidak ingin egois, ia juga berharap memberikan kebahagiaan pada Sonia dengan membuahi rahimnya.

Keesokan hari Edward pergi lebih dulu bekerja sebelum Sonia bangun, ia tidak tega membangunkannya karena di luar sedang mendung dan cuaca dingin, membuat Sonia tidur lebih lama.

Satu jam setelah Edward berangkat, Sonia terbangun dan turun kelantai 1 untuk sarapan ia sudah mengerti suaminya sudah pergi begitu melihat jam di dinding.

Steve sedang duduk di meja makan, ia terus melihat ponselnya. dan mengembalikan nya lagi, wajah nya panik dan tampak gemetar.

"Kak, apa kamu baik-baik saja?" tanya Sonia khawatir.

"Apa menurutmu hari ini akan hujan petir? aku melihat di internet perkiraan cuaca akan terjadi badai petir!"

Sonia menengok ke arah langit di luar jendela kaca rumah nya yang besar, dan melihat segerombol awan hitam yang pasti akan turun hujan. "Pasti hujan, cuaca sudah terasa dingin!" jawab Sonia kemudian.

Mendengar jawaban Sonia, Steve gemetar dan tangannya berkeringat. Tidak lama terdengar suara gemuruh dan hujan turun, kilatan cahaya yang membuat bunyi keras mengikuti turunnya hujan langsung membuat Steve sesak nafas, ia memegang dadanya sendiri.

Sonia panik, Steve tak bergerak dan tangannya semakin basah. Ia menghampiri Kakak iparnya itu. "Tolong bawa aku ke kamar!" ucap Steve, memegang lengan Sonia dengan erat dan tatapan memohon.

Sonia segera memapah kakak iparnya itu dan memasuki kamar. Baru saja Steve duduk di ranjang suara petir terdengar lagi membuatnya langsung berteriak dan memegang tangan Sonia dengan keras.

"Kak, apa kamu baik-baik saja?" Sonia sangat panik.

"Bisakah aku minta tolong, kamu disini sampai hujan nya sedikit mereda?"

Steve juga yakin berbicara begitu karena pintu kamarnya terbuka lebar.

Sonia mengangguk, ia juga membawa ponselnya dan memberitahu suaminya tentang ala yang terjadi pada Steve, ia mengira bahwa kakak iparnya itu sakit dan perlu menelpon Dokter.

Namun Edward menyuruh Sonia menemani Steve sebentar sampai hujan reda dan menjelaskan apa yang terjadi pada Steve jika mendengar petir dan melihat kilatan saat hujan.

Saat hujan, petir dan kilat mulai bermunculan. Petir dan kilat yang juga jadi tanda akan datangnya hujan ini, sering kali membuat beberapa orang kaget. Suara yang kencang dan pantulan cahaya terang yang tiba-tiba muncul membuat orang bahkan ketakutan melihatnya. Namun, jika rasa takut ini membuat seseorang cemas dan khawatir atau menimbulkan reaksi yang lebih serius lainnya ini bisa dikatakan Phobia petir atau disebut dengan Astraphobia.

Setelah mendengar penjelasan Edward Sonia akhirnya mengerti dan pantas saja kakaknya itu terus melihat perkiraan cuaca di ponselnya.

Steve terus menundukkan kepalanya, Sonia menyuruhnya tertidur dan menyelimuti tubuh Steve. Baru saja ia akan beranjak Steve memegang tangan nya. "Kemana? tunggu sebentar lagi Son!"

"Aku mengambil minum untukmu kak, sebentar!" Sonia menjawab menenangkan dan hanya beranjak untuk mengambil segelas air dari kulkas otomatis yang ada di kamar Steve, kemudian memberikannya pada lelaki itu.

Steve terlentang di atas kasurnya dan memakai selimut menutupi tubuh. Sonia menutup gorden kamar itu dengan satu klik tombol di remote otomatis untuk gorden jendela.

Suara petir tidak terlalu terdengar.

"Kak, aku sudah dengar dari Edward tentang Astraphobia yang menimpamu! Aku juga membaca solusi lain untuk mengatasinya, apa kamu mau coba?" tanya Sonia mendekatkan wajahnya pada sang kakak, setelah ia duduk di bangku samping ranjang kakak iparnya itu.

"Coba apa? mengatasi?" tanya Steve.

Sonia mengangguk. "Exposure therapy.

Dalam terapi ini, penderita astraphobia akan dihadapkan secara langsung dengan ketakutan mereka. Dengan exposure therapy, penderita astraphobia diharapkan dapat menghadapi dan mengalahkan perasaan takut petir secara perlahan!" jelas Sonia.

Steve sudah mendengar hal-hal itu sedari dulu namun ketakutan berlebihan membuatnya enggan mencoba. Namun dalam hitungan detik Sonia kembali membuka gorden besar yang memperlihatkan langit hujan di luar, yang membuat Steve menutup matanya kuat-kuat.

Sonia bangkit dan membantu kakak iparnya duduk. "Kak, sekarang buka mata, dan lihat!"

Walau susah payah Steve membuka matanya. Katan cahaya tampak terlihat, tangannya semakin gemetar. Sonia mendekatkan wajahnya di telinga Steve, ia kini ingin melakukan solusi lainnya yaitu Cognitive behavioral therapy CBT.

CBT adalah salah satu bentuk psikoterapi terapi bicara. Melalui terapi ini, Steve akan diajak untuk mengubah pola pikir negatif atau salah terhadap objek tertentu, dan menggantikannya dengan cara berpikir yang lebih rasional.

Kemudian Dialectical behavioral therapy, DBT adalah terapi yang mengombinasikan CBT dengan meditasi maupun teknik mengurangi stres untuk mengatasi fobia. Terapi ini dirancang untuk membantu Steve memproses dan mengatur emosi sehingga dapat mengurangi kecemasan maupun ketakutan yang dirasakan.

"Lihat, petir itu hanya di luar dia hanya mengeluarkan suara dan tidak akan melukaimu Kak, cahayanya terang sama seperti matahari yang kita lihat sepanjang hari namun petir datang sebentar ketika cuaca gelap!" Sonia mulai melakukannya dan kini Steve menatap ke depan. Walau ia masih gentar namun suara Sonia berhasil mendoktrin dirinya untuk tetap menatap langit mending itu. Ia merasa tidak gemetar seperti sebelumnya, dan bisa mengatur nafas lebih baik.

Sekitar 15 menit dia melakukan itu, kemudian ia tidur di ranjangnya dengan jendela terbuka dan terus menatap langit. "Tatap saja, dan terus bayangkan bahwa ada seseorang yang menemani Kakak walau ketika saat sendirian!" Sonia terus berbicara, sampai akhirnya ia lelah dan tertidur di samping Steve dengan setengah tubuh duduk di kursi.

Steve merasakan ketenangan untuk pertama kalinya. Biasanya ia mati-matian ketika hujan datang mengatur nafas akan bayangan badai dan semacamnya.