"Om? Sialan. Setua itukah aku di mata kamu? Sepertinya kamu perlu periksa ke dokter mata. Kukira hanya tangan dan kakimu saja yang terluka. Ternyata matamu lebih parah." Judas bersungut-sungut.
"Jelas kamu lebih tua dari aku, kan?" Ara menjawab, masih sambil menutup mata.
Dia berusaha untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh, terutama tangan dan kakinya. Sejak kecil, Ara memang terbiasa untuk menahan. Tidak hanya sakit di badan, tapi juga hati.
"Aku memang lebih tua dari kamu. Tapi aku tidak setua itu untuk kamu panggil om. Dasar, brengsek!"
Belum pernah ada orang yang berani bersikap kasar pada Judas. Dia adalah orang yang sangat dihormati di negara ini. Tidak hanya karena dia seorang konglomerat dan pengusaha sukses, tapi juga masih keturunan keluarga kerajaan. Mendiang ibu Judas adalah putri satu-satunya Kerajaan Monaghan.
Almarhum kakek Judas tidak mau berpoligami walaupun sang istri hanya mampu memberinya satu orang anak. Nenek Judas menderita tumor ganas kala itu, sehingga bersamaan dengan kelahiran Meissa, ibu Judas, rahimnya turut diangkat.
Sepeninggal kakek Judas, Raja Dew Ellington, tahta diserahkan pada Meissa. Ratu Meissa memerintah selama beberapa tahun, sebelum akhirnya meninggal dunia. Karena Judas belum mau menduduki tahta, maka kekuasaan dipegang sementara oleh nenek Judas, Ratu Moana.
Jadi, siapa berani menghina Judas? Selain Ara tentunya. Mereka yang berani menghina anggota keluarga kerajaan, apalagi keluarga inti pewaris tahta, bisa diusir dari Monaghan dan diblokir semua aksesnya ke negara tersebut. Mungkin Ara tidak tahu bahwa Judas adalah orang penting. Maklum saja, dia masih terlalu muda untuk itu.
Klinik itu sudah terlihat. Syukurlah, mereka bisa segera mengobati luka-luka dan mungkin beristirahat sejenak. Semoga saja ada baju kering untuk ganti. Judas menepikan mobil dan berhenti tepat di depan pintu masuk klinik.
"Kita sudah sampai." Judas berujar lantas keluar dari mobil.
Dengan gerakan malas, Ara keluar dari mobil, menyusul Judas. Kaki dan tangan terasa sangat perih. Padahal tadi dia sendiri bahkan tidak menyadari bahwa dirinya terluka. Sampai Judas mengatakan soal luka itu, baru perih terasa menjalar.
"Sepertinya tutup. Tidak ada orang." Judas mengetuk pintu berkali-kali.
Ara mendekatkan wajah ke kaca jendela klinik, berusaha mengintip ke dalam. Memang benar, tidak ada orang sama sekali. Bahkan ruangan di dalam sudah dimatikan. Ah, rupanya klinik ini bukan penyedia jasa 24 jam.
"Lalu, bagaimana?" Ara menatap ke arah Judas.
Gerimis mulai turun. Di musim gugur seperti ini memang akan sering turun hujan. Kalaupun tidak deras, gerimis bisa mengguyur sepanjang hari.
Judas menoleh, seperti sedang mencari sesuatu.
"Awas, mundur," titah Judas. Dia meraih sebuah batu berukuran dua kepal tangan manusia dewasa lalu dilemparnya ke arah jendela klinik.
Kaca jendela pecah berantakan. Dengan santai, Judas menarik pengunci jendela. Tangannya terjulur dari luar. Judas masuk lebih dulu.
"Tunggu dulu, aku cari sapu." Judas melihat Ara yang bertelanjang kaki. Tidak mungkin membiarkan gadis itu masuk begitu saja. Kakinya pasti akan terluka oleh pecahan kaca.
Judas menemukan sapu di ujung lorong, lalu mulai meminggirkan pecahan kaca. Setelah dirasa cukup aman, dia membuka pintu dan menahan dengan tangannya untuk Ara.
"Masuklah." Judas menggerakkan dagu, memberi tanda.
Ara membungkuk sedikit lalu berhasil masuk ke ruangan. Judas sudah menyalakan semua lampu. Yang pertama mereka cari adalah baju kering. Untung saja ada beberapa baju pasien kering di dalam lemari. Tanpa dikomando, mereka segera mengganti baju. Ara memilih ke ruangan lain, sementara Judas dengan santai langsung saja membuka bajunya di ruangan tempat mereka masuk tadi.
"Sini, kuobati dulu lukamu." Judas menyiapkan beberapa obat dan perlengkapan lain. Dia duduk di kursi dekat ranjang.
Ara naik ke atas ranjang, membiarkan Judas membersihkan kakinya.
"Aw, perih. Pelan-pelan, Om." Ara meringis menahan perih.
"Sekali lagi kamu panggil aku om, aku tinggal pergi," ancam Judas sambil menatap sewot.
"Pergi pakai apa? Itu 'kan mobilku," jawab gadis itu enteng.
'Sial!' batin Judas.
"Aku bisa menyuruh anak buahku menjemput ke sini." Dia tidak mau kalah.
"Baguslah. Habis ini aku mau pulang. Kamu minta dijemput aja sama anak buah kamu."
Judas membersihkan luka di kaki Ara dengan telaten. Setelah dirasa cukup bersih, Judas mengoleskan salep luka, lalu membungkus dengan kain kasa. Luka di betis itu tidak terlalu parah, hanya tergores. Ketika Ara menuruni tebing, pasti tergores batu-batu tajam.
Justru luka di tangan yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Lukanya sangat dalam, bahkan terlihat warna sedikit putih di dalam sana.
"Luka di tanganmu cukup dalam. Kamu butuh dijahit. Kurasa, tidak bisa kita tangani sendiri. Kita perban, lalu kita pergi ke rumah sakit. Oke?" Judas membersihkan perlahan luka di tangan Ara.
"Tidak perlu. Setelah ini, aku akan pulang. Aku bisa obati sendiri di rumah."
"Jangan bandel. Luka ini kalau tidak segera diobati, bisa infeksi. Kamu mau, kehilangan tangan kamu ini?" Judas mulai meneteskan obat ke luka menganga di tangan gadis itu.
Ara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, melawan rasa sakit. Mata dengan manik biru itu berair. Jelas terlihat gadis itu menahan tangis.
"Sakit, ya? Tahan sebentar." Julian sesekali meniup luka-luka itu sambil terus meneteskan obat di bagian yang lain. "Aku melarangmu pergi. Kita ke rumah sakit habis ini."
"Memangnya kamu siapaku? Berani sekali melarang-larang," celetuk Ara.
"Aku tidak akan membiarkan penolongku menderita apalagi sampai mati karena infeksi. Dasar kepala batu! Sudah, jangan membantah." Judas menatap lekat ke arah Ara. Mata bertemu mata. Dua pasang manik mata berbeda warna itu saling beradu.
Ara membuang muka. Jarak wajah mereka dirasa terlalu dekat. Sampai-sampai napas hangat laki-laki di depannya itu bisa dia rasakan mengembus wajahnya.
"Aku pinjam telepon genggammu." Judas menengadahkan tangan.
"Ada di mobil. Sebentar kuambil."
"Biar aku saja. Kamu tunggu saja di sini." Judas mencegah Ara untuk bergerak. Dia sendiri segera keluar, menuju mobil merah yang kini telah basah sempurna terguyur gerimis yang mulai lebat.
Benda pipih segi empat dengan lambang apel terkoyak tidak sulit untuk ditemukan di samping persneling. Ketika Judas mencoba membuka, ternyata gawai itu terkunci oleh sandi. Terpaksa harus masuk lagi ke klinik.
"Dikunci teleponmu." Judas mengulurkan telepon genggam itu pada Ara.
"Pasti, dong." Ara menerima lalu membuka kunci telepon genggamnya dan mengulurkan lagi pada Judas. "Nih."
Judas menekan sederetan angka yang sudah dia hafal luar kepala. Siapa lagi kalau bukan Josh yang dia hubungi.
"Halo, selamat malam. Dengan siapa ini?" Suara Josh terdengar berwibawa di seberang sana.
"Ini aku, Judas. Aku kecelakaan. Ini telepon temanku. Bagaimana keadaan di sana?"