Judas dan Josh tiba di ruang hitam. Ternyata, yang dimaksud dengan ruang hitam adalah ruang bawah tanah di salah satu rumah peternakan milik Judas di pinggiran kota Nemville, sisi utara. Peternakan khusus untuk kuda-kuda berkualitas tinggi, hanya dihuni oleh dua keluarga pengelola.
Keluarga Parker dan Howkin tinggal di rumah terpisah. Cukup jauh dari bangunan yang biasa ditempati oleh Judas. Judas memang mengizinkan mereka membangun rumah di area peternakan, bahkan dia juga yang membiayai semuanya. Bukan sebuah hadiah. Sebenarnya, itu adalah sebuah ikatan, tanda bahwa mereka sudah menyerahkan seluruh hidup hanya untuk mengabdi pada tuannya.
Hanya Tuan Parker dan Howkin beserta istri saja yang diizinkan untuk masuk ke pekarangan dan ke dalam bangunan milik Judas. Setiap ahri mereka merawat dan membersihkan tempat itu sembari mengawasi pekerja yang lain mengurus kuda dan seisi peternakan.
Setiap pagi, ada pekerja lepas yang mengerjakan beberapa pekerjaan di sana. Tanggung jawab utama memotong rumput, memberi makan kuda, dan memandikan mereka. Para pekerja akan pulang ke rumah sekitar pukul tiga sore. Rumah mereka masih di sekitar peternakan. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Empat orang pria berpakaian serba hitam terlihat elegan, tetapi berwajah seram. Mereka berdiri tegak di dekat dinding. Dinding yang sengaja tidak dicat, hanya polesan kasar, menambah seram suasana di dalam. Para 'serdadu' andalan Josh dalam meringkus musuh-musuh Judas. Mereka dijuluki serdadu senyap karena jarang bicara dan selalu bergerak dengan cepat tanpa diketahui orang banyak.
Dua tubuh terbaring dalam keadaan tertelungkup dengan tangan serta kaki terikat kuat. Judas memindai sejenak ke arah kedua orang pemberani itu. Ya, mereka sangat berani mengusik dan mengganggu seorang Judas Ellington.
"Hebat ... hebat. Kalian berdua layak untuk disebut sang pemberani." Judas memuji seraya bertepuk tangan dengan tempo lambat, mengejek.
"Kalian sangat berani mencari masalah denganku. Apa kalian pikir, aku akan mati dengan mudah? Bahkan kalaupun mati, aku tetap akan mengejar kalian dan membuat perhitungan." Judas mendekat ke arah salah satu tubuh terikat itu.
Seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun, tampak acak-acakan dengan wajah babak belur. Judas menginjak pipinya. Sepatu boot setinggi lima sentimeter di atas mata kaki, ditambah berat badan Judas kisaran tujuh puluh kilogram, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
"Jadi, kamu yang sudah mengutak-atik mobilku?" tanya Judas dengan nada ramah, bahkan mengulas senyum.
"I-iya. Ma-maaf, Tuan. Aku hanya dibayar. Tolong, le-lepaskan aku." Pria itu mengiba dengan suara setengah bergumam.
Kalimatnya terbata-bata. Bukan hanya karena takut, tetapi juga luka di sekujur tubuh dan wajah membuat laki-laki itu lemas seolah tak bertenaga. Ditambah, injakan kaki Judas membuatnya sulit untuk menggerakkan mulut.
"Kalau kulepaskan, apa yang bisa kamu berikan sebagai gantinya?" Judas menggerak-gerakkan kaki seperti sedang menggilas, membuat laki-laki itu mengaduh. Tulang pipi serasa remuk tergilas oleh sol sepatu.
"Apa pun, Tuan. Apa pun!" Dia melampiaskan rasa takut dan sakit dengan menjawab setengah berteriak.
Judas menghentikan gilasannya. Dia menurunkan kaki dari wajah, lalu sengaja menapak ke tanah dengan ujung sepatu persis menempel di pucuk hidung laki-laki itu. Dia ingin melihat perlawanan Jose, pria upahan Brenda untuk menyabotase mobil Judas semalam.
Jose tetap bergeming. Dia tidak memalingkan wajah, juga tidak menggesernya. Secara psikologis, Judas menilai bahwa pria berambut ikal cokelat gelap ini sungguh-sungguh meminta ampunan. Ini yang Judas suka.
"Kalau kuampuni dan kubiarkan tetap hidup, apakah kamu akan mengabdikan seluruh hidupmu untukku?" tanya Judas.
"Siap, Tuan. Aku akan menjadi pelayanmu seumur hidupku." Jose buru-buru menjawab, tak ingin Judas berubah pikiran.
"Ambil kursi, suruh dia duduk," perintah Judas.
Josh memberi tanda dengan gerakan kepala. Salah satu serdadu mengambil kursi lalu menarik tubuh Jose dan mendudukkannya di kursi. Bibir pecah Jose segera bergumam.
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih." Jose membungkukkan badan beberapa kali.
Judas menarik salah satu sudut bibir, tersenyum sinis.
"Sekarang, giliranmu." Tatapan Judas beralih pada gadis yang malam sebelumnya bersama dia. Masih teringat jelas bagaimana Brenda menggunakan mulut untuk memuaskan hasratnya.
"Kalian ambil kursi juga untuk tamu kita yang satu ini. Kita harus menghormati tamu," ucap Judas dengan ramah sambil terkekeh.
Dengan sigap, serdadu yang tadi mengambil kursi untuk Jose, melakukan hal yang sama. Kini, Brenda sudah duduk manis di atas kursi, membisu karena ngeri melihat mimik wajah Judas ketika menatap ke arahnya. Tatapan sang pemburu. Tajam, kejam.
"Kamu ingat, bagaimana kita bertemu pertama kali?" Judas sedikit membungkuk, memangkas jarak antara dirinya dengan Brenda. Wajah mereka sangat dekat.
"Ma-masih." Brenda ingin menunduk, tapi tidak bisa. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah tampan yang selama ini dia perjuangkan.
Judas dan Brenda bertemu dalam sebuah pesta. Pesta ulang tahun salah satu teman mereka. Brenda sedang menari salsa kala itu. Liukan erotis pinggul Brenda membuat Judas harus menelan ludah dengan susah payah.
Judas sudah membayangkan jika pinggul itu bergerak naik turun, melonjak bersama gairah panas mereka, pasti akan terasa sangat nikmat. Tak perlu bersusah payah. Cukup dengan tatapan mata, Brenda sudah mendekat dan mengajak Judas berkenalan. Pun tak perlu waktu lama, keduanya sudah bekerja sama di atas ranjang, saling memuaskan.
Laki-laki itu sadar bahwa Brenda jatuh cinta padanya. Sangat mudah diketahui apalagi Brenda memang tidak berusaha untuk menutupi. Berulang kali, dengan terang-terangan dia menyatakan cinta pada Judas. Dan berulang kali pula, Judas hanya menjawab lirih.
"Aku tidak perlu cinta. Aku hanya butuh vagina."
Dua kalimat yang selalu jadi jawaban Judas ketika ada wanita menyatakan cinta dan melamarnya. Dia memang tidak butuh cinta, apalagi pernikahan. Begini saja sudah cukup. Sama-sama puas, sama-sama lemas.
"Masukkan dia ke dalam sangkar," titah Judas sambil menyeringai.
Salah satu serdadu memaksa Brenda untuk berdiri dan melangkah, masuk ke sebuah sangkar. Terali besi di keenam sisi. Memang layang disebut sangkar. Setelah masuk, serdadu itu segera menguncinya.
Judas mendekat, lalu berkata, "Aku ingin melihatmu menari seperti dulu, awal kita bertemu. Aku rindu tarianmu."
"Ambilkan meja dan siapkan camilanku. Aku ingin melihatnya menari." Tatapan Judas beralih pada Josh.
"Baik, Tuan." Josh mengangguk lalu memberi tanda pada para serdadu untuk menyiapkan apa yang diminta oleh Josh.
Mereka menyiapkan meja dan kursi di dekat sangkar dan salah satu serdadu naik untuk mengambil botol anggur, juga beberapa cake berukuran kecil yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sudah menjadi kebiasaan Judas ketika dia menyaksikan pertunjukan dari dalam sangkar.
Setelah semuanya siap, Josh menekan sebuah tombol. Sebentar lagi, pertunjukan akan dimulai. Tarian kematian.