Ombak pantai saling berbenturan dengan batu karang. Pasir putih sepanjang jalan yang aku lewati sangatlah indah.
"Jadi kau asli dari sini?" tanyaku mengawali percakapan canggung diantara kami.
"ya," respon Melora singkat.
"Pasti sangat senang setiap hari melihat ombak dipantai," aku mencoba membuat Melora akrab meskipun aku tidak pandai melakukannya.
"Iya, mereka rumahku."
"Melora, aku ingin lebih mendekati pantai dan kenapa disini dilarang bermain area bibir pantai?" tanyaku penasaran melihat papan yang berisi larangan mendekati area sana.
"Bahaya, tapi kalau kau mau melakukannya boleh saja."
"Benarkah?" tentu saja aku tak akan melewati kesempatan bermain disana walaupun ada papan yang entah manusia mana yang akan mendengarkan larangan itu.
"wah," mataku berbinar saat melihat air laut membasahi kakiku.
"Melora kau tidak mau ikut denganku?" perempuan itu menggeleng sambil tersenyum kaku. Sudahlah mungkin ia alergi air.
"Ini sangat mengasyikan," aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Air laut yang dingin ini mengingatkanku pada masa-masa dimana aku masih kecil.
"Adita naik!" teriak Melora tiba-tiba. Aku melirik kearah yang Melora tuju. Tidak ada apa-apa.
"Kenapa?" tanyaku.
"Cepat naik!!" Melora terlihat kepanikan. Aku memutuskan untuk mendekatinya.
"Pereunt!"¹
"Apa yang kau lakukan?" Melora menarik ku menuju tempat yang agak jauh dari tepian pantai tempatku bermain.
Aku melihat sekitar yang terlihat berubah, awan yang mengelap beserta ombak yang mulai bergemuruh seakan menanti badai. Beserta sekumpulan bayangan hitam besar menyeramkan.
"Mereka siapa Melora?" cicitku merasakan sangat takut. Melora membawa tubuhku kebelakangnya.
"Kau melihat mereka?" tanyanya membuatku semakin ketakutan.
"Aku melihatnya, siapa mereka!?" cekraman tanganku di bajunya mengetat seiring bayangan yang terlihat banyak itu akan menghampiri kami.
"Mortis,"²
"hah," aku tergagap. Ini benar-benar menakutkan, aku tak sanggup membuka mata lagi.
"Kami menyebut mereka mortis," bisik Melora.
"Apa yang akan mereka lakukan?" tanyaku lagi. Melora tampak mudur sedikit, aura makhluk itu sangat luar biasa. Dimana pantai yang seharusnya panas berubah menjadi dingin, aku menggigil dibuatnya. Rasanya kaki menjadi lemas.
"Kematian," ujar Melora.
"Kau sebenarnya siapa?" ditengah kepanikan ini setidaknya aku harus paham kenapa ini bisa terjadi begitu pula siapa sebenarnya Melora. Di awal pertemuan Adita merasakan ganjil. Dari tatapan hingga bisikan-bisikan yang membuatnya sedikit penasaran dan merasa terganggu. Jangan lupakan, tadi ia melihat Melora meneriakan kata ajaib yang Adita yakini itu sebuah sihir.
Tanpa melihat apa yang dilakukan Melora, aku membuka mata dengan sedikit dan menagkap siluet bayangan hitam yang mengerikan itu. Mereka terlihat pergi, cuaca yang semula akan terjadi badai seketika berubah menjadi normal kembali. Apa yang terjadi?
"Kita sudah aman," ujarnya membawaku kembali ke arah jalan pulang. Aku hanya teriam mengikuti setiap langkah Melora.
"Aku tahu kau dikepalamu sudah banyak pertanyaam, tapi percayalah satu hal kau akan slalu aman meskipun mereka akan terus mencarimu," ujar Melora. Rumah kakek dan nenek pun terlihat, Melora dengan cepat berpamitan tanpa menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi.
"Cucu nenek sudah pulang, gimana hari ini? apakah menyenangkan?" nenek bertanya di ambang pintu. Aku hanya bisa menggeleng kemudian melangkah menuju kamarku.
"AKU PASTI UDAH GILA!" teriakan itu bisa terdengar sampai bawah tapi adita tidak peduli. Ia masih terus teringat kesan kuat yang ditinggalkan di tepi pantai tadi.
Apakah ini dunia fantasi atau khayalan? bagaimana jika ia masuk kedalam sebuah film bertema sihir dan menjadi pemeran utama? wah beneran gila! tadi dia melihat dengan jelas, dan adita rasa dirinya bukan anak indigo. Kenapa juga harus terjebak dengan Melora yang entah menurutnya bukan manusia juga.
Semalaman penuh adita tidak bisa tertidur memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin segera pagi dan menemui Melora.