Chereads / Mengejar Cinta Janda Perawan / Chapter 11 - Tak Percaya

Chapter 11 - Tak Percaya

Anak dan ibu ini masih sibuk memasak di dapur, sambil sesekali tertawa karena kehebohan mereka, bahkan ayah Burhan yang mendengar kehebohan mereka, ikut datang ke arah dapur dan sekarang berada di pintu dapur, seraya berkacak pinggang, berdecak berulang-ulang. Lalu beliau pun mengeluarkan suara emasnya. Di mana suara itu sangat halus dan tak seperti biasanya, seraya diteriakkan sesekali, jadi suara itu menjadi berwarna dan lucu pokoknya.

"Biankaaaa. Bihanaaaaa. Apa yang kalian lakukan hmmm herrrr haiiis huuuuh."

Keduanya langsung menoleh dan semakin tertawa ketika melihat ayah Burhan yang menengok mereka memasak. Karena biasanya sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah ayah Burhan ke arah dapur, pastinya ke dapur kalau ada kebutuhan mendesak saja, misalnya dimintai bantuan ibu Bihana membawa makanannya. Dan sekarang Bianka bisa menebak kalau ayahnya datang karena kehebohannya, sepertinya beliau penasaran dengan itu semua.

"Ehhh, Ayah? Ada apa? Apa Ayah lapar? Mau makan? Sini cicipilah masakan buatan kita ini, pastinya sangat enak dan mantap. Ayo sini!" ajak Bianka yang sudah semakin mendekat ke arah ayahnya dengan membawa piring yang berisi makanan.

Ayah Burhan pun menyentil kening Bianka pelan lalu tersenyum tipis. "Masakan buatan kita? Berarti buatan kamu sama ibumu? Heleh, mana percaya Ayah, jelasnya kamu hanya bantu memotong doang, jadi itu buatan ibu saja. Hmmm," protes ayah Burhan yang membuat Bianka cemberut, karena tak memuji Bianka malah memprotesnya. Rasanya Bianka merasa gagal menjadi seorang wanita karena tidak pintar memasak seperti ibunya.

Ayah Burhan yang melihat mimik wajah Bianka sudah berubah. Beliau pun langsung saja menyendok makananan itu. Memasukkan ke dalam mulutnya, setelah mengunyahnya. Burhan tersenyum dengan menelannya pelan penuh kenikmatan. "Hmmmm enaaaak. Delicious, Sayangku. Pokoknya kalian berdua wanita terhebat Ayah. Masakannya sungguh jago," kata Burhan dengan menaikkan jari jempolnya sambil masih menikmatinya, sampai-sampai kepalanya diangguk-anggukkan.

"Benarkah itu, Ayah? Tapi sayang itu semua bukan masakan Bianka, tapi masakan Ibu, jadi belum ada yang bisa dibanggakan dari Bianka, pokoknya pasti Bianka akan berusaha belajar, terus menerus agar ahli masak seperti Ibu," sesal Bianka yang masih tersinggung dengan ucapan Burhan tadi. Bahkan wajah Bianka masih belum berubah. Masih sama seperti tadi. Cemberut seperti itu.

"Ehhh tidak apa-apa, Nak, maafkan Ayah yaaa ... tidak bermaksud mengolok-olokmu tadi, intinya Ayah seperti itu biar kamu semakin semangat, yang pasti semua itu butuh proses dan tak ada yang instan di dunia ini. Jadi kamu harus semangat belajar, nanti juga ahli dengan seiring berjalannya waktu sendiri," balas ayah Burhan yang membuat Bianka hatinya damai sekarang. Dan tidak cemberut lagi. Malahan Bianka kini tersenyum dan spontan langsung memeluk ayahnya dari samping dengan satu tangannya, kalau tangan satunya masih memegangi piring yang berisi makanan itu.

"Kalian ini yaaa, bukannya membantu malah main drama romantisan seperti ini. Ibu ikutan doooong haha. Dan awas Bianka piring itu jatuh, bisa langsung tumpah semua yang ada di dalam piring itu." Sambil mengucapkan itu. Ibu Bihana berhamburan ke arah suami dan anaknya itu. Karena Burhan melambaikan tangannya, jadi sekarang ibu Bihana juga iku memeluk suaminya dari samping. Beliau tidak memeluk Bianka karena masih membawa piring itu. Jadi keluarga ini selalu sangat romantis dan saling menyayangi.

Mereka lalu tersentak ketika mendengar ponsel Bianka yang berada di kantong sakunya berbunyi nyaring. Hingga akhirnya membuat bubar pelukan tersebut.

"Ihhh ponsel kamu menganggu saja, Nak!" protes ibu Bihana. Merasa belum puas berpelukan dan menikmati hangatnya bersama keluarga saat ini.

"Hehe maaf, Ibu, maaf, Ayah. Mengganggu hehe. Ya sudah Bianka izin angkat yaaa. Takutnya Mas Betran yang menelepon, kan barangkali kasih kabar hehe." Bianka berucap dengan sangat halus. Lalu ayah Burhan pun mengibaskan satu tangannya. Mengizinkan Bianka untuk menerima teleponnya, seraya berucap.

"Iya cepat sana! Angkat! Kalau tidak cepat-cepat nanti Betran menangis menunggu jawaban kerinduan darimu, cih benar-benar lebay anak zaman sekarang."

"Ayaaaah. Jangan iri deh haha. Bye!" tanggap Bianka dan pergi begitu saja, setelah agak menjauh dari kedua orang tuanya. Dan dia sudah berada di ruang tamu. Bianka pun merogoh kantong sakunya, menatapi ponsel itu dan mengerutkan dahinya ketika tidak mengenal nomor baru yang meneleponnya sekarang.

Awalnya Bianka ragu untuk mengangkat teleponnya. Karena biasanya dia jarang merespon telepon baru seperti itu, takut kalau semua itu adalah pelaku kejahatan. Namun, ketika nomor baru itu terus menerus meneleponnya akhirnya Bianka pun penasaran dan menggeser tombol hijaunya. Dengan ragu Bianka menjadi gugup saat mengangkatnya seraya menghela nafas panjangnya terlebih dahulu. Sangat ragu untuk mengeluarkan suaranya.

Tapi belum sempat Bianka bersuara, seseorang pun mengeluarkan suaranya terlebih dahulu, dengan suara yang sangat tegas dan berwibawa, suara yang terdengar asing dan dari seorang lelaki. "Halo? Apa ini adalah saudara Bianka?"

"Iya, ini saya sendiri, anda siapa ya? Terus mendapatkan nomor saya dari mana?" balas Bianka yang sungguh kebingungan dan penasaran. Hatinya merasakan keanehan, jantungnya berpacu cepat. Seperti ada firasat buruk yang akan terjadi. Memang sejak semalaman dia sedikit agak cenut-cenut rasa di hatinya. Tapi tertutupi ketika Betran terus mengajaknya bercanda, bahkan ibunya tadi pagi juga mengajaknya canda tawa, jadi firasat tak enaknya tertutupi dengan itu semua.

"Dari nomor saudara Betran, tadinya mau menelepon anda dengan ponselnya, tapi ponselnya mati. Terus anda adalah orang yang sering dihubungi saudara Betran, jadi langsung saja saya menghubungi anda, apa anda adalah keluarganya? Karena sekarang saudara Betran mengalami kecelakaan, mobilnya ditabrak oleh truk dan meledak tadi, tapi polisi menyelidiki tidak ada siapapun di dalamnya. Untung saja dompet dan ponselnya ditemukan di sekitar mobilnya, jadi bisa menghubungi anda."

Bianka yang mendengar penuturan panjang lebar dari seorang lelaki itu, dia mematung dan benar-benar kaget. Air matanya tiba-tiba menetes dengan sendirinya, lalu menepis rasa kagetnya itu dengan tertawa terbahak-bahak karena menurutnya semua penjelasan ini lucu dan membuatnya tak percaya, bahkan dia mau memaki lelaki yang meneleponnya itu sekarang juga.

"Benarkah? Haha jangan main-main dan cari perkara denganku dengan membohongiku seperti itu, ini tidak lucu tau? Kalau kamu teruskan silahkan bicara dengan dinding saja! Saya akan mematikan telepon anda, sungguh aku tak percaya kepada anda. Bye!" Tapi baru saja Bianka mau menutupnya. Lelaki itu menyergah dengan cepat. Buru-buru berucap kembali agar Bianka tak menutup teleponnya.

"Ini sungguhan, Mbak, kalau tidak percaya bisa cek di TKP sekarang. Jalan Politik no. 9 kota X." Setelah mengucapkan itu, lelaki itu langsung mematikan teleponnya tanpa berucap apapun lagi. Membuat Bianka berteriak dengan histerisnya. Tak mau lelaki itu menutup teleponnya karena Bianka ingin bertanya lagi agar semakin jelas.

"Halo, halooooo! Pak, halooooo!"