Sudah beberapa menit lamanya Bianka di periksa oleh dokter di ruangan. Sementara kedua orang tua Bianka berada di luar menunggu kabar dari dokter, dan ketika dokter tiba-tiba keluar dari ruang periksa itu. Kedua orang tua Bianka yang awalnya duduk di kursi tunggu langsung bangkit untuk menghampiri dokternya. Ingin segera tau kabar anaknya.
"Dok, bagaimana keadaan putri saya? Apa dia baik-baik saja?" tanya Bihana dengan suara kepanikannya. Bihana yang tidak sabaran memegang lengan dokter sembari digerakkan. Supaya menurutnya agak tenang beban di pikirannya. Sementara Burhan hanya sesekali menghela nafas pendek, menunggu balasan dari dokter, intinya siapapun yang bertanya sama. Jadi Burhan tinggal mendengarkan saja.
Dokter pun tersenyum terlebih dahulu lalu membalasnya. "Alhamdulillah putri kalian baik-baik saja kok, hanya saja dia sangat syok makanya pingsan seperti itu, sungguh berat dan stres dia, pastinya kalian harus menjaga dia dengan sebaik mungkin, jangan biarkan dia berlarut-larut dalam kesedihan karena itu tidak akan baik ke depannya, lalu di sini siapa yang bernama Betran? Apa bisa saudara Betran disuruh datang? Karena sepertinya dialah penyemangat hidup putri kalian," terang dokter panjang lebar.
Usai dokter menerangkan semua itu. Bihana pun melepaskan tangannya dari tangan dokter. Air matanya menetes dan menderas begitu saja dengan sendirinya, jadi tangannya itu langsung mengelap air matanya dengan kasar. Sungguh beliau bingung karena Bianka stres seperti itu, ditambah Betran juga tidak ada, mau dibawa kepada anaknya bagaimana caranya. Makanya hanya kegalauan saja yang dialaminya. Sampai-sampai beliau tak kuasa menjawab ucapan sang dokter.
Maka dari itu sekarang Burhan lah yang membalas ucapan sang dokter, mewakili istrinya. "Maaf, Dok, saudara Betran yang dimaksud sedang kecelakaan dan hilang tiada kabar, dia adalah suami anak saya, makanya jadi seperti itu sekarang, jadi saya mohon dan meminta bantuan sangat kepada, Dokter, pokoknya harus bagaimana agar anak saya bisa secepatnya pulih."
Dokter yang mendengar itu turut berduka cita. Wajahnya berubah seketika, merasa iba dengan nasib Bianka. "Hmmm jadi begitu? Kalau begitu kalian harus sabar menemaninya, dan meyakinkan yang terbaik, pastinya sedikit demi sedikit dia akan menerimanya, saya di sini turut bersedih atas semua ini." Burhan dan Bihana pun mengangguk, lalu membiarkan dokter untuk pergi.
Setelah itu keduanya pun masuk ke dalam ruangan Bianka. Tersenyum ketika melihat Bianka sudah sadarkan diri dengan menatapi langit-langit, meskipun menatap kosong ke langit itu, tapi sudah membuat kedua orang tua Bianka tenang karena anaknya itu sudah membuka matanya. Burhan dan Bihana duduk di samping ranjang Bianka. Mengelus-elus punggung tangan Bianka secara bergantian.
"Nak, ayo kita pulang! Kamu sudah tidak apa-apa kan? Ikhlaskan, mungkin itu sudah takdirmu, pastinya Betran sudah tenang di alam sana," celoteh Burhan mencoba membuat anaknya tenang. Namun, yang ada Bianka malah tiba-tiba berteriak tak terima, teriakannya sungguh histeris, membuat ibu Bihana meneteskan air matanya.
"Tidak, tidaaaaak. Mas Betran baik-baik saja, dia tidak akan meninggalkanku, pastinya dia hanya hilang sesaat, nanti kalau sudah waktunya dia akan mencariku, aku yakin itu! Dia sudah berjanji denganku kalau akan menemaniku selamanya, jadi Ayah jangan berbicara seperti itu!"
Burhan yang mendengar itu, yang ada dia semakin murka, karena memang dia orangnya keras. Apalagi melihat anaknya seperti ini, disamping dia tak tega juga agak kesal karena takut mental anaknya terganggu, jadi yang ia lakukan sekarang langsung saja menampar anaknya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Sampai-sampai ibu Bihana tersentak kaget dan langsung menatapi suaminya dengan menggelengkan kepalanya.
"Ayah, jangan! Cukup Ayah! Cukup!" bela Bihana yang tak mau ada kekerasan sekarang. Bianka mulai menangis dan ia pun bangkit dari tidurnya, bersandar di dinding ranjang. Melengos dari ayah dan ibunya. Rasa kesal di hatinya itu pasti ada, jadi Bianka bersikap seperti itu.
"Sudah, Bu ... jangan membela anak seperti ini! Ini salahnya sendiri yang tak mau mendengar nasihat orang tua, makanya jadi seperti ini, sekarang lihatlah! Dia kualat kan? Terkena balasannya sendiri! Puas tidak kamu, Nak? Puas tidak!" Burhan semakin menjadi-jadi, kemarahan dia tak dapat dibendung, hingga air matanya keluar dengan sendirinya saking kesalnya.
Burhan akhirnya pergi dari ruangan Bianka. Menunggu di kursi tunggu saja karena dia tak mau sakit hati lagi atau bahkan menyakiti putrinya lagi. Tangannya itu gemetaran karena khilaf memukul dan membentak putrinya, karena baru kali ini Burhan bertindak kasar seperti itu. Memang baru kali ini karena Bianka selama ini patuh. Dan sekarang sangatlah berbeda, bantahan demi bantahan ada akibat keegoisan Bianka sendiri.
Ibu Bihana hanya bisa menggeleng akibat ulah suami dan putrinya yang kini keras kepala seperti itu. Lalu ibu Bihana membuka suaranya "Nak, Ibu mohon jangan seperti ini, pastinya polisi masih menyelidiki semua ini, jadi Ibu harap kamu bersabar dan menerima semuanya, yang pasti Ibu dan Ayah selalu ada di sampingmu, ayo kita pulang, Nak," ajak Bihana dengan lembut.
Bianka menoleh. Tangisannya pun pecah karena masih tak terima dengan ulah ayahnya. "Apakah ayah menyayangiku? Bukankah dia sudah sangat membenciku? Bahkan dia rela menamparku, apa itu yang dinamakan sayang, Bu? Tidak Ibu, tidak! Mungkin lebih baik Ibu membiarkan Bianka mati saja," kata Bianka yang sudah sangat tak kuasa, bahkan dia berkata sangat putus asa seperti itu.
"Apa yang kamu katakan, Nak! Jangan gila! Kamu masih mempunyai kedua orang tua yaaa. Jadi jangan berfikiran yang macam-macam! Jangan membuat Ibu ikut marah, cukup!" Ibu Bihana berucap dengan sedikit meninggi, tapi sembari mengeluarkan air matanya, jadi suaranya sumbang dan agak tidak jelas. Membuat Bianka terdiam dan tak tega dengan ibunya. Bianka pun langsung memeluk erat ibunya. Keduanya di dalam pelukan saling menangis sama-sama.
Burhan yang sudah puas menyesali perbuatannya. Ia masuk kembali ke ruangan anaknya, dan ketika melihat anak dan istrinya seperti itu. Beliau pun mendekat ke arah mereka. Ikut memeluk serta dengan hembusan nafas kasarnya.
"Semua ini adalah ujian hidup, kita akan melalui sama-sama, maafkan Ayah sudah kasar tadi. Pokoknya Ayah berjanji akan melindungi kalian berdua, jadi kita harus bisa tegar, ayo kita pulang!" ajak Burhan yang sudah mulai melepaskan pelukannya.
"Tapi, Yah, mas Betran bagaimana? Apa dia benar-benar meninggalkanku? A—aku masih tidak percaya, Yah," protes Bianka. Kali ini Bianka berucap dengan keraguan, takut ayahnya marah makanya dia terbata seperti itu.
"Serahkan semuanya sama Tuhan juga sama polisi, kita manusia bisa apa? Apa kamu bisa menemukannya? Enggak kan? Yang jelas kamu banyak-banyak berdoa untuk keselamatannya, pokoknya kamu harus banyak belajar ikhlas, jangan pernah berharap lebih dari manusia, pasrah saja! InsyaAllah akan terbaik nantinya. Oke, Nak. Ayo kita pulang!" Rayuan ayah Burhan yang terus-menerus manjur juga. Dan kini Bianka patuh kepada ayahnya. Pulang ke rumah dengan sesekali masih melamun memikirkan semua itu.