"Ada satu lagi yang ingin Mama katakan." Alesta menatap guratan serius di raut wajah ibunya.
"Sebenarnya tadi, selain Mama mertua kamu ngomongin masalah Ansel. Sebenarnya Mama mertua kamu, juga ngomong kalo kemungkinan bulan depan harus kalian harus pindah ke New Zealand." Alesta diam, tatapannya menyiratkan penuh tanda tanya meminta penjelasan lebih.
"Mama Ansel, ngomong sama Mama kalian harus kesana. Karena katanya perusahaan keluarga sedang merintis cabang di sana!" Alesta benar-benar terlihat jelas terkejut, namun kemudian raut wajahnya menggambarkan begitu jelas ia tidak peduli dengan hal itu. Satu-satunya yang menjadi beban kekhawatirannya siapa yang akan menjaga sang Ibu, jika dirinya pindah?
"Apa tidak bisa mantau dari sini, Alesta gak mau jauh dari Mama. Mama udah tau kan kalo Alesta gak suka jauh-jauh dari Mama dan nanti siapa yang bakal jengukin Arini terus!" Ibu Alesta diam tatapan jelas begitu sendu mengingat kembaran Alesta yang sudah lama pergi.
"Jangan khawatir, Mama baik-baik aja kok. Kamu cukup harus sabar, Mama yakin kamu bakal bahagia sama pernikahan kamu. Walaupun Mama gak suka sama menantu Mama sendiri,tapi Mama yakin dia bakal berubah buat kamu!" Alesta diam, entah sejak kapan pikiran negatif selalu mengancam otaknya yang kini tengah berpikir bahwa Ansel tidak akan berubah. Apa ini karena selama bertahun-tahun dirinya dan Arini selalu menjadi satu tubuh?
"Jujur, Alesta gak yakin. Dan untuk kepindahan kita apa Ansel sudah tau?" Ibu Alesta seketika terlihat menggelengkan kepalanya pelan.
"Jangan ngomong dulu sama Ansel, nanti dia marah. Sebenarnya Mama juga gak mau jauh dari kamu, tapi ini udah resiko." Alesta menganggukkan kepalanya paham.
**
Alesta membuka matanya meregangkan ototnya yang terasa kaku setelah semalam ia tidur diatas karpet kamarnya karena tempat tidurnya ditempati Ansel. Sejenak ia arahkan pandangannya kearah tempat tidurnya yang telah kosong, sedikit Alesta berdecak kesal bukan karena ia tidak mendapati suaminya, tetapi kekesalannya karena melihat tempat tidurnya terlihat jelas berantakan.
"Apa? Kenapa kau menatap diriku seperti itu?" ujar Ansel setengah ketus, begitu kembali dari kamar mandi membuat Alesta yang tengah melipat selimut mendadak menjatuhkannya.
Perlahan tatapan mata mereka bertemu, namun sadar akan keadaan yang Ansel yang baru saja mandi terlihat jelas begitu tampan dengan rambut basah, membuat Alesta sekilas menatap kearah kiri kanan dengan degupan jantung yang cukup keras.
Ansel menyeringai pelan menatap Alesta, dari atas sampai bawah. Dimatanya saat ini Alesta begitu terlihat polos, ditambah lagi rona merah tipis yang menjalar pada pipi putih Alesta membuat Ansel mau tidak mau sedikit menahan tawa. Kemana perginya jiwa Monster Alesta sekarang? Sekelabut tanda tangan melingkupi pikiran Ansel saat ini.
Perlahan Ansel berdiri tepat di depan Alesta, hanya berjarak beberapa centimeter. Namun, baru saja Ansel berniat ingin menggoda sedikit istrinya, mendadak Alesta...
"Huacuhhh!" Bersin Alesta membuat Ansel seketika mendengus pelan mengurungkan niatnya untuk menggoda istrinya tersebut, dan memilih untuk mengambil ponselnya di atas meja nakas dan membiarkan Alesta membersihkan sendiri kamarnya.
"Hari ini, kita pulang saja!"
"Kenapa? Bukannya bapak udah ngomong saya boleh tinggal di sini dua hari, kenapa Bapak berubah pikiran?" Ansel mendengus pelan.
"Karena aku tidak suka!" Alesta menatap sebal Ansel, tanpa banyak bicara ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar meninggalkan Ansel yang terdiam sesaat, acuh akan sikap Alesta dan memilih untuk kembali memainkan ponselnya.
**
"Selamat Ulang Tahun My honey!" ujar Erick begitu Alesta melangkahkan kakinya keluar dari kamar mendapati Erick dan sang Ibu membawa satu buah kue ulang tahun. Bahkan Ansel yang tengah memainkan ponselnya mendadak berhenti dan keluar kamar menatap Alesta dan Erick terlihat begitu akrab, membuat jiwa playboy miliknya menggeram kesal menatap kedekatan keduanya.
Sedangkan Alesta jangan ditanya, terkejut itulah yang dirasakan Alesta, sekaligus bahagia. Benarkah ini, mereka tidak melupakan hari ulang tahunnya. Alesta tak sungkan untuk menerima kado dari Erick yang membuat Ansel menggeram kesal meninggalkan ketiga orang tersebut yang tengah menikmati perayaan kecil ulang tahun Alesta.
"Cih, seperti anak kecil saja!" Kesah Ansel begitu masuk kamar melimpahkan kekesalannya dengan mengobrak Abrik tempat tidur yang telah Alesta tata, dan tanpa menyadari sama sekali jika ada seseorang yang masuk ke kamar ketika dirinya terus mengumpat.
"Ansel!" Seketika Ansel menghentikan gerakannya dalam mengobrak Abrik isi kamar Alesta, begitu mendengar suara sang Ibu masuk ke gendang telinganya.
"Mama!"
"Kamu cemburu? Kalo cemburu jangan kayak gitu Ansel!"Ansel diam, memilih duduk di atas tempat tidur Alesta.
"Enggak, Ansel gak cemburu kok Ma. Untuk apa Ansel cemburu, lagian Istri Ansel biasa-biasa aja wajahnya!" Mendengar ucapan anaknya itu seketika membuat Ibu Ansel dengan cepat menipuk kepala putranya tersebut.
"Mama kenapa sih, suka banget nyiksa Ansel. Lagian Ansel gak salah kali ini, yang Ansel omongin emang fakta!"
"Mama nyiksa kamu karena kamu salah, harusnya istri ulang tahun itu di kasih kado. Lagian kemaren sebelum kamu nikah, bukannya Mama udah nyiapin paket bulan madu, kenapa gak pergi?" Mendadak mendengar ucapan ibunya Ansel diam, dirinya benar-benar tidak tau harus menjawab apa.
"Kenapa diam?"
"....."
Melihat keterdiaman anaknya tersebut membuat Ibu Ansel, berinsiatif duduk tepat di samping anaknya tersebut yang jelas dari raut wajahnya Ansel terlihat kesal.
"Ansel gak tau, kalo hari ini ulang tahun Alesta. Yang Ansel tau kalo hari ini, ulang tahun kembarannya Alesta!" Seketika perempuan paruh baya tersebut menepuk dahinya entah kenapa ia merasa semakin hari kecerdasan Ansel semakin berkurang.
"Aughh!" Teriak Ansel kesakitan karena secara tiba-tiba sang Ibu menarik telinganya cukup keras untuk kesekian kalinya.
"Kamu itu emang bener-bener bodoh, atau cuma pura-pura sih! Namanya anak kembar pasti lahirnya bareng, gimana sih kamu ini!" Kesah Ibu Ansel, menatap raut wajah anaknya yang begitu jelas terlihat tidak peduli sama sekali terhadap ulang tahun Alesta.
**
Disaat Ansel yang tengah kesal terhadap kebersamaan antara Alesta dan Erick, kini tampak senyum tipis tidak pernah terlepas dari bibir Alesta begitu mendapati keluarga besarnya termasuk ayahnya ada di rumahnya. Berapa kali Alesta melirik kearah Ibu dan ayahnya secara bergantian, terlihat begitu jelas saling memandang acuh.
Sret...
"Hey, kau mau membawa Alesta kemana?" ujar Erick dengan suara begitu ketus ketika Alesta yang sedari tadi berdiri di samping Erick secara tiba-tiba ditarik begitu saja oleh Ansel yang entah sejak kapan ikut bergabung merayakan ulang tahun Alesta dan Arini.
"Bukan urusanmu dan tutup mulutmu! Alesta istriku, jadi terserah diriku ingin membawanya kemana!" ujarnya seraya melangkah pergi masih dengan setia menggenggam erat tangan Alesta yang beberapa kali terlihat mengadu sakit pad pergelangan tangannya.
**