"Mulai besok, jangan temui temanmu itu!" tekan Ansel pada Alesta yang hanya diam tak mampu menjawab sama sekali kekesalan Ansel terhadap kedatangan, Erick yang hanya bermaksud untuk menggoda Ansel.
Alesta sudah sangat mengenal Erick dengan baik laki-laki itu selalu berbicara hal yang kadang tidak ada gunanya sama sekali. Jadi, dapat dikatakan Alesta merindukan moment di mana Arini begitu sangat kesal pada sosok Erick yang terus saja bicara tak jelas dan tak berguna.
"Kau mendengarkan diriku, bukan?" Alesta diam menganggukkan kepalanya pelan, menahan rasa ketidaksetujuannya terhadap ucapan Ansel barusan.
"Tapi, pak kenapa saya gak boleh ketemu sama teman saya?" Seketika Ansel menggeram kesal terhadap ucapan Alesta yang secara tidak langsung tengah membatah dirinya, jika saja Ansel memiliki sedikit mental sudah pasti ruangan ini akan menjadi seperti kapal pecah.
"Lupakan saja, jangan coba-coba untuk membantah saya. Kamu tau, kan hukumnya istri ngelawan suami itu, apa?" Seketika Alesta hanya dapat diam bungkam terhadap ucapan Ansel. Semua benar apa yang telah dikatakan kembarannya, adalah benar. Alesta merasa saat ini menjadi perempuan yang begitu lemah dan kesepian tanpa adanya jiwa Arini.
Tidak! Alesta mencoba untuk mensugesti dirinya sendiri. Dirinya tidak bisa menjadi perempuan lemah, seperti apa yang selama ini Arini katakan mengenai dirinya.
"Kenapa hanya diam, cepat makan! Aku tidak ingin laki-laki pebinor itu mengolok diriku karena kau menjadi tulang dan kulit!" Alesta diam, menatap makanan di depannya tanpa nafsu sama sekali dan meninggalkannya begitu saja dan juga Ansel yang hanya diam tak bergeming, dan memilih untuk melanjutkan acara makan malamnya yang sempat terusik akan kedatangan Erick secara tiba-tiba.
"Tumben sekali, tidak bernafsu untuk mencekik leherku." ujar Ansel menyentuh lehernya sendiri yang hampir tiap waktu merasa terancam terhadap kehadiran Alesta berjiwa Arini.
**
Meninggalkan makan malam yang hanya ada keheningan dan kehampaan. Kali ini Alesta memilih untuk menyenderkan kepalanya pada kepala ranjang sembari memainkan kartu tarot dalam genggamannya.
Entah kenapa Alesta tidak memiliki semangat sama sekali untuk melakukan sesuatu, termasuk untuk membaca prediksi kartu tarotnya sendiri. Apa ini masih ada hubungannya dengan Arini?
Ting...
Suara pesan masuk pada ponselnya, seketika membuyarkan lamunan Alesta.
"Aku kabar, kuharap kau baik." Alesta menaikan sebelah alisnya bingung begitu membaca pesan masuk, dari nomer tak dikenal pada ponselnya.
"Kenapa kau tidak membalasnya, apa kau takut?" Alesta semakin di buat bingung akan pesan tersebut, setelah dirinya memutuskan untuk mengabaikan pesan tersebut.
"Kau sepertinya semakin pikun setelah kepergian kembaran mu itu!"
Mendadak setelah membaca pesan tersebut, jantung Alesta merasa diremas kuat. Entah kenapa Alesta merasakan sesuatu yang akan buruk terjadi. Tidak! Alesta harus bersikap positif, keluarganya benar-benar hancur setelah kematian Arini.
Apa ini pesan salah satu dari rival Arini? Pertanyaan tersebut seketika bergelayut dalam benak Alesta, jujur saja Alesta sering sekali mendapatkan pesan teror setelah kematian Arini, tapi ini sudah bertahun-tahun berlalu. Kenapa teror itu kembali lagi?
"Siapa kau, jangan berani-berani untuk membahas kematian kembaranku!" ujar Alesta seraya mengetik pesan, sebelum akhirnya melepaskan kekesalannya dengan menahan air matanya.
Sungguh, Atlesta benar-benar merasa pusing dengan semua ini. Terutama jika hal ini bersangkutan langsung dengan Arini, dan untuk kembarannya itu belum juga genap 48 jam kembarannya pergi, entah kenapa Atlesta merasa batinnya merasa begitu sangat sakit.
Menatap kembali ponselnya, sepertinya besok Atlesta harus bertemu Eric. Satu-satunya orang yang selalu ikut andil ketika Arini mengikuti tauran. Alesta yakin mungkin orang yang mengiriminya pesan gila merupakan salah satu orang yang pernah memiliki masalah dengan Arini.
**
"Apa? Tidak, kau tidak bisa bertemu dengan laki-laki pebinor itu. Apa kau lupa agenda kita untuk mencari kursus untukmu?" kesah Ansel Pratama pada pagi ini setelah sang Istri Atlesta meminta Ansel untuk mengijinkannya bertemu dengan Erick.
Ansel benar-benar jengah mendengar nama laki-laki yang selalu saja memiliki kesempatan untuk merendahkan harga dirinya.
"Tapi, pak ini penting." ujar Atlesta mencoba memberikan pengertian pada Ansel.
"Jangan banyak alasan, aku tau kau bersahabat baik dengannya. Tapi, sekarang lupakan laki-laki itu dan menurutlah padaku!"
"Jika, kau menurut aku akan mengantarmu ke rumah ibumu!"
Alesta diam mendesah pelan menatap datar wajah Ansel yang diselimuti rasa kekesalan. alesta merasa bingung harus menjelaskan bagaimana, tidak mungkin bukan jika dirinya menjelaskan jika semalam dirinya di teror.
Cukup lama alesta menampilkan raut wajah begitu jelas tengah berpikir keras. Membuat Ansel akhirnya menyerah dengan sedikit melempar garpu dan sendok dengan kasar.
Melihat raut wajah alesta yang terlihat begitu kesal sekaligus marah membuat Ansel hanya mampu menumpahkan kekesalannya pada garpu dan sendok. Bukan tanpa alasan, Ansel tidak berucap kembali dan memilih pergi dirinya masih sangat menyayangi nyawanya.
"Pergilah, aku akan menemani dirimu!" ujarnya seraya melangkah pergi meninggalkan Alesta yang terdiam terkejut mendengar perubahan jawaban dari Ansel yang sebelumnya, sangat kukuh tidak mengizinkan Alesta bertemu dengan Erick.
**
Siang harinya Alesta dan Ansel memutuskan untuk bertemu dengan Erick disalah satu cafe terkenal di Jakarta, tempat dulunya Alesta, Arini, dan Erick selalu berkumpul setiap akhir pekan.
"Mana, laki-laki itu? Kita sudah menunggu lama!" Ansel berujar penuh kekesalan ketika dirinya sampai tidak menemukan batang hidung laki-laki yang begitu ingin dirinya hajar.
"Maaf pak, sebelumnya. Bukankah kita baru saja sampai, lebih baik kita tunggu sebentar!" Ansel seketika berdecak kesal benar-benar, apa yang dikatakan Alesta memang benar dirinya dan Alesta memang baru saja sampai dan bahkan baru saja mendudukkan diri. Tetapi, Ansel sepertinya tidak tahan jika harus bertemu dengan Erick yang selalu saja memiliki untuk merendahkan Ansel.
"Alesta benar, kau baru saja sampai. Kenapa mau pulang, apa kau mau berkencan dengan salah satu kekasihmu itu?" Ansel menggeram kesal mendapati Erick yang tersenyum penuh menghina pada dirinya.
Perlahan Erick tersenyum tipis kearah Alesta yang hanya ditanggapi oleh perempuan itu dengan senyuman tipis pula.
"My honey, apa kau ..."
"Sudah aku katakan, jangan panggil istriku seperti itu!" Decak Ansel memotong ucapan Erick dan membuat Erick tersenyum sekilas menatap Alesta yang terlihat tertekan.
"Dan, kau cepat katakan tujuanmu untuk bertemu dengan laki-laki pebinor ini. Mataku selalu sakit bertemu dengan laki-laki ini!" Lanjut Ansel, melirik kearah Alesta.
"Jika matamu sakit lebih baik tutup mata dan mulutmu. Sebagai laki-laki kau sangat cerewet sekali!" ujar Erick seraya menulis pesanan setelah seorang pelayan datang memberikan daftar menu.
"Beruntung sekali, kau menikah dengan Alesta setidaknya kau tidak menikah dengan kembarannya. Aku yakin, jika kau bicara seperti itu pada Arini, kau akan habis ditumbuk menjadi abon!" ujar Eric bangkit berdiri berjalan kearah meja kasir untuk memberikan daftar pesannya.