Ansel diam untuk sesaat menatap Calon istrinya sekaligus sekertarisnya, tidak ada raut terkejut sama sekali menggambarkan raut wajah Alesta ketika Ansel untuk sesaat menelisik raut wajah Alesta yang baru saja menggambarkan selesai menangis, dengan mata merah sedikit bengkak.
Ternyata tebakannya benar sekertaris Monsternya itu terlihat begitu tertekan dengan raut wajah sangat kentara. Ckck, kasihan sekali? Setidaknya melihat raut wajah Alesta yang tampak enggan menatap dirinya membuktikan akan sangat mudah dirinya lepas dari perjodohan ini. Lagipula, dirinya dan Alesta sama-sama tidak menginginkan hal ini, apalagi yang dipermasalahkan?
"Cih, kau membuat suasana ini menjadi buruk. Hapuslah air matamu itu, sebelum orang tua kita sadar kau habis menangis!" Ansel berujar kesal menatap Alesta yang hanya diam merunduk takut padanya. Hey, ada apa ini mana keberanian Alesta hari itu?
Bukan tanpa alasan Ansel mengatakan hal itu, karena dirinya sedikit geram dengan sikap Alesta yang hanya diam dan tau-tau meneteskan air matanya. Ansel mengaku dirinya memang suka sekali mempermainkan wanita, tetapi jujur hal yang paling ia benci adalah ketika dirinya melihat seorang wanita menangis. Benar-benar cengeng, kemana jiwa monsternya itu?
"Sepertinya bapak, benar-benar tidak menerima perjodohan ini!" ujar Alesta diam mengamati berbagai sajian di depannya.
"Jika, tau itu kenapa masih bertanya? Kau adalah karyawan ku, akan baik jika kau mengatakan langsung nanti pada keluarga kita!" Alesta yang sebelumnya hanya menunduk takut secara tiba-tiba mendongkrakkan kepalanya menatap Ansel dengan pandangan bingung. Alesta bukannya Tiffany mengerti dengan ucapan Ansel hanya saja Alesta sangat takut, dirinya terlalu sangat mencintai sosok kakek dan neneknya yang tidak pernah dapat menolak keinginannya.
"Jangan berpura-pura bodoh, aku tau kau mengerti maksudku. Kita sama-sama tidak menginginkan hal ini, kau adalah bawahanku dan kau harus menuruti keinginan ku dan aku akan membayar mu lebih, jika kau bisa bicara langsung nanti mengenai hal ini!" Mendengar ucapan tersebut sesaat membuat Alesta hanya mendesah pelan, laki-laki di depannya benar-benar tidak menyukai dirinya.
Sejak awal bosnya itu mengutarakan hal yang begitu jelas tidak menyukai dirinya, Alesta bahkan masih ingat ketika Ansel dengan kurang ajarnya melempar selembar uang di depan wajahnya dan berakhir ketika laki-laki itu diberi pelajaran oleh Arini. Alesta tak perlu tau dan bertanya pada Arini, karena dirinya sangat jelas mengerti jika Arini benci dengan orang yang bersikap tidak baik padanya.
"Pak.., sebelumnya maaf! Saya pikir lebih baik Bapak yang bicara, karena saya sudah mencoba menolaknya!" Mendengar penuturan tersebut seketika membuat Ansel menggeram kesal.
"Kamu pikir jika saya mengatakan hal itu, orang tua saya akan diam saja, begitu? Kau itu sekertaris ku, jangan berpikir terlalu bodoh tentang hal ini!"
"Memangnya apa yang akan dilakukan orang tua Bapak?" sesaat mendengar penuturan lawan bicaranya tersebut hanya mampu membuat Ansel menepuk pelan kepalanya, dan baru saja dirinya mengatakan hal itu Alesta berujar kembali.
"Saya akan ke kamar mandi dulu, oh ya Pak ngomong-ngomong orang tua kita sudah berada di belakang kita," Alesta berujar begitu saja sebelum akhirnya bangkit dari duduknya meninggalkan Ansel yang telah menghela napas pelan karena beruntung para orang tua itu tidak mendengar ucapannya tadi.
**
"Papa, Mama!" ujar Ansel sesaat bangkit dari duduk bersalaman dengan mencium Taha kedua orang tuanya dan sedikit tersenyum tipis pada dua orang yang datang bersama kedua orang tuanya, salah satunya kontraktor perusahaannya.
"Ansel sayang, Mama tau pasti kamu terkejut kan?" Ansel tersenyum tipis menanggapi hal tersebut, tanpa dirinya bertanya pasti sang Ibu akan menjelaskannya nanti.
"Mereka berdua adalah calon mertuamu, oh ya di mana Alesta? Mama dengar Alesta itu sekertaris barumu!" Ansel tersenyum tipis menganggukkan kepalanya pelan, menatap para orang tua di depannya yang tengah sibuk membicarakan perihal pernikahan. Hingga sang ibu duduk tepat di sampingnya dengan menunjukkan dua buah undangan yang membuat Ansel sesaat diam.
"Di kamar mandi, Ma! Apa ini Ma?" ujar Ansel menaikan sebelah alisnya bingung menatap dua buah undangan yang tercetak jelas tanggal pernikahannya dengan Alesta.
Plakk...
Secara gamblang sang Ibu menepuk pelan paha Ansel yang berbicara seolah tidak dapat membaca.
"Aughhh, Mama itu kasar sekali sama anak sendiri!" ujar Ansel seraya mengelus pelan bekas tamparan ibunya.
"Biarkan saja, Mama mu itu Ansel. Kau itu sudah bersekolah berapa tahun hingga aku tak tau maksud undangan itu? Jangan bodoh kau benar-benar mempermalukan keluarga kita!"
"Sudahlah, Mbak, Mas. Jangan kasar seperti itu pada putramu, bisa-bisa nanti gaji Alesta di potong olehnya!" Kali ini Ayah Alesta berbicara gamblang membuat para orang tau hanya tertawa ringan akan tingkah bodoh Ansel barusan.
"Jika sampai dia memotong gaji menantuku, aku akan buat anak nakal ini menyesal!"
"Aghhh...," Ringis Ansel kesal menatap sebal pada sang Ibu yang dengan seenaknya menjewer telinganya. Tanpa ibunya suruh pun Ansel tidak akan memotong gaji sekertaris monsternya itu.
Di tengah kesibukan dua keluarga tersebut yang tengah membicarakan acara pernikahan yang kian mendekat, Alesta secara tiba-tiba telah kembali dari kamar mandi. Sekilas pandangan mata Ansel dan Alesta saling bertemu. Kali ini Ansel sedikit menaikan sebelah alisnya menatap tatapan tajam dari mata Alesta, ada apa? Seolah Ansel tengah bertanya pada Alesta.
"Wow, dia cantik bukan Ansel? Kau sangat beruntung, Mama yakin dia akan kalah dengan para mantan pacarmu!" Sang Ibu berujar begitu saja dengan berbisik menatap Alesta yang tengah menatap terkejut pada undangan tersebut.
"Sayang, kami telah memutuskan untuk mempercepat pernikahannya. Lagipula, dari tatapan kalian sepertinya kalian tidak sabar dengan pernikahan ini. Begitu juga dengan kami
"Tapi, Tan..."
"Bukan, Tante sayang..., Tetapi Mama! Panggil aku Mama!" ujar Ibu Ansel dengan suara penuh kasih sayang, sehingga membuat Alesta berjiwa Arini yang tadinya hanya memperhatikan undangan kembali menatap Ansel dengan seringai tipis di bibirnya.
"Ma, ini terlalu cepat! Benar bukan?" ujar Ansel melirik Alesta, agar Alesta segera menimpali ucapannya. Tetapi, sayang seribu sayang ekspetasi Ansel benar-benar melenceng dengan keinginan Alesta berjiwa Arini.
"Tidak juga, menurut saya ini tanggal yang bagus untuk kita menikah, lagipula pasti calon suamiku ini tau betul untuk menjadi anak berbakti!" ujar Alesta kali ini membuat calon Ibu mertuanya benar-benar antusias, tetapi tidak dengan Ibu kandungnya yang seakan tidak rela melepas putri satu-satunya.
"Kau benar Alesta, anak ini selalu saja menyusahkan orang tua dan membuat pamor keluarganya turun saja. Aku jadi ragu jika dulu bayiku tertukar!" Mendengar hal tersebut seketika membuat semua orang tertawa, termasuk Alesta berjiwa Arini yang hanya tertawa dalam hati.
"Melihatmu, begitu bahagia dan tidak ada masalah. Maka besok kau harus datang bersama Ansel untuk mencoba gaunnya."
"Tapi, Ma..."
"Ansel, sudah Mama bilang tidak ada kata tapi, kau harus datang besok!"
"Mama mu benar, kau sudah cukup merusak pamor keluarga kita!" ujar sang Ayah membuat Ansel hanya dapat menerima nasibnya dengan melemparkan sebuah lirikan tajam ke arah Alesta berjiwa Arini yang tengah menyantap makan malamnya.
"Kenapa, apa Bapak tidak sabar?" Ansel diam mengabaikan ucapan Alesta yang nyaris berbisik tersebut.
**