Brak...
Ansel menggeram marah begitu para orang tua telah pergi untuk melanjutkan pembicaraan persiapan pernikahan mereka. Ansel benar-benar tak percaya dengan ekspetasinya yang melenceng jauh.
"Kenapa?" ujar Alesta tak jauh kesal seraya balas menggebrak meja, membuat mereka menjadi bahan tontonan di restoran saat ini.
"Kau masih bertanya, apa kau itu gadis yang begitu tolol hingga tidak mengerti apapun yang aku bicarakan saat ini. Kau tidak menyukai pernikahan ini, kenapa kau berbicara menerima pernikahan ini?" Alesta berjiwa Arini mendengus pelan, mengabaikan tatapan tajam Ansel dan memilih untuk mengiris potongan daging steak yang masih utuh.
"Memang, Bapak benar saya tidak menyukai pernikahan ini!" ujar Alesta dengan begitu gamblangnya tersenyum semanis mungkin di depan Ansel yang seketika menampilkan raut wajah merinding. Entah kenapa aura gadis di depannya benar-benar berbeda dengan yang tadi.
"Lalu Kenapa kau menerimanya?" ujar Ansel dengan suara penuh penekanan menuntut jawaban dari Alesta berjiwa Arini yang hanya menampilkan senyum devil.
"Aku menerimanya karena aku ingin memberikan dirimu pelajaran, laki-laki buaya seperti dirimu tidak pantas bersanding dengan siapapun!" Balas Alesta mengabaikan tatapan tajam dari Ansel, seraya bangkit berdiri.
Jam telah menunjukkan hampir jam 11 malam, ini sudah waktunya untuk pulang lagipula esok hari Alesta harus bekerja dan Arini tidak ingin apapun terjadi pada saudaranya. Namun, baru saja beberapa langkah Alesta berjiwa Arini akan meninggalkan Ansel, dengan kurang ajar laki-laki itu menarik Alesta hingga keluar dari restoran.
"Wow, tenanglah apa kau sedang kerasukan!" ujar Alesta dengan begitu tenang membuat Ansel menghentikan langkahnya untuk sesaat memandang tajam Alesta, sebelum akhirnya kembali menyeret Alesta untuk masuk kedalam mobilnya.
**
"Apa yang kau katakan, aku laki-laki kurang ajar begitu?" ujar Ansel seraya mencengkram dagu Alesta dengan sedikit keras.
"Kau mengatakan setuju dengan pernikahan ini, aku sudah dengan baik memulai penolakan pernikahan ini. Kenapa kau bicara seolah kau sedang mengagumi buaya di depanmu ini?"
"Atau kau mulai menerima perjodohan ini, tapi sayang sekali Nona Alesta kau benar-benar bukan perempuan tipeku, jadi lebih baik buang angan-anganmu itu jika ingin mengagumi diriku sebagai suamimu. Karena sekalipun kita menikah aku tidak akan menganggap dirimu ada!" Alesta mendecih pelan melepaskan cengkraman tangan Ansel dari dagunya dan beralih menarik keras kerah kemeja Ansel hingga pada akhirnya dengan perasaan begitu jengah, Alesta berjiwa Arini mencekik leher Ansel.
"Dengar Tuan Ansel Pratama, aku akui kau memang tampan. Tetapi bukan berarti setiap wanita akan jatuh hati padamu, kau tau tanganku ini bisa sewaktu-waktu mencekik dan mematahkan lehermu!" ujar Alesta tersenyum keji mengabaikan raut wajah Ansel yang terlihat setengah memucat tanpa ada niatan sama sekali untuk melepaskan cengkeramannya tersebut.
"Satu-satunya alasanku menyetujui pernikahan ini, karena aku ingin memberikan pelajaran pada makhluk buaya seperti dirimu. Aku tidak masalah jika kau ingin berhubungan dengan perempuan lain ataupun tidak menganggap diriku, tapi ingat ini jika kau lakukan hal menjijikan itu di depan mataku, maka kau tau bukan tangan ini sendiri yang akan mematahkan lehermu!" ujar Alesta berjiwa Arini, sebelum akhirnya sedikit mengendurkan cengkraman tangannya dan perlahan melepaskan celikannya pada leher Ansel
Untuk sesaat Ansel benar-benar dapat bernapas dengan lega, setelah ia benar-benar merasa diambang kematian karena cekikan dari sekertaris monster itu. Tanpa bicara lagi Ansel melajukan laju mobil membelah jalanan kota Jakarta yang pastinya masih ramai.
**
Esok harinya, seperti biasa Alesta telah kembali pada jiwanya. Alesta benar-benar tak percaya begitu Arini menjelaskan segalanya, ia benar-benar takut harus menikah dengan laki-laki
"Kau tidak perlu takut, jika dia melakukan sesuatu padamu aku sendiri yang akan membunuh laki-laki itu!" ujar Arini dengan suara begitu tegas sesaat ketika Alesta melangkah memasuki lift dan tentunya lift yang saat ini dinaiki Alesta tengah kosong.
Untuk sesaat pandangan mata Alesta menatap Arini ragu, tetapi tidak dengan Arini yang seolah mengatakan agar Alesta tidak perlu takut. Suara dentingan lift seketika membuat Alesta diam menghela napas pelan menatap sosok Arini yang tak kasat mata telah menghilang.
Alesta benar-benar dibuat terkejut akan apa yang dilakukan Arini semalam, ia tidak menginginkan hal ini. Dengan perasaan setengah malas Alesta menatap tumpukan dokumen di depan meja ruang kerja khusus untuknya, entah apa yang dilakukan oleh Arini yang pasti Alesta sangat bersyukur untuk tidak berhadapan langsung dengan atasannya yang begitu arogan dan menakutkan.
"Banyak sekali!" gumang Alesta memijat pelan pelipisnya setelah ia meyelesaikan dokumennya dan beralih pada banyaknya email yang masuk.
Dengan setengah lelah Alesta, berjalan masuk kedalam ruang kerja Ansel untuk menyerahkan dokumen yang telah ia selesai, tetapi baru saja ia membuka pintu pandangannya benar-benar ternodai menatap dua orang berbeda gender tengah asik berciuman.
"Maaf Pak, saya hanya ingin menyerahkan ini. Maaf jika saya mengganggu!" ujar Alesta menundukkan kepalanya enggan untuk menata Ansel secara langsung.
"Kau boleh pergi!" Baru saja Alesta akan melangkah pergi, secara mendadak suara Ansel kembali mengisi gendang telinganya.
"Bukan kau, tapi dia. Pergilah!" ujar Ansel membuat perempuan itu merenggut kesal yang Alesta tau perempuan itu merupakan model perusahaan Ansel.
"Baiklah, tidak masalah!" ujar perempuan itu seraya mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya pergi dengan memberikan tatapan tajam pada Alesta.
**
"Ada apa Pak?" Ansel mendecih pelan menatap penuh sebal pada calon istrinya.
"Kau masih bertanya ada apa? Apa kau sudah hilang ingatan dengan apa yang dibicarakan dengan Mama kemarin?"
"....," Mendengar cemoohan Ansel, Alesta hanya mampu diam karena pasalnya dia pun tidak tau, sebenarnya apa yang telah terjadi kemarin malam dan terakhir yang Alesta ingat adalah ketika dirinya ijin ke kamar mandi.
Sesaat Ansel menggeram kesal, melihat keterdiaman Alesta bak orang bodoh dan hal itu terjadi hampir Lima belas menit lamanya, dan hal itu benar-benar membuang waktunya.
"Sudahlah, percuma saja bicara denganmu. Mama pasti sudah menunggu kita!" ujar Ansel berjalan begitu saja melewati Alesta yang masih diam tak mengerti akan ucapan Ansel. Namun, lamunannya langsung menghilang begitu saja begitu Alesta melihat sosok tak kasat mata dari Arini yang memandang tajam penuh kebencian pada Ansel.
"Ikuti dia, hari ini kau akan mencoba gaun pernikahan. Jangan takut, aku akan mencekik buaya itu jika terjadi sesuatu padamu!" ujar Arini sebelum akhirnya menghilang begitu saja meninggalkan Alesta yang diam meneteskan air mata.
Dengan langkah ragu, Alesta berjalan menyusul Ansel yang tengah menunggu lift terbuka, untuk beberapa detik tatapan mata antara Ansel dan Alesta dan bertemu. Namun, suara dentingan lift terbuka seketika membuat Alesta langsung melesat masuk begitu saja mengabaikan Ansel yang diam-diam mendapati bekas air mata di sudut mata Alesta.
"Kau tidak perlu cengeng seperti itu, kemana jiwa monstermu itu?"
"Hah?" Cengo Alesta tak mengerti sama sekali dengan ucapan Ansel barusan.