Alam mengambil seseorang darimu,
yang tak kau sangka akan kehilangannya.
Semesta hadirkan dia untukmu,
yang tak kau sangka akan memilikinya.
*****
Alaska mencoba meyakinkan Embun untuk mau menerima bantuannya, walau mungkin tidak banyak. Tapi seperti biasa, gadis keras kepala ini selalu menolak.
"Kepala batu," rutuk Alaska.
"Bukan gitu, aku cuma nggak mau ngerepotin siapapun."
"Gengsi tinggi," kata pria itu lagi.
"Nggak ada gengsi, hanya mau mandiri."
"Sok kuat." Tak mau kalah lelaki itu berucap lagi.
"Mau nggak mau harus kuat."
"Terserah lo deh." Alaska menyerah untuk terus berdebat.
"Sayur asem aja, jangan lodeh." Embun mengulum senyum.
"Gue ada tabungan dikit kok, Mbun. Udah lo pake aja kagak apa-apa. Suer. Gue juga belum butuh. Jadi sama aja, buat apa tu duit ngendon di tabungan kan. Lo pake kan jadi lebih ada gunanya. Lo bisa balikin pelan-pelan. Gue juga belum tahu kok itu duit mau buat beli apa," kata Al bersikeras membujuk Embun.
"Buat modal kawin kali," jawab Embun sambil tergelak.
"Udah, nggak usah. Aku nggak mau hutang makin menumpuk. Kalau tiba-tiba aku nggak ada umur, gimana? Mati nanggung hutang segitu banyak. Takut ah," lanjut Embun.
Mereka kemudian larut dalam diam dan tangan masing-masing. Alaska sibuk membaca makian Claudia yang dikirimkan melalui whatsapp sebelum kemudian memblokir nomornya. Sementara Embun sedang berselancar di Instagram mengagumi foto-foto wisata dan alam.
"Percuma liat doang, rekreasi yuk? Sekali-kali kita liat alam," ajak Alaska.
Dari hasil stalking, ia tahu akun yang diikuti Embun mayoritas adalah wisata dan alam. Tapi sejauh ini, belum pernah gadis itu pergi berwisata atau menjelajah alam.
"Nggak ada waktu, bokek juga." Embun tidak mengalihkan pandangan dari telepon genggamnya.
"Astaga, nyamber mulu kaya geledek. Udah, lo ikut aja. Lo libur Kamis besok kan? Kita berangkat Rabu sore." Alaska mengumbar senyum.
"Aku ada kuliah Rabu malam." Embun mengalihkan pandangan ke pria di hadapannya.
"Ya udah, kamis pagi kita berangkat, balik malam." Alaska menjentikkan jarinya.
"Mo kemana emangnya?" Embun heran dengan ajakan mendadak Alaska. Selama ini mereka hanya kongkow di sekitaran Jakarta. Belum pernah keluar kota, atau berwisata.
"Udah, itu urusan gue. Anggap aja surprise. Lo dah banyak bantu gue selama ini." Mata Alaska berbinar melihat peluang Embun untuk setuju.
"Tapi bener nggak ngerepotin?" Embun mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Ya elah, kaya ma siapa aja lo. Fix ya? Kamis jam tiga pagi gue jemput. Gue pinjem mobil saudara." Alaska mengulurkan jari kelingking.
"Deal." Embun mengaitkan jari kelingkingnya.
"Cie cie, apaan tuh." Bapak warung tahu-tahu nongol.
"Wanna know aja deh, rahasia dong." Embun tersenyum geli dengan kelakuan bapak ini.
Si bapak senyum-senyum sendiri sambil meletakkan pesanan Embun dan Alaska di meja.
"Makasih, Pak," seru mereka hampir bersamaan.
"Cie cie, kompak nih ye," goda si bapak sambil berlalu.
Embun dan Alaska segera menyantap pesanan mereka. Cacing di perut sudah meronta-ronta bahkan sejak sore tadi.
Tak jauh dari tempat mereka makan, takdir seolah memberikan sinyal. Lady sedang menghabiskan waktu di sebuah mall.
Setelah maraton menonton bioskop 3 film berturut-turut dan berbelanja beberapa pakaian, Lady mengistirahatkan kaki di sebuah cafe di dalam mall tersebut.
"Blueberry Pancake, toppingnya saya minta vanilla ice cream, sama hot lycee tea. Plus minta sedikit butter di toppingnya ya. Thanks." Lady sudah hafal dengan menu di salah satu cafe favoritnya. Jadi tak perlu lagi membaca buku menu.
Lady selalu meminta tambahan butter di atas pancake, yang kemudian akan dia oles merata untuk menambah rasa gurih. Mungkin sedikit aneh, karena jarang ada permintaan seperti itu dari pelanggan.
Pikirannya sudah lebih segar dan tenang setelah semua aktivitas seharian di mall.
"Harapanku cuma Broto, tak ada yang lain," katanya dalam hati.
Ia termenung beberapa saat, kemudian mengeluarkan telepon genggam dari clutch miliknya. Ditekannya sebuah gambar gagang telepon dengan latar belakang warna hijau, lalu mengetikkan nama Broto di kolom pencarian.
Riwayat percakapan dengan sang dokter muncul. Tapi hatinya masih sangat ragu untuk memulai pembicaraan.
Lady menghela nafas berkali-kali sebelum akhirnya mulai mengetik.
(Broto...)
Hanya itu yang mampu ditulisnya di awal.
Tak kunjung ada balasan. Lady menunggu sambil menikmati pancake di hadapannya.
Tuhan menciptakan kehidupan seperti sebuah pancake. Ada manis, asam, gurih, asin, hangat, dan dingin. Mungkin dunia akan membosankan jika hanya ada satu rasa saja.
Perasaan di hati Lady juga sudah nano-nano. Semua rasa bercampur aduk. Beban yang sudah dipikul sendiri selama beberapa tahun ini, akhirnya menemukan sebuah solusi. Tapi tetap saja tidak semulus apa yang dia harapkan.
Dinikmatinya pancake dan teh leci sembari menguatkan diri.
(Sori baru balas. Kenapa Lad?)
Broto membalas pesan yang dikirimnya.
(Bisa kita ketemu?)
Lady menahan gejolak hati dan pikiran hingga kedua tangannya gemetar. Susah payah ia menuliskan kalimat itu.
(Sekarang?)
Broto heran dengan Lady yang tiba-tiba mengajak bertemu. Tapi sepertinya ini sangat penting.
(Yes, bisakah? Please.)
Tanpa ada kata "please" saja Broto sudah semangat empat lima untuk menemui wanita itu. Tambahan kata please membuatnya berubah menjadi semangat enam sembilan.
(Jam 8, dimana?)
Tangan Broto sedikit gemetar. Dia punya firasat bahwa Lady akan mengatakan sesuatu yang di luar perkiraan. Entah apa.
(Cal's Cafe. See ya.)
Lady melirik jam tangannya. Masih ada waktu untuk menyelesaikan makannya dan menuju tempat tersebut.
(OK, see you there.)
Broto bergegas bersiap.
"Ada pasien darurat, aku pergi dulu ya," pamitnya pada Ningrum.
"Iya, ati-ati," jawab istrinya tenang karena memang sudah biasa bagi seorang dokter untuk pergi tiba-tiba karena panggilan darurat.
Broto tersenyum sekilas, dan segera berlalu.
Mobil BMW putih seri lima bernopol B 120 TO melaju dengan tenang, tapi tidak dengan jantung si pengendara. Jantungnya serasa melompat-lompat di rongga dada.
"Apa Lady setuju untuk bercerai dan menikah denganku ya? Terus kalau beneran dia mau gitu, aku harus gimana?" Tanya Broto dalam hati.
Pak dokter satu ini ke-GR-an, halu tingkat dewa tralala. Bisa saja kan Lady minta ketemu untuk membujuk dia menyetujui rencana surrogate mother. Belum tentu mau jadi istrinya.
"Sempurna sudah hidupku kalau bisa berhasil jadi suaminya," Broto tersenyum menampakkan sederetan gigi putih bersih.
Brrrr... Brrrr...
Telepon genggam Broto bergetar. Diliriknya sekilas nama yang muncul di layar. Lady.
"Hai, ini aku on the way ya." Broto sengaja mengucapkan kalimat itu selembut mungkin.
"Ya, santai aja. Gue cuma ngabarin kalo gue udah sampai." Suara wanita di seberang sana terdengar tenang.
Lady mencoba untuk setenang mungkin berbicara. Banyak hal berkecamuk dalam benaknya. Berbagai pertimbangan dan pemikiran hinggap di kepala.
Langkah apa yang sebaiknya diambil? Hingga detik ini Lady sebenarnya belum memiliki keputusan yang bulat. Ia akan mencoba untuk berdiskusi dengan Broto mengenai beberapa alternatif solusi. Semoga saja salah satu dari yang dia tawarkan bisa diterima sang dokter.
"God, please help me," ucapnya.
Sesosok lelaki yang ditunggunya muncul di depan pintu masuk cafe. Dia masih terlihat formal dengan celana katun dan kemeja lengan panjang berwarna merah marun.
Lady melambaikan tangan memberi tanda pada Broto, yang segera menghampiri dan duduk di hadapannya.
"Sori, lama ya nunggunya." Broto menyapa dengan lembut dan tentu saja senyum yang dibuat semanis mungkin.
"Nggak kok."