Chereads / Rahim Untuk Anakku / Chapter 10 - Hilang

Chapter 10 - Hilang

Entah berapa hati telah kutolak

untuk satu hati yang tak pernah pasti

*****

"Sudah order?" Pria itu menarik kursi di hadapan Lady.

Broto memandang sekilas ke sekeliling. Sebuah kafe dengan nuansa rustic yang sebagian dinding dibiarkan setengah jadi berbalur semen kasar, dipadu interior baru tapi bergaya kuno di beberapa sudut. Tata cahaya bergaya modern plus tambahan beberapa lukisan pop art menambah nyaman suasana.

"Sungguh perpaduan yang apik," batin Broto.

"Belum. Sekalian nunggu lo." Lady berusaha bersikap setenang mungkin.

Broto masih asyik menyapu pandangan ke sekeliling kafe. Terlihat beberapa anak muda tak henti berfoto. Memang, tempat ini instagramable banget. Beberapa tanaman hias buatan ditambahkan di sudut ruangan.

"Tempatnya keren," puji Broto.

"Iya. Nyaman aja di sini. Walau sebetulnya lebih banyak anak muda yang nongkrong di kafe ini," jawab Lady sambil tersenyum.

"Kita juga masih muda kok. Kata siapa kita sudah tua?" Broto berkata santai.

"Gue jelas belum jadi orang tua. Kalau lo, kan udah," ujar Lady.

Broto tersenyum sambil manggut-manggut.

"Sepertinya pesan langsung di kasir ya." Broto melihat tidak ada pelayan lalu lalang atau menghampiri meja pelanggan.

"Yap. Lo mau order apa?" Tanya Lady.

"Gue aja, Lad. Lo mau pesan apa?" Broto mendahului Lady bangkit dari kursinya.

"Hot cappucino sama garlic cheese bread. Thanks ya."

Broto segera menuju ke arah kasir sambil sekilas melihat daftar menu yang terpampang di papan tulis.

Sembari menunggu antrian ia melihat etalase kudapan. Nampak beberapa roti, donat, pizza, dan beberapa kue dalam ukuran kecil yang menggugah selera.

"Hot cappuccino, americano coffee, garlic cheese bread, tiramitsu cake, air mineral dua, jangan yang dingin ya, biasa aja," ucap Broto lancar.

"140 ribu, Pak," kata kasir.

"Kembaliannya ambil aja." Broto menyerahkan 2 lembar ratusan ribu.

"Terima kasih. Geser ke samping ya, Pak," jawab kasir dengan ramah.

Broto bergeser ke samping, sementara satu pelayan di samping kasir menyiapkan pesanannya.

Tak menunggu lama pesanan sudah siap di atas nampan kayu. Broto berjalan hati-hati membawa nampan menuju meja mereka.

"Fiuh, susah juga ternyata bawa nampan." Broto tersenyum.

Lelaki itu menata pesanan mereka dengan rapi di atas meja.

"Wait," cegah Broto ketika Lady ingin menyentuh cangkir cappuccino pesanannya.

Lady memandang heran pada pria tersebut.

"Difoto dulu, baru dinikmati. Haram hukumnya langsung makan sebelum difoto." Broto terkekeh geli melihat ekspresi Lady.

"Astaga...." Lady geleng-geleng kepala.

Benar saja, setelah memotret dua kali sambil berdiri, baru Broto duduk di kursinya.

"So, sudah boleh diminum?" Mau tidak mau Lady tertawa melihat sifat narsis pria itu.

Mereka berdua sedang berusaha menyamankan suasana dan hati. Keduanya sama-sama tidak tenang. Broto penasaran dengan apa yang akan dikatakan Lady, sementara Lady tak tahu harus memulai dari mana negosiasi malam ini.

Akhirnya mereka berbincang ringan tentang kehidupan setelah lulus kuliah untuk sedikit mencairkan suasana.

"Back to our main business. Broto, gue bener-bener butuh lo untuk bantu apa yang gue rencanakan. Gimanapun caranya." Lady membuka perbincangan serius setelah kurang lebih lima belas menit mereka berbasa-basi.

Nampak pria di hadapannya menghela nafas panjang.

"Jadi, masih ngotot mau surrogate mother dengan cara tadi? Gue nggak bisa Lady," tolak Broto dengan kalem.

"Kalo gue kencan beberapa malam dengan lo, apa lo mau bantu?" kata Lady nekat.

Pria itu membelalakkan mata, terkejut dengan apa yang diucapkan wanita di hadapannya.

"Jangan gila, Lad. Gue bukan cowok mesum! Gue cinta ma lo, bukan nafsu doang." Broto tidak menyangka Lady mampu mengeluarkan kalimat itu.

"Kalau gitu gue kasih diri gue buat lo, tapi gue nggak bisa cerai dari Kala," bibir Lady bergetar. Malam ini ia harus mendapatkan persetujuan Broto, apapun cara dan resikonya.

Broto seperti tersihir dengan mantra itu. Ia mematung. Tak mampu berucap, bahkan bergerak. Untung saja masih bisa bernafas.

"Gue bersedia have an affair with you, asal lo mau bantu gue," lanjut Lady.

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Alunan musik di ruangan kafe pun seolah terhenti. Mereka hanya mampu mendengar nafas masing-masing. Keduanya terpaku, dan sama-sama bergeming.

"Selamanya?" Akhirnya mulut Broto mampu bersuara.

Lady mengangkat wajah dan menatap pria di depannya. Sepertinya Broto mulai goyah.

"Ok, selamanya. Asal lo bantu gue. Kita sama-sama tetap dengan keluarga masing-masing. Tak ada yang tersakiti. Semua happy. Kita bisa beli satu apartemen khusus untuk kita, jadi aman." Lady mulai tenang melihat Broto sedikit terpengaruh.

Broto masih termenung. Sebongkah ragu menelusup hatinya. Ada rasa tidak tega menyakiti hati Ningrum, walau ia tidak mencintai wanita itu.

Tapi apakah dia bisa melewatkan kesempatan kebersamaan dengan wanita yang selama ini dicintainya? Tawaran ini tentu tidak datang dua kali.

Lady yang melihat Broto masih diliputi keraguan, berusaha meyakinkan.

"Jangan ada yang tersakiti karena kita. Lo dapet yang lo mau, yaitu gue. Gue berhasil dengan tujuan gue, punya anak dengan Kala. Istri dan suami keduanya tidak tersakiti. Apalagi yang lo ragukan?"

"Kenapa nggak cerai aja. Gue bantu lo surrogate, setelah lo nikah dengan gue," tukas Broto.

"Lo tega nyakitin Kala dan Ningrum? Gue butuh Kala untuk kelola perusahaan. Anak lo gimana? Lo sanggup jauhan ma dia? Kalo kita bisa mempertahankan apa yang sudah ada, kenapa harus kehilangan sih? Bukannya gue serakah. Tapi kita hidup sebisa mungkin nggak kehilangan, tapi justru menambah. Gue siap coba cinta sama lo. Please, do not hurt anyone." Lady berkata lirih tapi tegas.

Broto masih termenung. Ia ragu, akankah sebuah affair bisa ditutup selamanya? Bukankah sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga? Bagaimana kalau semua itu terbongkar? Tidak hanya keluarga berantakan tapi karir juga bisa hancur karena menyalahi kode etik kedokteran yang harus ia tepati dan junjung tinggi.

Semua memang sebanding dengan resiko yang harus dihadapi. Sebuah keuntungan besar, tentu berhimpitan dengan resiko yang tinggi. High risk, high profit.

"Broto, please." Lady memelas.

"Gue butuh waktu untuk berpikir, Lad. Ini bukan perkara yang sederhana. Pelik, rumit dan berbahaya." Broto memberanikan diri menggenggam tangan Lady.

Broto ingin menguji kesungguhan Lady. Karena seperti ia katakan tadi, ini bukan hal yang sepele. Kesepakatan yang mereka buat harus benar-benar utuh dan sepenuh hati dari kedua belah pihak. Akan sangat berbahaya jika salah satu pihak tidak menepati janji atau mundur tengah jalan.

Lady merasa tidak nyaman dengan perlakuan Broto. Ditariknya tangan yang digenggam pria itu.

"Sepakat dulu, baru lo boleh pegang-pegang gue," jawabnya tegas.

"Yakin kalo sudah sepakat lo nggak bakal ingkar janji?" Tanya pria itu sembari menatap tajam mata Lady.

"Sure, you know me. Gue nggak pernah main-main dengan ucapan gue kan?"

"Sepertinya nggak mungkin disepakati malam ini, Lady. Kita pikirkan lagi semuanya matang-matang. Gimana kalo sama-sama berpikir tiga hari ini. Lo belum pulang sama sekali? Baju lo masih sama dengan tadi siang." Broto yakin wanita itu sedang kalut. Kalau tidak, mana mungkin ia berkeliaran dari siang tadi sampai sekarang tanpa pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian.

"Iya, males pulang. Oke, tiga hari lagi kita make a deal. Tapi besok atau lusa kalo lo pengen ketemu gue, kabarin aja. Gue siap."