"Aku tahu," ucap Kurnia. "Dan itu memang sudah menjadi risiko yang harus aku ambil karena pekerjaanku ini."
"Dan kalau memang begitu," Mutiya tersenyum, menatap wajah gagah yang masih menyimpan sejuta pesonanya itu, menatap ke dalam bola matanya yang teduh itu. "Kau tidak perlu merasa berdosa dengan apa pun yang telah terjadi padamu, Sayang."
Seakan-akan ucapan sang istri menjawab rasa penyesalan di dalam dadanya kini itu, Kurnia tak dapat membendung keharuannya. Ia tersenyum, namun juga menggulirkan air matanya.
Tidak perlu lagi ada kata-kata yang keluar, kecuali kecupan hangat dan lembut di antara bibir keduanya itulah yang menjadi keputusan bagi mereka.
Semakin lama ciuman mereka semakin liar, Kurnia menarik pinggang sang istri agar tubuh itu semakin rapat ke tubuhnya. Memang, tubuh Mutiya tidak lagi indah, kalah jauh bila dibandingkan dengan tubuh Hesti.