"Ya, Papa bisa memahami itu."
Keisha tersenyum malu, lalu berdeham untuk mengusir segala kegugupan diri. Bagaimanapun, perasaan dan kedekatan ia dengan sang ayah sudah cukup lama tidak terjalin sebaik ini.
Lagipula, orang tua itu sudah cukup makan asam garam kehidupan, tentu ia tahu pasti apa yang membuat aku tidak bisa tidur cepat, pikir Keisha.
"Katakan pada Papa, Kei, kamu ada rencana apa ke depan nanti? Meneruskan kuliahmu yang tertunda lama? Atau, mencari pekerjaan?"
"Belum tahu, Pa. Keisha juga lagi mikir-mikir apa yang harus Keisha lakukan."
"Gadis itu membantumu?"
Keisha mengangguk. "Dia terlalu lugu untuk dunia ini, Pa."
"Begitu, ya?" Kurnia mengangguk-angguk kecil.
"Oh iya, Pa…"
"Hemm?"
"Apa Papa tahu atau mengenal orang yang bisa dipercaya di Jakarta, Pa?"
"Untuk?"
"Ya…," Keisha menggaruk-garuk kepalanya. Kembali ia berdeham. "Orang yang ahli dalam menilai batu mulia, Pa?"
"Batu mulia?"