Keisha sedikit hilang kesabaran menunggu kedatangan Delima di bangku taman yang sama di tepi danau kecil, walaupun ia tahu pasti bahwa ia datang terlalu pagi ke kawasan tersebut. Hanya saja, Keisha berharap bahwa Delima bisa memaklumi itu semua sebab sudah dua kali ia datang sepagi itu dan ini yang ketiga kalinya.
Bisa saja ia memaksa untuk mendatangi langsung rumah Delima, namun ada sesuatu yang menahan keinginannya tersebut. Katakanlah, Keisha masih merasa belum terlalu dekat dengan keluarga Delima, dan itu pasti akan terlihat sangat aneh dan canggung jika ia memaksa mendatangi rumah di tengah hutan itu.
Dan lagi, bukankah ini masih terlalu pagi untuk sekadar berkunjung ke rumah itu?
Lagipula, warna-warni yang dihadirkan di sekitar danau itu cukup ampuh membuat Keisha lebih bersabar lagi. Ia tersenyum memandang aneka warna bunga-bunga liar yang tumbuh di tepian danau. Dua taman itu dengan bunga mawarnya yang tiga warna, merah, putih dan merah muda. Melati yang putih dna kemuning yang sedikit kekuningan.
Tak henti-hentinya Keisha tersenyum lebar menyaksikan semua keindahan yang selama ini luput dari pandangannya.
Jadi, ya… ia berharap gadis itu segera muncul.
Tadinya, Shifa juga ingin ikut bersama Keisha untuk menemui Delima meskipun Keisha tidak mengatakan alasan di balik anugerah yang kini ia rasakan, bahwa ia bisa melihat semua warna sebagaimana dengan orang-orang pada umumnya.
Tapi Keisha melarang Shifa dengan berbagai alasan. Dan yang paling mengena adalah bahwa belum tentu Delima mau bertemu dengan Shifa, setidaknya, belum siap. Itulah yang dikatakan Keisha pada adiknya tersebut.
Lama menunggu, Keisha menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, ia menengadah. Langit memang tampak jauh berbeda kini di matanya. Biru yang indah, terhampar sejauh mata memandang, di beberapa sudut langit awan putih berarak pelan.
Begitu juga dengan daun-daun yang hijau, bahkan hijau pun memiliki perbedaannya sendiri-sendiri. Dan itu semakin membuat Keisha tersenyum dengan lebar.
Sudah hampir pukul sebelas siang kala Keisha mengecek arloji di pergelangan tangannya, dan sepertinya Delima belum juga akan muncul. Mungkin dia akan datang jam tiga sore nanti, pikir Keisha. Tapi itu terlalu lama, sementara ia sudah tidak tahan untuk tidak menanyakan apa yang telah terjadi kepada dirinya.
Ya, mungkin Delima mengetahui semua ini, pikirnya. Atau paling tidak, ibunya. Ya, pasti begitu.
Bagaimanapun, dari percakapan mereka kemarin, Keisha cukup yakin ibu Delima bukanlah wanita sembarangan. Sepertinya wanita yang terperangkap waktu itu—sehingga terlihat sepantaran dengan anaknya sendiri—memiliki kelebihan untuk bisa melihat kekurangan di dalam diri seseorang sepertiku, pikir Keisha.
Dan ya, pastilah teh madu mahkota dewa itulah yang menjadi media, menjadi obat, menjadi penyembuh pada kedua matanya. Mengembalikan semua hal yang hilang dari dirinya.
Tidak berapa lama kemudian satu sosok terlihat melenggang dengan begitu ceria di satu sisi danau bagian selatan.
Keisha tersenyum lebar, tidak salah lagi. Dengan penglihatannya yang kini jauh membaik, ia bisa memastikan sosok itu adalah Delima sendiri.
Tidak menunggu lama, Keisha segera bangkit. Setengah berlari ia menuju sisi selatan danau.
"Hei…" sapa Keisha begitu berada di dekat Delima dengan napas sedikit terengah-engah.
Delima tersenyum lebar melihat pemuda itu dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Apa sekarang kamu mengubah kebiasaanmu?"
Keisha mengangkat satu tangan, ia masih terbungkuk-bungkuk sebab dada yang masih terasa sesak. Sesak karena baru saja berlari, juga lantaran kegembiraan yang meluap begitu saja. Kegembiraan yang bersumber pada keajaiban yang telah terjadi kepada dirinya, juga akan kehadiran sosok jelita itu.
Bahkan Keisha langsung terpesona begitu ia bisa mengendalikan diri. Wajah gadis itu kini terlihat jauh lebih cantik dari apa pun yang pernah ia lihat. Begitu indah, dan sangat menenangkan untuk dipandang berlama-lama.
Dan pemuda itu yakin, pastilah ibu gadis itu juga sama cantiknya. Ya, terima kasih dengan telah kembalinya sesuatu yang hilang di bola matanya.
"Ap—apa maksudmu?" tanya Keisha.
"Ya, karena aku nggak melihat sesuatu yang selalu menemanimu."
"Aah… benar juga," Keisha terkekeh pelan.
Pemuda itu bahkan sampai melupakan sepeda gunung yang biasa ia bawa.
"Jadi, kamu sekarang lebih suka berlari?" Delima terkikik merdu. "Karena lebih sehat, ya?"
Keisha menggelengkan kepalanya. "Ada, kok. Tuh!" ia menunjuk ke arah bangku taman di sisi barat. "Aku parkir di tempat biasa."
"Kenapa nggak dibawa sekalian?"
Keisha mengendikkan bahu. "Aku sudah menunggumu sedari jam sembilan tadi. Jadi…"
Delima tersipu. Ia tahu itu. Alasan mengapa Keisha sampai meninggalkan sepedanya di dekat bangku taman itu.
Perkiraan terbaiknya, mungkin Keisha begitu merindukan kehadiran dirinya. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Delima kini.
"Kamu nggak takut?"
"Takut?" ulang Keisha.
Delima mengangguk. "Bagaimana kalau nanti sepedamu dicuri orang?"
Keisha tersenyum lebar, ia lebih suka memandang wajah jelita itu berlama-lama, bahkan tanpa sadar ia justru melupakan tujuan utamanya datang untuk kali ini.
"Seandainya sepeda itu hilang," ujar Keisha, "dicuri orang… aku mungkin masih bisa tersenyum."
"Begitu, ya?"
Delima menundukkan pandangan sebab tidak kuat berlama-lama menatap mata pemuda itu.
"Tapi tidak," kata Keisha lagi. Dan ia baru menyadari bahwa ternyata Delima memiliki bola mata yang begitu indah, sedikit kehijau-hijauan pada iris matanya. "Aku tidak akan bisa tersenyum seandainya kamu yang menghilang."
Delima ingin tertawa senang mendengar kata-kata rayuan itu. Hanya saja tidak sedikit suara pun yang keluar dari mulut yang setengah menganga itu selain pandangan mata yang berbinar-binar, lalu tertunduk. Menyembunyikan rona merah yang kentara di kedua pipi.
Memang benar. Sikap dan gaya bicara pemuda yang satu itu telah jauh berubah, pikir Delima. Tidak ada lagi sikap dingin seperti dulu-dulu. Tidak ada lagi-lagi kata-kata ketus seperti yang selama ini ia dengar. Seolah-olah, pemuda itu adalah orang berbeda kini.
"Aku yakin," ujar Delima, "apa yang baru saja kamu ucapkan itu, kalau orang-orang sekarang bilang… gombal."
Keisha nyaris tertawa lepas mendengar hal itu. Jika saja ia baru pertama kali bertemu gadis itu, dan mendengar ucapannya tersebut, tentu ia akan berpikir lagi bahwa semua itu terdengar aneh. Gadis itu sangat aneh, dan dia pasti bukan berasal dari abad sekarang.
Tapi, semua tidak lagi terdengar aneh. Tidak lagi terlihat ganjil dengan sikap dan gaya bicara gadis itu bagi Keisha. Ia malah sudah menjadi terbiasa, bahkan selalu merindukannya.
"Tapi itu sungguh-sungguh, Delima."
"Benarkah?"
Keisha mengangguk, lalu menempatkan tangannya di bahu sang gadis. Ia berusaha memaksa gadis itu untuk saling pandang dengannya.
"Itu semua dari hatiku."
Delima tertunduk lagi.
"Kam—kamu menggodaku?"
"Apa aku terlihat seperti laki-laki yang suka menggoda wanita?"
Delima menggeleng kecil dalam senyuman yang kian lebar di wajahnya.
"Astaga…!" Keisha menepuk keningnya sendiri.
"Kenapa?" tanya Delima sedikit bingung.
TO BE CONTINUED ...