Dua Puluh Tahun Kemudian...
Tidak ada yang spesial dari bangku yang satu itu. Hanya sebuah bangku yang bisa diduduki oleh dua orang sekaligus, itu pun warna putih pada setiap bagiannya sudah terlihat kusam, seolah-olah dibuat hanya untuk menjadi pajangan saja, dan terlupakan. Di beberapa sisi bangku dari susunan kayu besi itu ada yang terkelupas, dan beberapa paku yang menjadi penguat setiap sendi pada bangku itu sendiri pun sudah kecoklatan dimakan karat.
Bangku itu berada di tengah-tengah, diapit dua taman yang ditanami rumpun-rumpun bunga. Andai saja tangan-tangan yang bertanggung jawab pada bunga-bunga tersebut mengerjakan tugasnya dengan lebih baik, tentulah keberadaan dua taman bunga itu akan menjadi lebih indah.
Tapi tidak.
Rumpun mawar merah dan putih yang ada di sisi kanan bangku itu terbiar menjadi liar. Satu-dua batang mawar lainnya menghadirkan warna berbeda. Merah muda. Mungkin karena mereka jemu, sehingga karena kebaikan hati dari para pengisap madu yang tidak sengaja mencampur adukkan antara putik bunga milik sang pejantan dengan benang sari milik yang betina terhadap warna yang satu ke warna yang lainnya, maka lahirlah si mawar merah muda itu. Seharusnya para pengisap madu itulah yang diberikan gaji besar oleh siapa pun pemilik tanah di tepian telaga ini.
Yaa, para kupu-kupu, lebah, dan serangga pengisap madu lainnya itulah yang telah bekerja keras memberikan warna lain pada taman-taman yang kehilangan sentuhan dari tangan manusia itu.
Begitu juga taman yang di sisi kanan. Tidak ada mawar merah di sana, tidak pula si putih, atau anak keturunan mereka si merah muda itu. Sama sekali tidak.
Di bagian yang satu ini, hanya ada rumpun melati yang bercampur baur dengan kemuning. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang yang menanam kedua jenis bunga tersebut berdekatan dalam satu taman kecil seperti itu? Tidakkah mereka pikir melati dan kemuning akan saling bertengkar jadinya?
Siapa yang paling wangi di antara kami berdua?
Tidak ada! Sebab kedua aroma khas yang dikeluarkan kedua jenis bunga tersebut saling bercampur baur dan menghadirkan aroma berbeda dengan sensasi yang juga berbeda.
Semak belukar dan tanaman liar lainnya juga menghiasi kawasan sekitar dengan bunga-bunganya yang beraneka ragam dan warna. Beberapa jenis bakung juga ada di sana, cukup elok dipandang mata sebenarnya. Bahkan rumpun ilalang pun ikut menyemarakkan kondisi taman itu dengan bunganya yang halus seperti kapas berwarna putih kusam, sesekali serbuk-serbuk putih itu berterbangan disapa tiupan angin.
Sepuluh tahun sudah bangku itu ada di sana, si pemilik lahan sengaja meletakkan bangku tersebut dengan tujuan memberikan tempat beristirahat bagi siapa saja yang mengunjungi taman tersebut. Posisi bangku itu sendiri sebenarnya cukup mendukung—kau tahu, yaa, bagi mereka yang sedang memadu kasih, misalnya.
Bangku itu menghadap ke arah danau kecil yang lebih layak disebut telaga.
Bukan.
Telaga itu bukan telaga buatan, tapi memang memang terbentuk secara alami. Hanya berjarak tiga meter saja dari bangku itu, kau sudah bisa bermain air telaga yang jernih dan cukup bersih.
Danau kecil itu memang cukup unik, sekitar dua ratus meter di arah tenggara dari danau tersebut, kau akan menemukan indahnya pesisir laut paling bawah dari pulau Sumatra, lengkap dengan pasirnya yang putih berkilauan bak permata ditimpa cahaya sang mentari jika di siang hari. Bahkan kilauan pasir-pasir itu masih akan kau temui di malam hari sekalipun, andai rembulan menunjukkan cahaya lembutnya yang sempurna.
Yaah, danau kecil itu memiliki pesonanya sendiri, sehingga sering dijadikan destinasi wisata baik penduduk lokal maupun yang bukan. Hanya saja, sangat disayangkan keinginan si pemilik lahan di mana beradanya bangku putih kusam itu tidak terwujud sama sekali.
Dua taman bunga yang mengapit bangku itu kalah pesona oleh arena bermain dan hiburan yang lebih menantang di sisi lain danau kecil tersebut.
Suara-suara ceria dari canda tawa para pengunjung di sudut lain danau seakan mampu membuat bangku itu menjadi cemburu, taman-taman itu menjadi iri. Lambat laun, keberadaan mereka pun dilupakan oleh sang pemilik lahan sendiri.
Setahun belakangan, taman yang terabaikan itu menjadi perhatian tersendiri bagi seorang gadis. Setiap jam tiga sore ia sudah berada di sekitaran taman, dan bangku putih kusam itu akan selalu menjadi pusat perhatiannya.
Bukan pada bangku itu sebenarnya yang menarik hati sang gadis, akan tetapi seseorang yang belakangan sering menjadikan bangku itu tempat merenung. Hanya saja, sampai sejauh itu, sang gadis tidak pernah berani untuk menghampiri atau sekadar bertegur sapa. Ia lebih suka mengawasi seseorang tersebut dari jauh, dari balik rimbunnya dedaunan, sesekali tersirat rasa ingin mengenal lebih dekat lewat sorot matanya yang bening.
Hari ini cuaca di sekitar danau itu sedikit cerah, dan lebih sejuk. Gadis yang sama sudah berada di posisi yang menjadi favoritnya setahun belakangan—di balik sebuah pohon besar di sisi kanan dari keberadaan taman bunga mawar.
Sudah hampir satu jam, gumam sang gadis tak bersuara, namun sosok yang dinanti-nanti tak kunjung terlihat.
Apakah dikarenakan hari ini adalah hari Minggu, yang berarti pula akan lebih banyak pengunjung yang berada di sekitar danau? Sehingga, hal ini jadi membuat seseorang tersebut menjadi tidak suka karena pasti akan menjadi terganggu lamunannya?
Gadis itu melayangkan pandangannya ke sekitar.
Benar.
Di beberapa titik di tepian danau itu terlihat keceriaan sejumlah pengunjung: Selfie di titik-titik terindah, canda tawa di atas tikar pandan dikelilingi pepohonan rindang, atau para orang tua yang mengajari anak mereka berenang di tepian danau.
Tidak ada aktifitas sejenis banana-boat di danau itu. Aktifitas semacam itu terlarang, sebab mungkin saja akan mempengaruhi kejernihan air danau itu sendiri nantinya.
Tapi tidak dengan bangku di tengah-tengah dua taman bunga itu, selalu saja luput dari perhatian orang-orang. Mungkin karena dua taman itu sudah tidak lagi terawat, atau warna putih kusam pada bangku itu sendiri yang sebagian besar catnya sudah mengelupas. Atau yang lebih utama, adalah akses ke area bangku itu sendiri yang telah menjadi sedikit sulit untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Semak belukar seakan menyarukan keberadaan taman dan bangku tersebut.
Sang gadis menghela napas dalam-dalam, ia masih setia menunggu di balik pohon itu. Bibir yang tipis dan merah tanpa pewarna itu selalu dihiasi senyum manis saat sepasang matanya tertuju pada bangku yang kesepian itu.
Semoga saja keramaian di sisi lain itu tidak menjadikan seseorang tersebut membatalkan kebiasaannya di atas bangku putih itu, bisik hati kecil gadis tersebut.
TO BE CONTINUED ...
PS: Bantu author dengan memberikan kritik, saran, dan review agar cerita bisa lebih menarik lagi untuk dibaca dan dinikmati.
Peace be upon all of you ^^