[Cerita sebelumnya...]
"Tidak tahu," ujar si pemuda, pandangannya kembali kepada para nelayan di ujung sana. "Mungkin kau tinggal di dekat sini. Jadi, yaa… tidak ada yang aneh bagiku."
"Bagaimana kalau aku ternyata roh penasaran, atau makhluk halus lainnya?"
Pemuda itu memutar pandangan, tertumpu pada wajah nan indah serta bentuk tubuh nan elok itu, lebih-lebih bukit kembar yang membusung dengan gaya duduknya yang seperti itu. Embusan angin menyibak rambut panjangnya. Si pemuda tersenyum lagi, kembali menjauhkan pandangan.
[Sekarang...]
"Mungkin," ujar si pemuda dengan disertai helaan napas yang dalam. "Tapi, aku rasa itu juga berlebihan."
"Kalau ternyata aku benar-benar gentayangan mengincarmu?" kata gadis itu lagi. Bola matanya sedikit berkilat, lalu satu senyuman yang teramat manis terukir di sudut bibir. "Kau masih tidak takut?"
"Untuk apa?"
"Yaa, sejatinya manusia akan ketakutan, kan?"
"Kurasa tidak semuanya begitu," jawab si pemuda. "Lagipula, kurasa penunggu kawasan ini—kalaupun ada, mereka mungkin tidak akan menyakitiku."
Gadis itu tertawa halus mendengar kata-kata si pemuda. "Kenapa kau begitu yakin?"
Gantian sekarang pemuda itulah yang justru tertawa pelan sembari menggelengkan kepalanya.
"Mereka pasti tahu," kata si pemuda, "aku tidak melakukan sebarang kesalahan, tidak melakukan sebarang pantangan di sini. Mereka pasti tahu itu. Cukup sering aku memancing di batu ini, andai mereka tersinggung oleh satu-dua kelakuanku, pasti sudah semenjak lama mereka menegurku."
"Masuk akal juga ucapanmu," sahut si gadis. "Terus, kalau ternyata benar? Bukankah takdir makhluk tiada yang tahu kecuali Sang Maha Berkehendak sendiri?"
Pemuda itu tertawa pelan lagi, lalu menatap langit tinggi yang malam itu taburan bintang gemintangnya tidak banyak. Hanya setumpuk dua saja di beberapa sudut langit.
Sang gadis ikut tertawa halus, ia lebih suka memandangi wajah laki-laki tersebut. Ketenangan, dan sikapnya yang tidak jelalatan meski ada seorang gadis asing dengan tubuh menggiurkan menemaninya malam itu, di lokasi yang justru sangat-sangat sepi.
"Kalau sudah begitu," ujar si pemuda, lalu pandangannya kembali pada makhluk sempurna di samping kiri. "Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain menerima semuanya dengan lapang dada."
Si gadis tersenyum lebar. "Kau benar-benar tidak takut sama sekali. Atau mungkin kau berpikir ini hanyalah sebuah gurauan?"
"Kurasa tidak," jawab si pemuda. "Takut pastilah ada. Aku tidak mengenalmu sama sekali, tapi sepertinya justru kau seolah tahu siapa diriku. Lalu apa? Bukankah kau sendiri yang mengatakan tadi, hanya Tuhan yang tahu takdir seperti apa yang Dia berikan kepada makhluk-Nya?"
"Kau benar-benar membuatku tak habis pikir," ujar si gadis lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Terima kasih," ujar si pemuda dengan senyuman lebar menanggapi arti kedipan mata si gadis. "Kuanggap itu sebagai pujian."
"Boleh," si gadis beringsut, lebih mendekat ke laki-laki tersebut. "Aku tahu namamu?"
Kembali si pemuda melirik gadis di sampingnya, lalu menjulurkan tangan kanan sebagai salam perkenalan.
"Seta."
Si gadis tersenyum, lalu menyambut uluran tangan si pemuda. "Delisa."
"Nama yang unik," ujar Seta pula.
"Terima kasih," sahut Delisa. "Kamu juga. Orang tuamu pasti menyukai aksara sanskerta."
Kepala Seta kembali seperti diputar cepat, lalu terhenti menatap lama wajah indah di sampingnya.
"Kenapa?"
"Wow…" kagum Seta pada sang gadis. "Usiamu mungkin masih sangat muda. Tapi, kau bisa tahu jika namaku berasal dari kata sanskerta. Luar biasa."
"Boleh aku meminta sesuatu padamu?"
Seta semakin memandang lama wajah itu, lalu pada dua bola mata yang bening mengilap itu sebelum akhirnya mengangguk meski sedikit ragu.
Delisa lantas semakin mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya, dan membisikkan sesuatu ke telinga Seta.
Sepasang bola mata laki-laki itu membelalak lebar demi mendengar apa yang dibisikkan gadis tersebut kepada dirinya. Terperangah setengah tidak percaya.
"Ke—kenapa?"
Gadis itu maklum, meski seorang pecinta wanita sekalipun, pasti akan sulit untuk mencerna apa yang ia pinta lewat bisikannya tadi itu. Atau, setidaknya mereka akan berpikir: Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Kau keberatan?" ujar Delisa balik bertanya.
"Bu—bukan seperti itu," Seta menelan ludah. Ia memandangi Delisa dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. "Aku hanya kaget, tidak menyangka. Ga-gadis cantik sepertimu, ternyata—"
"Hei, jangan salah mengira tentang diriku," Delisa tertawa halus sembari menggelengkan kepala.
"Lalu, untuk apa?"
"Kurasa kau pasti akan bisa menerima semua ini," ujar Delisa pula, "jika kuberitahu padamu siapa aku sebenarnya."
Seta yang masih saja terpana sebab terkejut dengan permintaan Delisa sebelumnya, hanya bisa berdiam mematung ketika gadis itu kembali membisikkan sesuatu ke telinganya.
Keterkejutan Seta semakin terlihat menjadi-jadi. Kelopak mata terbuka lebih lebar lagi dengan mulut setengah menganga. Sungguh, jika ada satu hal yang aneh sekaligus sangat indah yang terjadi dalam hidupnya, mungkin malam hari inilah jawabannya.
"Ja—jadi," Seta menelan ludah berkali-kali, "le—legenda itu benar adanya?"
Delisa tersenyum manis, lalu mengangguk sembari menjulurkan satu tangan membelai pipi laki-laki tersebut.
"Untuk takaran orang sepertimu," ujar Delisa, "kau semakin membuatku kagum dengan keterkejutanmu itu, Seta."
"Ta—tapi," sahut Seta pula. Ia seolah lupa dengan joran pancing di tangannya yang terabaikan meski ada sentakan-sentakan kecil di ujung jorannya itu sendiri. "Apakah ini bukan berarti se—sebuah kesalahan?"
"Dosa?"
Seta mengangguk pasti dengan ucapan Delisa yang langsung saja pada inti ketakutannya itu sendiri.
"Takdir Tuhan tidak ada yang tahu seperti apa, kan?"
"Bu—bukan begitu maksudku…"
"Tapi itu benar," sahut Delisa dengan senyuman di wajahnya. "Beginilah takdir bagiku. Apakah aku harus melawan takdir ini?"
Ragu-ragu, Seta menggelengkan kepala. Bagaimanapun, ia tentu meyakini tidak akan ada satu makhluk pun yang mampu melawan takdir yang sudah disuratkan atas dirinya.
Tapi, benarkah?
"Kau ingin bukti?"
Kembali Seta memandangi gadis tersebut. Lalu, ia melihat sesuatu yang aneh sekaligus mengagumkan yang terjadi pada ujung kaki Delisa. Bahkan keanehan itu terus bergerak hingga ke batas pinggangnya. Dan bersamaan dengan itu, Seta menyadari jika baju kebaya tipis di tubuh Delisa perlahan-lahan sirna, menyisakan tubuh elok dengan dua bukit kembarnya yang menggiurkan dalam keadaan telanjang tanpa satu penutup apa pun.
"Tuhan…" Seta menelan ludah berkali-kali.
"Kau bersedia?" tanya Delisa lagi dengan senyuman yang sangat memabukkan terukir di bibirnya.
Angin laut kembali berembus, menyibak helaian demi helaian rambut Delisa yang panjang.
"Ji—jika ini memang satu dosa," ujar Seta, lalu joran pancing di tangan dilepas begitu saja. "Bi—biarlah kutanggung hingga akhir masa kelak di badan ini."
Di bawah cahaya bulan sabit hari kesebelas setelah purnama, dipayungi kegelapan malam, Delisa menjulurkan kedua tangan. Seta menyambut itu menjadi satu pelukan erat yang lama. Angin laut kembali berembus sepoi-sepoi basa, seolah menemani kedua insan tersebut di atas batu besar dengan permukaannya yang pipih.
***