Chereads / Elegi Duka / Chapter 16 - Mahar Untuk Mentari

Chapter 16 - Mahar Untuk Mentari

"Mentari dulu deh, dia kan pasti yang lebih siap. Kamu mau mahar apa, Nak?" Kali ini pertanyaan tersebut yang terlontar dari mulut Aisyah. 

GLEK~~~

Mentari tampak kesusahan untuk mengutarakan keinginannya tentang mahar yang akan dia minta. 

"Bilang saja!" ucap Surya yang ingin meniru tutur bicara Gerhana tapi apalah daya Surya adalah Surya dan Gerhana adalah Gerhana. Gerhana tidak bisa menjadi Surya begitupun sebaliknya. 

Mendengar nada bicara sang kekasih yang tampak aneh membuat Mentari semakin kesulitan untuk mengutarakan keinginannya. 

"Bilang saja, Sayang!" Buru-buru Surya segera mengubah nada bicaranya dengan sangat halusnya itu bukan karena delikan mata dari Dimitri, tapi semata-mata untuk meyakinkan Rangga kalau dia akan mencoba untuk mencintai Mentari meski itu adalah hal yang paling mustahil terjadi karena saat ini masih Yanalah yang bertakhta di hatinya.

"Aku mau kamu memberikanku mahar Surah Yusuf, Mas!" Karena permintaan Mentari semua orang tampak terdiam, sebenarnya ini bukan perkara sulit untuk Surya mengingat dia dulunya adalah lulusan salah satu pondok pesantren. 

Beda halnya dengan almarhum Gerhana yang menentang keras keinginan sang papa untuk menyekolahkannya di pesantren. Iya berkat perlawanan yang sangat kuat waktu itu jadi Gerhana hanya bersekolah di SMP dan juga SMA pada umumnya. 

"Surah Yusuf atau Ar-Rahman sih, Kak?" Gita mencoba mengoreksi permintaan sang kakak barusan, karena yang selama ini lazim di telinga sebagian orang adalah surah Ar-Rahman yang dijadikan sebagai mahar, bukannya surah Yusuf. 

"Surah Yusuf, Gita!" jawab Mentari tanpa sedikit pun keraguan dalam dirinya kini. 

"Kenapa, Kak?" Meski Badai juga Gita adalah dua orang yang sebaya, tetap saja Mentari adalah calon kakak iparnya dan seperti inilah cara Badai menunjukkan rasa respectnya pada Mentari Chamissya Damayanti. 

"Karena aku ingin suamiku kelak memiliki keteguhan iman layaknya Nabi Yusuf." Semua orang memandang Mentari dengan tatapan penuh tuntutan khususnya Surya selaku calon mempelai pria. 

"Lelaki bisa lolos dari ujian harta juga takhta dengan mudah, tapi tidak dengan ujian wanita. Hanya sedikit yang bisa. Dan aku mau, kelak suamiku akan menjadi bagian dari yang sedikit itu."

PROK ... PROK ... PROK ...

Standing applause sampai diberikan oleh Dimitri untuk gadis yang akan menantunya itu. "Pilihan, Papa memang nggak salah, Ger?" Semua orang yang mengetahui tentang kematian Gerhana sungguh dibuat takjub oleh akting Papa Dimitri yang tanpa sedikit pun lidahnya keseleo kala menganggap Surya adalah Gerhana. 

Respon yang berbanding terbalik diperlihatkan Mentari juga Surya. Mentari tersipu malu karena pujian yang Dimitri layangkan untuknya, sedangkan Surya dia hanya bisa tersenyum masam, dia mencoba untuk membuka pintu hatinya pada Mentari tapi sulit sekali untuk dia lakukan. 

"Kak gimana?" tanya Dimitri dengan senyum yang sangat hangat pada sang putra sulung.

"Aku siap, Pa." Mentari menggeleng samar menanggapi apa yang terlontar dari mulut sang calon suami. 

Mentari tahu bagaimana Surya selama 2 tahun mereka memadu kasih. Awalnya Gerhana adalah pria yang sangat akrab dengan dunia gelap dan tidak percaya sedikit pun dengan yang namanya Allah. 

Mentari saja butuh perjuangan untuk membujuk Gerhana agar mau percaya dengan adanya Allah. Perlahan, tapi pasti Gerhana mulai berbenah menjadi pria yang mau mempercayai dan juga mengenal Allah. 

Yang Mentari tahu Gerhana baru menghafal surah pendek saja, lalu kenapa saat ini dia begitu mantap untuk mengiyakan apa yang menjadi keinginan Mentari? Bahkan saat Mentari menilik ke dalam dua manik mata sang calon suami tak ada sedikit pun keraguan yang terpancar di sana meski hanya secuil. 

"Kamu—"

Mentari terlalu terkejut atas semua yang terjadi malam ini. "Kamu mau tes aku sekarang?" Lidah Mentari semakin keluh saat mendengar respon yang diberikan Surya. 

"Audzubillahiminasyaitonirojim ...."

"Bismillahirohmanirohim ...."

"Alif lām rā, tilka āyātul-kitābil mubīn ...."

"Innā anzalnāhu qur`ānan 'arabiyyal la'allakum ta'qilụn ...."

"Nahnu naquṣṣu 'alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur`āna wa ing kunta ming qablihī laminal-gāfilīn ...."

Mentari tidak ingin mempercayai apa yang baru saja dia lihat, tapi kedua mata juga telinganya masihlah berfungsi dengan sangat baik, apa yang terjadi barusan bukanlah halusinasi. Ini nyata. 

"Mas Ger—ha—na?" 

Surya berjalan mendekati Mentari menggenggam tangan Mentari yang saat ini terlihat sangat gugup, Surya sedikit tertawa saat memegang tangan Mentari yang tampak dingin juga berkeringat. 

"Beberapa waktu telah kita lewati. Banyak yang sudah dilalui bersama. Tidak mudah memang. Namun, aku selalu heran. Segala kesulitan bagiku seperti tak apa asal itu tentang kamu. Boleh saja, bila mendapatkan kesulitan yang besar jika itu bersamamu. Tapi, bukankah segala hal di dunia ini selalu diterima dengan konsekuensi? Tidak ada kesulitan yang berdiri sendiri. Kesulitan selalu seiring dengan kebahagiaan. Menikahlah denganku!" 

Lagi dan lagi seorang Adi Surya Dimitri memainkan perannya sebagai pengganti almarhum Adi Gerhana dengan sangat sempurna. Semua orang memandang Surya yang kini sedang berjongkok di depan Mentari dengan penuh haru. Mentari tanpa pikir panjang langsung berhambur masuk ke dalam dekapan sang calon suami. 

Surya tak bisa berkata, untuk membalas pelukan Mentari pun dia butuh waktu sepersekian detik. Tentu saja dalam hal ini yang paling bahagia adalah Dimitri, akankah kalau tabir masa lalu Mentari terkuak masih ada bahagia seperti ini yang bisa mereka semua rasakan. 

Setelah momen haru yang menguras air mata antara Surya juga Mentari selesai kini atensi Dimitri beralih untuk ke Gita. 

"Gita ... kamu mau mahar apa, Nak?" tanya Dimitri dengan pandangan yang sangat meneduhkan hati. 

Gita diam membisu tak tahu harus menjawab apa pertanyaan dari ayah sang kekasih. Ini sungguh mendadak, dia tak bisa menjawab dengan baik apa yang ditanyakan oleh Dimitri.

Bersambung ….