Chereads / My Ètoile : Secret Love / Chapter 11 - Lubang Yang Perlu Diisi

Chapter 11 - Lubang Yang Perlu Diisi

Bertengkar dengan orangtua yang telah menempuh perjalanan panjang merupakan tindakan paling kekanakan. Aku tahu ini adalah kesalahan, tetapi sejujurnya aku tak akan bersikap demikian jika tak ada alasan lain sebagai pancingan. Rasanya emosiku bisa saja meledak ketika hal-hal buruk terkuak kembali, dan aku berada dalam situasi yang tidak bisa melakukan apa-apa. Aku menyayangi mereka, sungguh. Baik Dad, maupun Mom, tetapi secara terpisah.

Ada berbagai hal yang sulit untuk dijelaskan. Pemikiran orang dewasa terlalu sulit untuk dicerna, dan aku masih berada diambang antara anak kecil dan remaja —bahkan belum sampai ke tahap dewasa.

Terkadang ingatan buruk selalu saja berkelibatan secara tiba-tiba, tidak menentu. Seperti kilat dan guntur, angin dan hujan, kedatangannya terkesan mendadak. Membuatmu tidak akan pernah siap, sama sekali. Aku pikir, seiring berlalunya waktu aku akan terbiasa. Tetapi perkiraanku salah besar. Selama apapun waktu telah terlewati, sebanyak apapun kenangan itu teringat kembali, semuanya tetap pada tempat semula. Seperti baru saja terlihat di depan mata. Dan perasaan tidak enak masih mengganjal di ulu hati.

Dampak dari ingatan buruk mungkin hanya sebatas perasaan malu, atau gatal yang mengusik di belakang kepala, sesuatu yang dapat membuat orang bergidik sendiri dan menggelengkan kepala tiba-tiba untuk mengusir ingatan tersebut. Namun, hal lebih parah terjadi padaku. Setiap kali Mom pulang, saat aku melihat wajahnya, rasa mual seketika muncul. Membuyarkan pikiran, mengocok isi perut, lalu membuat seisi mulut menjadi pahit. Ini cukup mengganggu tentu saja.

'Hanya masuk angin', 'Aku salah makan'.

Dan aku sama sekali tak bisa mengatakan secara terang-terangan. Kebohongan paling baik adalah dengan mengatakan kebenaran.

Seseorang pasti akan berpikir aku anak yang jahat karena justru bersyukur dengan ketiadaan seorang ibu di dalam rumah. Aku benar-benar menyayangi Mom, serius. Tetapi aku tak bisa menahan diri untuk tidak muntah ketika bertatapan langsung dengan wajahnya. Sepertinya Mom juga merasakan ada yang tidak beres, meskipun tak mendesakku untuk menjawab.

Apakah saat itu secara tak langsung mata kami bertemu? Atau dia bisa melihat bayanganku melesat dari celah pintu kecil yang terbuka?

Dia pasti sadar satu hal. Salah memperhitungkan waktu kepulanganku hari itu.

Guru-guru sedang rapat, seluruh kelas dibubarkan. Dan untuk pertama kalinya aku menyesal karena menolak ajakan Lucas untuk memancing ikan di sungai dekat rumahnya.

"Butuh tumpangan, Girl?"

Suara bass-bariton menyapa, atau bisa dibilang mengejek. Aku tak perlu melepaskan pandangan dari layar ponsel —sekedar menggulir ke atas dan bawah tanpa tujuan penting— hanya untuk mengecek siapa yang berada di depanku.

"Pergilah."

Lalu terdengar suara pintu mobil terbuka, langkah kaki secara konstan mendekat. "Kau sedang berjemur huh?" Kalimat sarkas selalu dilayangkan, dalam konteks apapun. Marah, kesal, kecewa, menyindir, atau bercanda. Lucas punya segudang kalimat rancu yang memiliki artian ganda.

"Kau bisa melihatnya sendiri."

"Berjemur harusnya di pantai, ada banyak angin yang akan membuatmu terbakar secara merata."

"Pfft, konyol."

Dan kalimat sarkasme miliknya selalu berhasil membuatku merasa lebih baik.

Lucas meletakan tangan besarnya di bahuku, merangkul lebih dekat. "Mau ku temani minum bir?"

"Jangan nekat, Kau menyetir."

Pria itu tertawa, tubuhnya ikut bergetar, gigi-gigi putih tampak menghiasi mulutnya. "Tentu saja Aku menyetir, tapi kau tidak."

Kemudian aku paham. "Untuk apa aku minum bir di terik yang panas ini?" Usia ku memang telah legal untuk minum alkohol, bahkan beberapa anak yang lebih muda sudah menenggaknya. Tetapi aku tidak akan mencobanya lagi, bukan karena tidak berani, atau terlalu kolot untuk menaati larangan bersifat moral. Hanya saja rasa pahit yang melekat di akhir tegukan sama sekali tak membuatku menikmati. Lebih baik aku menghabiskan se-truk Coca cola ketimbang satu kaleng bir.

"Oh ayolah~ Biar aku traktir."

Lucas menggoyang-goyangkan tubuhku, suaranya dibuat selugu mungkin, dia tengah berusaha merayu agar aku luluh dan menuruti ucapannya. Tetapi aku dan bir sungguh tak bisa cocok satu sama lain.

"Soda saja."

"Baiklah.. baiklah.." Lucas melepaskan rangkulannya dari bahuku, berjalan lebih dulu ke arah Honda Civic.

Aku tersenyum miring mengetahui bahwa dia menyerah dengan cepat. Dia tahu bahwa usahanya tak berhasil terhadapku. Lagipula dia memang tak jago memanipulasi orang. Meski banyak yang mengatakan, mata coklatnya mampu menghipnotis para gadis, tetapi itu tak berlaku padaku. Mungkin juga karena aku bukan gadis.

"Ayo masuk Tuan Putri~" ujarnya sembari membukakan pintu bagian samping, tepat di sebelah kemudi.

Aku sontak memelototinya. "Brengsek!"

Lalu dia tertawa nyaring. Semakin terdengar jelas karena jalanan memang sedang lengan. Ini telah berlangsung hampir satu jam semenjak aku mendudukan diri di halte, pemberhentian bus yang ku pikir akan datang. Dan benar, dia selalu benar. Aku pun juga tahu kalau daerah ini tak memiliki cukup banyak pengoperasian kendaraan umum. Hanya di jam-jam tertentu, hari-hari tertentu. Dan kalau kau tak mempunyai kendaraan pribadi —sepertiku— cara lain untuk berpergian adalah dengan menumpang pada kendaraan lain yang kebetulan sedang lewat.

Tawa renyah pemuda itu masih terdengar, ketika dia menutup pintu di sebelahku, ketika dia berjalan memutar untuk sampai di sisi lain mobil ini, dan berhenti setelah duduk di belakang kemudi. Tetapi dia masih tersenyum lebar, nafasnya terdengar tak beraturan. Jelas sekali kalau dia sebenarnya tengah menahan tawa.

"Hey berhenti!"

"Maaf, habisnya lucu~" Tak ada raut penyesalan di wajahnya, saat itu aku tahu bahwa Lucas hanya mencari titik tengah.

"Apanya yang lucu? Dasar aneh."

"Kau.." Dia sekilas menoleh padaku, sebelum menatap luruh ke arah jalanan di depannya.

"Kau pikir aku badut huh?"

"Well.. Sebenarnya iya." Aku menoleh dengan alis mengerut. Lucas masih fokus menyetir dan aku bisa dia menggigit bibir bawahnya, menahan tawa, lagi. "Apa kau tidak ingat saat pesta hallowen ketika kita masih SD? Kau datang mengenakan kostum badut, berusaha terlihat menyeramkan, tetapi malah terlihat konyol. Lalu kau menangis dan membuat riasan badutmu menjadi pudar oleh air mata. Hahahahaha..."

Tawa beratnya memenuhi ruangan mobil, membuatku jengah. Kilasan balik masa lalu itu berkelibatan seperti hantu-hantu, bayangan tak kasat mata yang seharusnya tenggelam seiring berjalannya waktu. Gara-gara si sialan ini, kenangan memalukan kembali muncul ke permukaan. "Hentikan bodoh." Aku melayangkan tinju pada lengan kanan, membuat tubuhnya limbung ke arah kiri. Tetapi berkat keahlian menyetir —yang selalu dia banggakan setiap saat— Honda Civic tetap melaju dengan begitu mulus.

"Bagaimana kau bisa melupakan itu?" Lucas menoleh sekilas ke arahku, senyuman lebar masih tercetak jelas di bibirnya. "Itu kenangan berharga, harusnya kau simpan sebaik-baiknya."

"Baik, turunkan aku di sini."

Tanganku melepas sabuk pengaman yang melewati dada lalu ke arah pinggung. Menekan punggungku lebih erat ke arah kursi. Tetapi hanya sampai membuka pengait yang terpasang di sebelah kiri kursi. Tepat setelah terdengar bunyi 'Klik' nyaring, lalu sebuah tangan besar menahannya.

Menahan tanganku yang hendak melepaskan sabuk pengaman, memberikan sedikit remasan pada pergelangan sebagai bentuk peringatan.

"Jangan di lepas.."