Sore itu, udara yang dingin sama sekali tak dirasakan Andi. Darahnya mengakir cepat dan jantungnya berdegup kencang ketika menunggu jawaban dari orang tua Fera. Ia seperti yakin, kalau masih ada secercah harapan untuk dirinya. Harapan apakah itu?
"Oh, soal itu. Iya benar, Ndi. Waktu Feli meninggal, di saat saat terakhirnya ia menitipkan Fera pada kami dan memberi pesan agar dijodohkan dengan Daffa."
"Tapi, apakah Daffa atau orang tuanya setuju?"
"Setuju sekali, karena memang pada awalnya, Bu Arni ibundanya Daffa pernah ada pembicaraan pada kami soal perjodohan ini."
"Kalau Bu Arni setuju dengan Feli, lalu bagaimana dengan Fera? Apa dia sudah mengenal Fera lebih dalam, om?"
"Memang, beliau tidak terlalu dekat dengan Fera. Namun, ia pun sedikitnya tertarik dengan kepribadian Fera. Jadi beliau sempat meminta untuk memberi kesempatan Daffa dan Fera agar berhubungan dan lebih mengenal satu sama lain."
Deg..
Andi diam terpaku sambil mengeratkan genggaman kedua tangannya. Rasanya seperti kepulanganya ke Indonesia adalah sia sia.
"Eh kamu gimana, sudah dapat calon belum?" tanya Papa.
"Belum, Om. Tadinya Andi mau…. "
"Hai, lagi ngobrolin apa sih kalian berdua? Serius amat." seru Fera memotong pembicaraan Andi.
Merekapun bertiga akhirnya berincang bersama, terlihat raut wajah Andi yang kini berubah tak seceria saat pertama kali datang menjemput Fera.
"Apakah Andi menyimpan perasaan pada Fera? Mengapa sekarang ia terlihat murung, ya?" ucap Papa bermonolog dalam hati.
Papa izin meninggalkane Fera dan Andi di ruang tamu karena tidak mau mengganggu keduanya.
"Jadi bener, kamu mau dijodohin?"tanya Andi.
"Papa udah cerita semua? Iya gitu deh.."
"Kamu sendiri ada rasa gak sama Daffa?"
"Nggak lah."
Fera sebenarnya bingung, ia sendiri tak tahu apa yang dirasakannya pada Daffa selama ini. Namun, beberapa hari terakhir ia memang sering komunikasi dengan Daffa hanya sekedar untuk menanyakan kabar.
"Kenapa, Ndi?" tanya Fera kebingungan karena Andi tak berkomentar saat ia menjawab pertanyaan sahabatnya itu.
"Gak apa apa. Aku pulang dulu ya."
Akhirnya, Andi meninggalkan rumah Fera dengan rasa kecewa dan sakit hati yang mendalam. Bagaimana tidak, selama ini ternyata ia menyimpan hati pada sahabat yang ia kenal dari kecil itu. Namun, ia pun tak bisa menyalahkan keadaan ataupun Fera. Karena Andi sendiri belum pernah mengungkapkan perasaanya hingga kini.
Di perjalanan, Andi sangat tidak fokus menyetir kendaraan pribadinya itu. Ia kadang melamun, kadang juga sadar, tapi ia selalu ingat perjodohan Fera.
"Fokus Andi, Fokusss!!" pungkasnya sambil menahan emosi didalam mobil.
Teelihat dari kejauhan ada sebuah mobil minibus yang menyalip dari arah kanan tepat berhadapan dengan mobil Andi dengan kecepatan yang tinggi.
"Eh.. Eh.. Apaan nih, minggir woy!" teriak Andi sambil membelokkan setirnya dengan tergesa gesa.
Andi mencoba banting setir ke arah kiri guna menghindari tabrakan. Namun naas, ia baru sadar beberapa detik kalau ada pohon besar yang ada tepat di sebelah kiri jalan.
BRAAKK
Kepulan asap keluar dari mobilnya, para warga pemukiman yang tinggal di area jalan tersebut berhamburan keluar dan melihat kecelakaan tersebut.
"Lihat korbannya masih selamat apa tidak!"
"Ini masih bernafas, ayo angkat dan bawa ke rumah sakit!"
Pelipis Andi terlihat mengeluarkan darah, ia tak sadarkan diri namun dadanya masih bergerak memberi tanda kalau lelaki muda berparas tampan itu masih hidup.
Beruntungnya, saat perjalanan menuju rumah sakit, Andi tersadar dan langsung mengerang kesakitan sambil memegang kepalanya.
"Tenang, tenang, dek. Kita dijalan mau ke rumah sakit. Kamu tadi kecelakaan mobil." ucap salah seorang bapak-bapak yang menolong Andi.
"Kecelakaan?!" pungkas Andi kaget.
"Iya, dek. Ada keluarga yang bisa dihubungi tidak?"
"Keluargaku tinggal di luar negri, pak. Yang ada hanya keluarga dari tmena dekatku saja. Loh, h-hp saya mana?!"
"Ada, ini saya amankan beserta dompet yang tadi tergeletak dikolong mobil."
Tak pernah terbayangkan kejadian buruk seperti ini di benak Andi. Pertama kalinya ia pulang ke Indonesia, alih alih mendapatkan cinta Fera, malah menghadapi kemalangan. Tapi lelaki keras kepala ini tak juga menyerah. Sesampainya ia di rumah sakit dan mendapatkan pengobatan, ia langsung menghubungi sahabatnya itu. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu keluarganya karena takut mereka khawatir. Lagipula, hanya mobil yang kerusakannua cukup parah. Kalau Andi sendiri hanya luka luka ringan namun masih tetap memerlukan bed rest.
Tring..
Bunyi pesan masuk di hp Fera, ia melihat dari notifikasi hp nya kalau Andi mengirimkan sebuah foto. Ia langsung membuka pesan tersebut dan betapa terkejutnya ia, Andi mengirimkan foto selfie-nya dengan kepala yang diperban lalu tangan diinfus.
"Loh.. loh.. Kamu kenapa?!" balas Fera.
"Aku kecelakaam tepat sepulang dari rumah kamu."
"Hah? Dimana? Ini udah 2 hari semenjak kita bertemu dan kamu baru bilang sekarang? Rumah sakit mana?! Aku kesana sekarang!"
Saat Fera hendak pergi menjenguk Andi, tiba tiba didepan rumahnya sudah ada Daffa menanti.
"Lah, Daffa? Ngapain disini? Aku mau pergi."
"Aku disuruh mama mengantarkan bingkisan untuk Om dan Tante Gunawan. Kamu mau pergi kemana?" tanya Daffa.
"Aku buru buru, harus ke rumah sakit jenguk temanku!" Fera berjalan cepat melewati Daffa. Namun, tertahan karena Daffa menarik tangannya.
"Aku yang antar."
"Ta-tapi?? Bingkisan itu?"
"Nanti saja kalau kau sudah pulang, ayo cepat masuk kedalam mobil, kamu buru buru kan?!"
Mereka pun akhirnya pergi bersama menuju rumah sakit Husada tempat dimana Andi dirawat. Fera sangat khawatir sampai sampai ia bulak balik mengecek hp nya dan terlihat gelisah.
Sesampainya di tujuan, Fera melihat Andi sedang bermain gadget di samping jendela kamarnya dengan luka perban yang masih menempel dikepalanya.
"Kamu tuh! Aneh aneh aja, kok bisa kaya gini sih?" depak Fer ke bahu Andi.
"Ehh, pelan pelan dong. Kamu khawatir yaa?" celetuk Andi tertawa geli.
"Yaiyalah, kamu disini kan gaada siapa siapa. Keluargamu jauh semua. Jadi gimana kejadiannya?!"
Andi menceritakan semuanya pada sahabat kesayangannya itu. Walaupun ia sudah membaik, namun dokter menyarankan agar Andi tetap dirawat, setidaknya sampai 2 hari lagi.
"Ko kamu bisa gak fokus gitu? Lagi nyetir tuh hati hati dong!"
"Iya, aku yang salah. Lagi mikirin sesuatu."
"Apaan sih? Kok nggak cerita kemarin?"
"Belum waktunya aku cerita padamu, nanti kalau udah keluar dari sini, pasti aku akan cerita."
Lelaki berumur 27 tahun itu sangat senang dengan kehadiran Fera. Ia disuapi olehnya, diperhatikan, bahkan mereka bercanda gurau seakan akan dunia milik berdua. Tapi ia lupa, kalau semua itu berdasarkan persahabatan.
Saat sedang asyik mengobrol, tiba tiba seseorang mengetuk pintu kamar rawat inap tersebut.
Tok.. Tok..
"Fer, udah selesai jenguknya?"