"Ambilkan Scalpel."
Sebuah benda yang awamnya disebut pisau bedah itu disodorkan oleh sang perawat dengan cekatan pada dokter di sampingnya.
Sang dokter mulai menyayat bagian kulit luar pasien untuk segera dilakukan operasi. Cairan merah kental pun keluar mengiringi sayatan tepat di perut pasien tersebut. Kini terlihatlah bagian dalam perut yang dipenuhi organ tubuh disertai balutan banyak darah.
"Surgical Scirssor."
Lagi. Si perawat memberikan alat yang diminta sang dokter.
"Arteri Clamp."
"Ini, Dok."
Seketika aksi sang dokter yang sibuk membedah itu terhenti.
"Apa ini?" tanyanya dengan tatapan nyalang pada perawat di sampingnya.
"Itu gunting bedah yang tadi Anda minta."
Dokter itu menggeleng jengkel. Embusan napas kasar terdengar mengiringinya. Dia kemudian memerintah perawat lain untuk mengambilkan gunting yang benar. "Arteri Clamp," titahnya lagi.
Dokter itu mengacungkan benda yang disebut Arteri Clamp tersebut tepat di depan wajah perawat tadi. "Ini Arteri Clamp," tegasnya, lalu kembali menunjukan gunting sebelumnya. "Sedangkan ini adalah Towel Clamp. Jika saja tadi saya tidak teliti, mungkin pendarahan pasien tidak bisa dihentikan."
Si perawat hanya mengangguk seraya menunduk malu. "Maaf, Dok. Lain kali saya akan lebih hati-hati."
Sudah beberapa kali, selalu saja ada kesalahan di setiap operasi yang ia ikuti. Padahal waktu magang yang dilaluinya sudah hampir satu bulan, tetapi tidak ada perubahan. Sepertinya cita-cita menjadi dokter tidak akan pernah bisa ia gapai, magang menjadi perawat saja wanita itu tidak becus.
***
Beberapa jam kemudian, lampu yang menyala tepat di atas pintu ruang operasi tiba-tiba mati. Pertanda operasi telah usai. Beberapa orang mulai keluar yang langsung disambut dengan berondongan pertanyaan dari keluarga pasien. Untung saja operasi berjalan lancar dan pasien tersebut terselamatkan. Baik dokter maupun keluarga pasien, mereka tampak senang.
Namun, berbeda dengan perawat yang merasa dirinya telah gagal. Ia malah terus berjalan gontai menuju rooftop rumah sakit tanpa mengganti pakaian operasinya terlebih dahulu.
Tak ada seberkas senyum yang keluar dari bibir wanita itu. Tatapannya begitu kosong menyelami kerlap-kerlip lampu kota di malam hari.
"Arghhh!"
Angin malam mulai menyapa, membenamkan teriakan wanita tadi dalam kegelapan. Tak sadar, setetes cairan luruh begitu saja. Wanita malang tersebut meremas pakaiannya kuat, matanya terpejam erat dengan napas memburu hebat. Pikiran negatif mulai menari-nari di benaknya.
"Kau belum pulang, Zoya?"
Suara bariton yang amat ia kenal membuat dirinya menoleh begitu saja. Sosok pria berkacamata yang menjabat sebagai dokter saraf itu mulai melangkah mendekati Zoya. "Kau menangis lagi? Di sini?"
Zoya repleks menghapus air mata, ia tidak boleh terlihat kacau untuk kesekian kali di depan pria itu. Ah, sial! Kenapa Harry selalu menangkap basah saat Zoya sedang kalut seperti sekarang?
"Siapa bilang? Aku ... aku tidak menangis," elak Zoya.
Harry terkekeh. "Aku tahu apa yang terjadi saat operasi tadi."
Zoya menelan saliva gugup, dirinya akan kembali merasa malu di depan seorang pria. Wanita itu berakhir mengembuskan napas pasrah dan tidak peduli. "Heuh ... aku gagal lagi."
"Tidak, Zoya. Kau belum memulai apa-apa, lantas bagaimana kau tahu bahwa kau sudah gagal?"
Wanita itu tertawa hambar. Ucapan Harry terdengar seperti lelucon baginya. "Aku lulusan fakultas kedokteran, Har. Aku belajar siang dan malam agar bisa menjadi dokter. Setelahnya aku terus melamar ke berbagai rumah sakit, tapi nyatanya sangat sulit. Dan sekarang, sekalinya aku diterima di sebuah rumah sakit, aku malah diberikan magang sebagai perawat. Apa menurutmu semua usahaku itu belum ada apa-apanya, hah?" sarkasnya yang tiba-tiba emosional.
Harry tampak tercengang dengan penuturan Zoya. "Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin bilang, bahwa perjalanan karirmu masih panjang, jadi kau tidak boleh menyerah sekarang."
Zoya kembali menunduk sembari meratapi dirinya yang buruk. "Terima kasih," ucapnya berusaha tenang. Ia sekilas melirik arloji di tangan kirinya, lalu tersenyum singkat pada Harry. "Sudah hampir jam sebelas malam, jadwal lemburku akan selesai. Aku harus pulang."
"Biar aku antar."
"Tidak perlu, aku tahu kau sibuk."
***
Di perjalanan pulang, Zoya masih bergulat dengan lamunan. Kejadian tadi dan perihal karirnya terus berputar di kepala bak permainan bianglala. Kakinya terus ia entakan keras pada trotoar jalan, bahkan ia sesekali menendang kerikil kecil demi melampiaskan kesedihan sekaligus kesal.
"Hm, andai ada seseorang yang bisa merubah nasibku," dalihnya seraya menghentikan langkah sejenak.
Seketika netranya mengerjap, ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Dirinya baru sadar kalau jalanan sudah sepi layaknya kuburan. Sekali lagi Zoya mengedarkan pandangan, memastikan apa dirinya benar-benar sendirian di tepi jalan selarut ini.
Embusan napas kasar lolos ke sekian kalinya dari hidung mancung itu. Ada sedikit penyesalan karena ia memilih pulang berjalan kaki. Memang sesekali wanita tersebut memilih mengayunkan kakinya saat mode hemat melanda, terus-menerus menaiki taksi tak menutup kemungkinan akan menghabiskan uang jajan. Karena faktanya letak apartemen Zoya tidak begitu jauh dari rumah sakit.
Sesaat setelah kaki mulus wanita dua puluh tiga tahun itu berbelok di tikungan jalan alternatif menuju area kompleks apartemennya, tiba-tiba suara lolongan binatang terdengar begitu kencang.
"Aish! Mengagetkan saja," kejutnya.
Netranya merotasi memerhatikan sekeliling. Sepi, sunyi. Hanya lampu meremang yang ia tangkap dari kedai di sisi kiri jalan, juga gerakan dedaunan dari beberapa pohon akibat terpaan angin malam.
Zoya spontan mengusap tengkuk yang memang bulu kuduknya sudah berdiri tegak di sana. Ia baru ingat, jalan alternatif paling cepat menuju apartemennya ini melewati taman dan hutan kecil di setiap sisi jalan. Walaupun tidak begitu luas, hutan itu dipenuhi pohon rimbun yang tampak mencekam bila malam.
Entahlah, tidak biasanya wanita itu penakut seperti sekarang. Toh terhitung sudah lima kali ia pulang malam melewati jalan tersebut. Akan tetapi, baru kali ini Zoya mendengar suara binatang sekeras itu.
"Ah, sudahlah. Mungkin hanya suara anjing yang sedang kelaparan karena tidak diberikan makan oleh majikannya." Zoya tetap berusaha tenang, karena ia yakin tidak ada apa-apa di jalan tersebut.
Ia kembali melangkah dengan percaya diri. Tak lama, lolongan itu terdengar kembali. Kali ini begitu jelas dan lebih keras. Membuat Zoya terkejut dan langsung bersikap waspada.
"A-apa itu lolongan serigala?"
Binatang itulah yang seketika melintas di pikiran Zoya. Karena siapa lagi yang melolong panjang dan kencang di tengah malam begini? Dari film yang ia tonton waktu itu, suara tersebut tidak lain dan tidak bukan pasti ulah si serigala. Lolongan di film itu pun Zoya masih mengingatnya, sama persis.
Sontak ia menengadah, memandang langit gulita dengan pernik bintang dan bulan yang menemaninya. Kini netra wanita itu memicing dan terfokus pada benda bulat nan bersinar di atas sana.
"Bulan ... purnama?"
Napas Zoya seketika memburu. "Jadi tadi itu benar lolongan serigala?" celetuknya tidak yakin. Ia masih menyangkutpautkan kejadian sekarang dengan film tentang serigala yang pernah ia saksikan.
"Tolooong!"
Teriakan meminta pertolongan membuat pikiran negatif Zoya buyar. Ia langsung menajamkan pendengaran sembari mengamati keadaan sekitar.
"Tolooong!"
Lagi, teriakan itu hadir kembali. Membuat Zoya yakin kalau seseorang pasti sedang dalam bahaya. Jiwa kepeduliannya mulai meronta, ia tidak peduli dengan rasa takut. Sumpahnya sebagai seorang perawat yang bisa saja menembus menjadi dokter harus ia laksanakan. Wanita itu memang selalu berpegang teguh pada pendirian.
Walaupun tidak memiliki gelar dokter yang sesungguhnya, ia tetap harus menolong nyawa seseorang di mana pun dan kapan pun. itulah jiwa dokter yang sebenarnya.