Chereads / A Vampier's Love Bond / Chapter 3 - Bertemu Kembali

Chapter 3 - Bertemu Kembali

Sudah dua hari Zoya terus mencari keberadaan pria yang menolongnya wakti itu. Ia sampai bertanya pada orang-orang yang tinggal di sekitar sana, tetapi tak seorang pun yang mengenali ciri-ciri pria tersebut. Zoya tidak mungkin bisa melupakan kejadian itu, ia yakin hal tersebut bukanlah khayalan atau mimpi semata.

"Apa jangan-jangan ... dia tinggal di hutan?"

Zoya mulai berpikir yang tidak-tidak. Akan tetapi, bisa saja hal itu benar adanya. Karena Zoya merasa aneh, kenapa pria itu tiba-tiba ada di dalam hutan dan menolongnya. Dari mana dia datang kalau bukan karena tempat tinggalnya yang berada di sana. Zoya terus berdecak kesal memikirkannya.

"Apa aku harus ke hutan itu agar bisa bertemu dengannya?" Zoya bermonolog dengan pikiran bimbang. "Tidak, tidak. Aku tidak mau berpapasan dengan para serigala lagi," elaknya.

Seketika lamunan wanita itu buyar saat ponselnya berdering singkat. Ternyata panggilan dari pihak rumah sakit, tanpa pikir panjanh ia pun menekan tanda telepon hijau.

"Halo?"

"Cepatlah ke rumah sakit."

Zoya mampu mengenali suara siapa itu, sang kepala rumah sakit yang selalu memasang wajah datar dengan sikapnya yang dingin juga menyebalkan.

"Bukannya jam kerjaku sudah usai, Pak? Lagipula, aku baru saja pulang."

"Kau lembur lagi hari ini untuk patroli malam," tegasnya dari seberang telepon.

"Tapi malam ini bukan jadwalku untuk berpatroli."

"Kau menggantikan Suster Mona karena dia ada acara mendadak, sehingga tidak bisa berpatroli malam ini."

Embusan napas kasar lolos dari hidung Zoya. Kalau begini, kapan dirinya akan beristirahat? Padahal, waktu sudah menunjukan jam setengah dua belas malam. Sangat cocok sekali untuk memulai mimpi.

"Aku juga tid—"

"Kau adalah satu-satunya perawat yang tempat tinggalnya dekat dengan rumah sakit ini. Jadi jangan sampai saya mendengar penolakan darimu."

Belum sempat Zoya menyela, panggilan sudah terputus begitu saja. Pak Jack memang keterlaluan, kepala rumah sakit itu selalu saja bersikap seenaknya kepada bawahan. Alhasil mau tidak mau akhirnya Zoya tetap pergi untuk berpatroli.

***

"Kau jangan coba-coba menyembunyikan darah murni dariku, Louis!" Seorang wanita berambut hitam legam yang dikuncir itu mencengkeram kerah baju Louis dengan kuat. Raut wajahnya tampak begitu marah.

"Grez, kau tahu, bukan? Kalau aku dan adikku juga sedang mencari darah itu! Dan kami masih belum menemukannya," sarkas Louis berusaha melepas cengkeraman.

Grez berdecih. "Apa kau lupa, hah? Instingku paling tajam di antara vampir lain, jadi aku bisa merasakan bahwa darah murni itu telah memasuki tempat tinggalmu ini!"

"Jika instingmu paling kuat, harusnya kau sudah mendapatkan manusia pemilik darah murni itu sedari dulu."

Cengkeraman Grez berpindah ke leher Louis, ia mencekiknya dengan kuat walaupun Louis masih bisa menahannya. Ucapan pria itu seakan telah menghina kemampuan Grez. "Diam kau! Aku bisa melakukan itu dengan mudah jika tubuhku bisa keluar dari tabir kawasan hutan ini!"

Louis tertawa hambar. "Tapi sayangnya, King Lord belum juga mengampunimu sehingga kau masih terkurung di hutan ini," ucapnya, "jadi, bersikap baiklah. Agar King Lord segera mencabut hukumanmu."

Grez melepaskan cekikannya seraya mendorong tubuh Louis. Ia mengeratkan rahang, jelas sekali kemarahan menyelimutinya. Akan tetapi, ia tidak bisa berlama-lama bertengkar dengan pria tersebut. Mantan sepasang kekasih itu sepertinya masih saling peduli satu sama lain.

"Di mana Zayn?"

"Seperti biasa, dia sedang berburu."

"Zayn sangat beruntung. Walaupun dirinya sedang dihukum, dia tetap bisa keluar dari tabir hutan ini."

"Karena kesalahan Zayn tidak sebesar kesalahanmu, Grez."

***

Zoya kembali memilih berjalan kaki untuk pergi ke rumah sakit di tengah malah begini. Karena jika menunggu taksi, itu mustahil. Sudah jarang ada taksi yang lewat jika sudah larut seperti ini. Namun, dia tidak melewati jalan alternatif yang waktu itu ia lalui. Zoya tidak mau melihat hutan itu dan mengingat kejadian di mana dirinya dikepung para serigala.

Kali ini Zoya melalui beberapa kafe yang masih saja dikunjungi beberapa anak muda walaupun sudah tengah malam. Para penjual makanan hangat di pinggir jalan pun tak luput ia saksikan, membuat wanita itu jauh lebih tenang dan pastinya merasa aman. Karena setidaknya ia tidak sendirian, walaupun jarak tempuhnya lebih jauh daripada jalan alternatif waktu itu.

Tak sengaja, kedua manik Zoya menangkap sesuatu. Lebih tepatnya seseorang, orang itu tengah meringkuk memeluk lututnya di bawah tiang lampu jalan. Tanpa berpikir dua kali, Zoya memutuskan untuk menghampirinya. Dia yakin orang itu sedang membutuhkan pertolongan.

"Permisi. Apa kau baik-baik saja?" tanya Zoya pelan, ia sedikit ragu untuk memulai pembicaraan.

Kepala yang tadinya tertunduk lesu itu kini terangkat secara perlahan. Sontak Zoya memundurkan langkah karena sedikit terkejut. Wajah pria itu begitu pucat dengan bibir yang terus bergerak karena terlalu menggigil. Tatapannya begitu sayup dengan tangan yang masih memeluk erat kedua lutut. Pandangannya seolah mengatakan 'Tolong aku.'

Zoya kembali mendekat seraya menunduk, ia memerhatikan pria itu dari atas sampai bawah. Sepertinya dia sangat kedinginan, bahkan napasnya pun terlihat mengeluarkan uap, seolah ia sedang berada di tengah-tengah salju. Zoya tidak mengerti, padahal Kota Maryland masih dilanda musim semi, tapi kenapa pria itu begitu kedinginan seperti ini?

"Apa kau sakit?"

Sontak tangan Zoya terulur pada dahi pria itu, ia bermaksud mengecek suhu tubuhnya. Namun, belum juga tiga detik, tangan wanita itu langsung terangkat. Wajah Zoya kembali diselimuti kebingungan.

'Kenapa tubuhnya dingin sekali? Aku baru tahu ada orang yang masih bisa bertahan hidup dengan suhu tubuh serendah ini.' Zoya membatin, beribu pertanyaan mulai hinggap di otaknya.

Pria itu lagi-lagi hanya bergeming, bahkan ia semakin menggigil saat Zoya terus bertanya.

"Sepertinya kau memang sedang sakit. Lebih baik kau ikut denganku, kebetulan aku juga akan pergi ke rumah sakit."

Tak ada jawaban, Zoya menganggap diamnya pria itu adalah sebuah persetujuan. Dengan ragu ia pun merangkul pria tersebut, membawanya berjalan pelan dengan jarak beberapa puluh meter lagi untuk sampai di rumah sakit.

"Kau bertahanlah," ujar Zoya merasa cemas.

'Ternyata benar, kau memang orang yang kucari selama ini.'

***

"Kenapa kau terlambat?" Pak Jack langsung memanggil Zoya ke ruangannya tepat setelah dia mengantar pria tadi ke ruang rawat.

"Maaf, Pak. Tadi saya harus menolong seseorang terlebih dahulu."

"Apa kau jadikan itu sebuah alasan?"

Zoya sedikit membuang muka. "Tapi memang itu kenyataannya, Pak."

Pak Jack mengembuskan napas kesal, ia juga tidak bisa berkutik. "Baiklah, kali ini kau saya maafkan. Tapi lain kali kau harus tepat waktu. Saya tidak suka orang yang tidak disiplin sepertimu."

Zoya hanya mengangguk malas, lalu segera pamit keluar. Ia tidak mau memikirkan perkataan tidak enak dari atasannya itu. Langkah Zoya malah menuju ruang rawat di mana pria yang ditolongnya tadi berada. Entah kenapa hatinya terus merasa cemas dengan keadaan pria tersebut.

Tangan mulus itu meraih kenop pintu seraya membukanya perlahan. Kini Zoya mampu melihat wajah putih dengan mata tertutup rapat tengah berbaring di atas brankar. Bahkan kulitnya terlalu putih sehingga pria itu tampak begitu pucat. Seulas senyum seketika hadir begitu saja dari ranum indah Zoya. Menyaksikan pria dengan wajah terukir begitu sempurna membuat Zoya tenang dan damai. Ia juga tidak tahu kenapa hatinya merasa begitu.

Namun, seketika Zoya mengernyit. Ia baru menyadari sesuatu. "Pria itu ...." Kalimatnya menggantung, ia tidak mungkin salah ingat. Wajah pria di hadapannya sama persis dengan orang yang telah menyelematkan dirinya waktu itu. "Akhirnya aku bisa berbalas budi padamu," ucapnya senang.

Sekilas ia melirik jam tangan, waktu sudah menunjukan pukul 00.20. Ia harus segera berpatroli keliling rumah sakit sebelum Pak Jack mengetahuinya kalau ia malah duduk santai di ruang rawat.

Zoya pun keluar dengan perasaan tenang. Tepat saat menutup pintu, ia berpapasan dengan seorang dokter paruh baya yang hendak memeriksa pria tadi. "Zoya? Kau di sini?"

"Iya, Dokter Brix. Aku ditugaskan untuk berpatroli malam ini."

"Oh, begitu. Ya sudah saya masuk dulu. Pasien di dalam belum saya tangani."

"Baik, Dok. Jika ada sesuatu perihal pria itu, kabari aku," pinta Zoya sedikit berbisik. Sementara Dokter Brix malah terkekeh seraya mengangguk.

Baru beberapa langkah Zoya mengayunkan kaki dari sana, tiba-tiba suara Dokter Brix kembali terdengar memanggilnya. "Zoya, tunggu!"

"Kenapa, Dok?"

"Kau bilang ada pasien seorang pria di dalam?"

Zoya mengerutkan kening. "Iya, dia masih belum sadarkan diri."

"Tapi di dalam tidak ada siapa-siapa. Bahkan kasur di brankarnya masih rapi."

Seketika Zoya menganga. "Apa? Bagaimana bisa?" Ia langsung berlari kembali memasuki ruangan tadi. "Aku baru saja mengeceknya, tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja dengan keadaannya yang begitu lemah, Dok."

Dokter Brik bergeming yang kemudian berujar, "Kalaupun dia pergi, lantas dia pergi lewat mana? Sedari tadi kita berbincang di depan pintu, bukan? Harusnya kita melihat pria itu jika dia keluar."

Zoya mematung, perkataan Dokter Brix benar. Ini sungguh tidak masuk akal. "Ya, sudah, Dok. Biar aku cari dia terlebih dahulu. Melihat dari kondisinya, dia sepertinya tidak akan pergi jauh dari sini."

"Baik, temukan dia secepatnya."

Zoya pun berlari kecil menelusuri setiap sudut rumah sakit. Entah ada ikatan apa, yang jelas wanita itu begitu panik. Zoya takut sesuatu yang buruk terjadi pada pria asing itu.