Yuri termenung di atas ranjang yang telah disiapkan khusus untuknya. Bukan, bukan untuknya. Tapi untuk tuan yang telah membelinya dengan harga tinggi. Bekerja untuk pria itu seumur hidup pun, tidak akan bisa mengganti uang ratusan juta itu.
Suara pintu yang terbuka dan irama sepatu yang bersentuhan dengan lantai, membuat perasaan Yuri semakin tak karuan. Sungguh, ia tidak tahu harus melakukan apa selain menelungkupkan wajah di sela-sela lengannya dan terisak.
"Kenapa nangis?" tanya pria yang sudah berdiri di sebelah ranjang sambil menatap tubuh Yuri.
"Beri saya waktu, Tuan ...!" pinta Yuri tanpa ingin menatap wajah pria itu.
Pria berjas putih itu tersenyum kecil. Ia duduk di samping Yuri dan membuka topeng yang sejak tadi ia kenakan. "Aku sudah membelimu dengan harga tinggi. Kamu tahu, apa yang harus kamu lakukan?"
Yuri mengangguk-anggukkan kepala tanpa ingin menatap wajah pria itu.
"Kalau gitu, kenapa harus menangis?"
"Saya takut ...!" lirih Yuri sambil mengeratkan pelukan pada kedua kakinya. Ia enggan menunjukkan wajahnya pada pria yang bersamanya itu.
"Apa yang kamu takutkan?" tanya pria itu sambil melepas jas yang ia kenakan.
"Hiks ... hiks ... hiks ...! Aku baru umur delapan belas tahun, baru daftar kuliah, belum pernah pacaran, belum pernah nonton di bioskop, melakukan banyak hal bareng pacar, belum pernah ciuman ... gimana bisa hidupku harus berakhir jadi perempuan yang akan melahirkan bayi untuk Tuan?" cerocos Yuri sambil terisak.
"Apa kamu dijual untuk melahirkan bayi? Kenapa Mr. Frans nggak bilang seperti itu?"
Yuri langsung mengangkat kepalanya menatap pria yang duduk di sampingnya itu. Jantungnya seperti mau lepas saat melihat pria muda dan tampan yang ada di hadapannya.
"Ini bukan mimpi 'kan?" batin Yuri sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Kenapa dia masih muda dan ganteng banget? Nggak mungkin! Nggak mungkin! Mana ada anak muda yang punya banyak uang? Jangan-jangan, dia cuma supirnya bos yang udah beli aku?" Yuri terus membatin.
"Kamu kenapa?"
"Eh!? Ka-kamu yang beli aku?"
Pria itu mengangguk. "Kenapa terkejut seperti itu? Belum pernah melayani pria tampan sepertiku?"
Yuri menggeleng. Ia terus menatap pria yang ada di depannya itu tanpa berkedip. "Kalau yang beli aku semuda dan seganteng ini ... aku nggak rela buat kabur. Kapan lagi bisa dapet cowok ganteng dan kaya raya?" batinnya.
"Kamu tadi nangis-nangis. Kenapa tiba-tiba senyum-senyum kayak gitu?" tanya pria itu.
"Eh!? Nggak papa." Yuri bangkit dari tempat tidur sambil mengibas-ngibaskan tangannya karena suasana tiba-tiba menjadi panas.
"AC di sini cukup dingin. Kamu kepanasan?"
Yuri menggeleng. Ia langsung menghampiri meja yang ada di sana dan meraih gelas wine yang sudah tersedia di sana. "Aku haus!" ucap Yuri sambil menenggak wine tersebut.
"Jangan dimin—" Pria itu menghentikan ucapannya saat Yuri menghabiskan segelas wine dalam sekejap. "Kamu nggak tahu gimana caranya menikmati anggur?"
"Diminum 'kan?" tanya Yuri sambil meletakkan gelas wine ke atas meja.
Pria itu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku nggak bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu sama kamu."
Yuri meringis menatap pria tampan yang ada di hadapannya itu. "Mau bertanggung jawab gimana? Kamu udah beli aku. Aku bisa apa selain menuruti semua yang kamu perintahkan," ucapnya sambil melangkah mendekati tubuh pria tampan yang ada di hadapannya.
"Kamu mau apa?"
Yuri tersenyum. "Kenapa kamu beli aku?"
Pria itu mengerjapkan mata saat Yuri sudah berada tepat di hadapannya. Ia bisa mencium aroma alkohol dari mulut wanita itu dan menyadari kalau Yuri sudah mabuk.
"Hidupku ini terlalu menyedihkan. Ibuku sakit keras, perlu banyak biaya pengobatan. Bapakku setiap hari kerjanya cuma mabuk sama judi. Aku sudah berusaha keras cari uang dengan baik. Tapi tetap aja bapakku memaksakan diri buat jual aku sama Oom-Oom berduit. Aku selalu bilang kalau aku pengidap HIV/AIDS supaya mereka nggak nyentuh aku. Hehehe. Aku pintar 'kan?"
"Pak Wira itu selalu mukulin aku saat aku pulang karena gagal dapet uang yang banyak untuk dia," tutur Yuri sambil menatap pria tampan yang ada di hadapannya itu.
"Semua laki-laki yang mau beli aku itu sudah tua dan jelek. Kenapa kamu masih muda dan ganteng banget? Kalau kayak gini, aku yang nggak rela pergi dari kamu."
Pria itu tertawa kecil sambil menatap wajah Yuri. Ia langsung menarik tubuh Yuri ke atas ranjang dan menyelimuti tubuh wanita itu. "Bajumu terlalu terbuka. Tidurlah dalam selimut supaya hangat. Spasmofilia kamu bisa kambuh kalau kedinginan," ucap pria itu. Ia segera mengatur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin untuk menjaga tubuh Yuri tetap hangat.
"Mmh ... ini terlalu panas!" seru Yuri sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia terus memejamkan mata sambil mengelus-elus kasur empuk di bawah dadanya.
Pria berjas putih itu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia menatap wajah Yuri yang ada di hadapannya itu.
"Kenapa makin panas?" tanya Yuri sambil bangkit dan berusaha melepas dress yang ia kenakan.
"E-eh. Siapa yang nyuruh kamu lepas baju?"
"Panas ...!"
Pria itu langsung bangkit dari kasur dan memeriksa wine yang ada di atas meja. "Ini sudah dicampur obat perangsang? Mereka benar-benar sudah nyiapin semuanya dengan sempurna," gumamnya sambil menoleh ke arah Yuri yang sudah melucuti pakaiannya.
Pria itu langsung melepas dasi yang masih ia kenakan sambil melompat kembali ke atas tempat tidur. Ia juga melepas ikat pinggang yang masih terpasang erat di tempatnya.
"Kamu jangan banyak tingkah dan ikuti semua perintahku, oke?" perintah pria itu sambil menatap wajah Yurika.
Yuri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus! Anak yang manis," ucap pria itu sambil meraih kedua tangan Yuri. Ia menarik perlahan tangan Yuri ke belakang tubuh wanita itu dan mengikatnya menggunakan dasi yang ia kenakan.
"Tuan Muda, apa aku cantik?" tanya Yuri sambil menatap wajah tampan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.
Pria itu mengangguk.
"Kenapa aku diikat?" tanya Yuri.
"Jangan melakukan tindakan yang berlebihan! Kamu nggak boleh ke mana-mana, nggak boleh teriak, nggak boleh merengek, nggak boleh bergerak tanpa izin dari aku! Ngerti?"
Yuri mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus!" Pria itu beralih mengikat kaki Yuri menggunakan ikat pinggang miliknya. Kemudian, menidurkan wanita yang terus meliukkan tubuhnya karena berada di bawah pengaruh alkohol dan obat perangsang.
"Tuan Muda ... apa aku nggak cantik?" tanya Yuri sambil mengangkat kepalanya mendekati Grandika.
"Jangan bergerak! OK?" pinta Grandika.
"Mmh ... kepalaku pusing!" keluh Yurika sambil berusaha bangkit, kemudian menindih tubuh Grandika.
"Aw ..!" seru Grandika tanpa suara saat alat vitalnya tertindih oleh lutut Yurika. Ia kesal karena wanita yang sudah ia ikat itu masih saja bisa bertingkah.
"Kamu ...!?" dengus Grandika kesal sambil mendorong tubuh Yuri dan menggulungnya di dalam selimut agar tidak banyak bertingkah lagi.
Grandika menghela napas sambil berkacak pinggang melihat tubuh Yuri. "Huft! Kenapa dia agresif banget?" celetuknya.
"Uweeek ...!" Yuri membuka mulutnya saat ia merasa pusing dan mual.
"E-eh. Jangan muntah di tempat tidur!" seru Grandika. Ia buru-buru menarik tubuh Yuri dari dalam selimut, berniat membawa wanita itu ke kamar mandi.
BRUUK ...!
Kondisi tubuh Yuri yang masih terikat, membuatnya kesulitan bergerak dan jatuh tepat di atas tubuh Grandika.
"Uweeek ...!" Yuri langsung memuntahkan isi perutnya ke atas dada Grandika.
"Astaga! Kamu ...!?" Grandika menahan kesal sambil menatap wajah cantik Yurika yang berada tepat di atas dadanya.
"Hehehe. Aku nggak bisa bergerak karena kamu ikat," ucap Yuri meringis.
"Nggak muntah di dadaku juga. Geser kepalamu sedikit, bisa 'kan?" tanya Grandika.
Yurika menggeleng.
"Bangun!" perintah Grandika kesal.
Yuri menggeleng lagi.
Grandika menggenggam kedua pundak Yurika dan berguling, kali ini ... dia yang menekan tubuh Yurika. "Kamu udah berani ngotorin kemejaku, masih nggak mau pergi?" bisiknya sambil menatap tajam mata Yuri.
Yuri tersenyum membalas tatapan pria tampan yang ada di hadapannya itu. Matanya yang bercahaya dan bibirnya yang lembut, benar-benar menarik perhatiannya. Ia langsung menyambar bibir Grandika yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.
Grandika melebarkan kelopak matanya. Perasaannya sangat tak karuan saat wanita itu tiba-tiba menciumnya. Ia segera bangkit dari tubuh Yuri dan melangkah pergi.
"Tuan Muda yang tampan, lepasin aku dulu!" pinta Yuri. "Aku mau ke toilet."
Grandika menghentikan langkah dan menatap tubuh Yuri. Ia menghampiri wanita itu dan melepas ikatannya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari muntahan yang mengotori tubuhnya.