"Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara," tutur Grandika sambil masuk ke dalam apartemen miliknya.
"Sementara?" tanya Yuri dalam hati. "Maksudnya apa?" Meski banyak pertanyaan yang bermain di kepalanya, tapi ia tidak berani mengucapkan lewat bibirnya. Hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya saja sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Di rumah ini cuma ada satu kamar tidur. Kamu boleh lakukan apa pun yang kamu mau. Tapi jangan sampai memindahkan barang-barang yang ada di sini!" tutur Grandika sambil menyentuh sensor yang terpasang di dinding, membuat tirai jendela apartemennya terbuka otomatis.
"Wah ...!" Yuri berseru sambil menatap balkon apartemen yang dihiasi oleh tanaman bunga, lengkap dengan satu set meja kursi dan rak buku yang berjejar rapi di sudut ruangan.
"Kamu bisa bersantai di sana. Membaca buku atau mengerjakan hal yang kamu suka sambil melihat pemandangan di luar," tutur Grandika. "Di rumah ini ... semuanya dilengkapi dengan mesin otomatis. Setiap jam lima pagi, robot pembersih lantai, pembersih kaca dan penyiram tanaman akan bekerja secara otomatis."
"Oh ya? Enak banget jadi orang kaya?" tanya Yuri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melangkah menghampiri lemari kaca yang berisi beberapa plakat, piagam penghargaan dengan logo kepolisian negara. "Kamu polisi?"
Grandika mengangguk.
"Kamu masih muda banget? Kenapa sudah jadi polisi kaya raya? Fasilitas semewah ini ... kayaknya, nggak ada anggota polisi yang seperti ini," tutur Yuri sambil memperhatikan deretan piala penghargaan dan plakat yang terpajang rapi. "Apa karena punya banyak prestasi?"
Grandika hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Yuri. "Aku harus pergi dinas pagi ini. Kamu nggak boleh pergi keluar dari rumah ini tanpa izin dari aku. Aku akan pulang setelah selesai dinas."
"Hah!? Kalau aku laper, gimana?"
"Aku sudah pesankan sarapan pagi buat kamu. Di kulkas, ada banyak bahan makanan. Kalau bisa masak. Masaklah! Kalau nggak bisa, order aja pakai aplikasi!" jawab Grandika sambil berlari menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
"Dia bener-bener mau ngurung aku di rumah ini?" gumam Yuri sambil menatap punggung Grandika yang bergerak pergi. "Kenapa ada polisi berprestasi yang kelakuannya seburuk ini? Memperlakukan perempuan sembarangan!"
"Eh, kalau dia polisi ... kenapa dia bisa beli aku di pusat perjudian itu? Jangan-jangan ... dia sengaja menyelidiki kasus perdagangan manusia dan mau nangkap bapakku?" tanya Yuri pada dirinya sendiri.
Yuri menggelengkan kepala. "Nggak boleh! Meski Pak Wira itu brengsek, dia tetap bapakku. Dia juga ngelakuin ini buat biaya pengobatan ibu. Kalau Pak Wira ditangkap polisi ... gimana? Ini nggak boleh terjadi!" ucapnya sambil menaiki anak tangga, menyusul langkah Grandika.
Tok ... tok ... tok ...!
Yurika mengetuk pintu kamar Grandika. Membuat Grandika yang sedang berganti pakaian, langsung membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Grandika sambil menatap wajah Yuri. Tangannya sibuk memakai seragam polisi yang biasa ia pakai setiap hari itu.
"Aku bantu pakaikan kancing," tutur Yuri sambil mendekati tubuh Grandika dan meraih kemeja polisi yang sudah melekat di tubuh Grandika.
Grandika langsung memundurkan langkahnya. "Aku bisa sendiri."
Yuri terdiam sambil menggigit bibirnya. Ia memikirkan cara untuk menarik perhatian pria yang ada di hadapannya itu.
"Keluarlah!" perintah Grandika yang sudah berdiri di depan cermin sambil memasang kancing bajunya dan merapikan seragam yang ia kenakan.
"Kamu sudah beli aku. Bukankah aku di sini untuk melayani kamu?" tanya Yuri sambil tersenyum manis.
"Aku nggak perlu dilayani sama kamu. Kamu cukup berdiam diri di dalam rumah ini dan ikuti semua perintahku!" tegas Grandika.
"Tapi ... mmh ... kamu anggota polisi. Kenapa bisa ada di pusat perjudian itu dan beli aku? Bukannya kamu seharusnya menangkap semua pelaku kejahatan itu? Kenapa kamu malah ikut bertransaksi? Apa kamu sengaja melakukan ini semua dan menargetkan seseorang?" tanya Yuri. Ia enggan menerka-nerka.
"Aku nyuruh kamu diam di sini. Bukan banyak nanya!" sahut Grandika sambil meraih pistol yang ada di atas meja.
Yuri melebarkan kelopak matanya. "Jangan bunuh aku! Aku nggak akan tanya-tanya lagi!" serunya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Grandika langsung menatap wajah Yuri sambil menahan tawa. "Aku ini polisi, bukan pembunuh," ucapnya sambil memasukkan pistol ke dalam holster.
"Ada juga polisi yang membunuh keluarganya sendiri. Aku pernah lihat beritanya di internet!" seru Yuri sambil terus memejamkan mata sambil menutupi wajahnya. Ia membayangkan ujung pistol yang ada di tangan Grandika sudah mengarah ke kepalanya.
Grandika tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia melangkah perlahan menghampiri Yuri dan menurunkan kedua telapak tangan wanita itu. "Aku bisa membunuhmu kalau kamu nggak mau menuruti perintahku dan berani melawan petugas," ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah Yuri yang ada di hadapannya.
Yuri menggelengkan kepala. "Nggak ngelawan. Aku nurut. Aku nurut! Jangan bunuh aku! Aku belum bisa bahagiakan orang tua, belum sukses, masih mau hidup lama!"
"Kamu terlalu banyak bicara," ucap Grandika sambil menyondongkan tubuhnya ke tubuh Yuri.
Yuri terdiam saat pundak pria itu hanya berjarak lima sentimeter dari hidungnya. Ia memejamkan mata dan tidak berani melakukan apa pun. Hanya bisa pasrah, harus siap melayani pria itu kapan pun ia dibutuhkan.
KLEK!
Grandika membuka pintu yang berjarak lima belas sentimeter dari punggung Yuri. Ia tersenyum sinis sambil melirik wajah Yuri yang begitu dekat dengannya dan melangkah keluar dari kamar.
Yuri langsung menghela napas lega saat pria tampan itu berhasil membuatnya berhenti bernapas selama beberapa detik. Ia pikir, Grandika akan melakukan hal berlebihan terhadap dirinya.
"Ingatlah! Jangan keluar dari rumah ini tanpa izin dari aku!Apartemen dan seisi kota dilengkapi CCTV. Kalau kamu mau kabur, pikirkan baik-baik akibatnya!" tegas Grandika sekali lagi.
Yuri berbalik, ia mengangguk sambil menatap punggung Grandika.
Grandika tersenyum kecil dan melangkahkan kakinya. Menuruni anak tangga dan bergegas pergi.
"Dasar boneka kayu! Kaku, galak, jutek, ketus! Untungnya ganteng. Semua polisi memang menakutkan. Lebih menakutkan lagi jadi tahanan polisi. Ini rumah atau penjara?" gumam Yuri sambil mengedarkan pandangannya.
Yuri tidak tahu harus melakukan apa di rumah tersebut. Sementara, pria itu sudah berpesan agar ia tidak memindahkan barang apa pun. Jangankan memindahkannya, menyentuhnya saja ... ia tak punya keberanian.
BUG!
"Aw ...!" Yuri berseru saat sebuah mesin tiba-tiba menabrak kakinya. "Ini apaan?"
"Nona mau lewat! Nona mau lewat! Waktunya bersih-bersih! Ada orang asing masuk sini. Aktifkan ranjau! Aktifkan ranjau!" Suara robot pembersih lantai terdengar jelas sambil terus berputar di lantai.
"Apa!? Ranjau?" Yuri langsung melompat ke atas sofa. Ia menelungkupkan tubuhnya dan tidak berani bergerak. Ia hanya menggerakkan matanya menatap robot-robot di rumah itu yang mulai aktif seperti yang dikatakan oleh Grandika sebelumnya.
"Kenapa nggak bilang kalau rumah ini dipasangi ranjau? Di mana ranjaunya? Kalau aku salah melangkah, aku bisa mati!" seru Yurika sambil melirik ke arah robot mungil yang sedang membersihkan kaca jendela. Juga beberapa robot lain yang melakukan pekerjaan rumah. Ia membenamkan wajahnya ke atas sofa, menunggu robot-robot itu berhenti bekerja dengan sendirinya dan mati otomatis sesuai waktu yang telah diatur.
Ting-tong!
Yuri mengangkat kepala saat mendengar suara bel rumah tersebut berbunyi. Ia menoleh ke segala arah untuk memastikan kalau semua robot yang ada di rumah tersebut sudah berhenti beroperasi. Ia bangkit perlahan, menurunkan kakinya dan mengendap-ngendap menuju pintu.
"Aku udah laper banget. Kenapa delivery makanan lama banget? Jangan-jangan, dia pesan makanan dari Pulau Bali," gumam Yuri sambil meraih gagang pintu dan membukanya.
"Bu, kenapa lama banget makanannya? Aku udah kelaparan," tanya Yuri sambil menatap wanita paruh baya yang ada di hadapannya.
"Kamu siapa?" tanya wanita paruh baya itu sambil memperhatikan tubuh Yuri. Ia langsung melangkah masuk ke dalam rumah tersebut.
Yuri memutar kepalanya menatap wanita paruh baya dengan setelan jas warna mocca. "Apa tukang antar makanan jaman sekarang, penampilannya serapi ini?" batin Yuri sambil menggaruk kepalanya.
"Anak saya mana?" tanya wanita paruh baya itu.
"Anak!?" Yuri langsung melebarkan kelopak matanya. Ia baru menyadari kalau wanita yang ada di hadapannya itu memang bukan tukang pesan-antar makanan.
"Iya. Anak saya, Grandika. Mana dia?" tanya wanita itu.
Yuri membuka mulutnya lebar-lebar sambil menatap wajah wanita setengah baya yang ada di hadapannya itu. "Ibu ... ibunya?"
Wanita itu mengangguk sambil menatap wajah Yuri. "Kamu siapa? Kenapa ada di rumah anak saya?"
"Oh ... eh ... saya pembantu baru di sini. Pak Grandika sudah berangkat ke kantor," jawab Yuri canggung.
"Pembantu? Sejaka kapan Dika pakai pembantu?"
"Sejak ..." Yuri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia benar-benar canggung saat wanita setengah baya itu memergokinya ada di dalam rumah seorang pria. Ia khawatir, penilaian dirinya menjadi sangat buruk. Membuat wanita itu berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya.
Ting-Tong!
Bel rumah itu kembali berbunyi.
Yuri langsung menoleh ke arah pintu. Ia menggigit bibir bawahnya sambil melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Permisi ...! Pesanan makanan dari Mas Dika," tutur seorang pria dengan seragam ojek online warna hijau yang khas di kota tersebut.
Yuri langsung tersenyum canggung saat ibu Grandika memperhatikannya. "Makasih, Mas! Udah dibayar?" tanyanya sambil meraih kantong makanan yang disodorkan ke arahnya.
"Sudah, Mbak."
"Makasih, ya!" Yuri langsung menutup kembali pintu rumah tersebut. Ia melangkah perlahan dengan perasaan tak karuan.
"Kamu beneran pembantu? Kenapa Dika pesanin makanan buat kamu? Kerjamu apa?" tanya wanita setengah baya itu.
Yuri tak menjawab. Ia hanya menggigit bibir sambil menahan rasa perih di matanya. Ia sangat malu karena pertama kalinya ia tinggal di rumah seorang pria, pertama kalinya juga ia kepergok oleh orang tua pemilik rumah itu.
Wanita itu tertawa kecil sambil menatap wajah Yuri. "Sudah berapa lama pacaran sama anak saya?"
"Eh!?" Yuri menggeleng-gelengkan kepala. "Saya bukan pacarnya."
"Kenapa bisa ada di rumah ini? Rumah ini nggak butuh pembantu. Dika punya banyak robot yang bantu dia merawat rumah ini."
Yuri tak menjawab. Ia berusaha mencari alasan yang tepat , tapi semuanya tidak masuk akal. Ia hanya bisa pasrah jika Ibu Grandika menganggapnya sebagai wanita nakal.
Tantri Kesuma Dierjaningrat, ibu kandung Grandika itu langsung duduk di sofa. Ia terlihat sangat santai sambil memainkan ponsel di tangannya.
Yuri tetap berusaha melakukan yang terbaik. Ia menyiapkan makan siang untuk Grandika dan membuatkan segelas susu hangat untuk ibunya. Ia sangat canggung karena wanita itu tidak mengajaknya bicara. Ia juga tidak tahu harus memulai pembicaraan dengan apa. Sebab, ia tahu kalau penilaian wanita itu tentang dirinya sudah buruk. Ia tak perlu menjelaskan banyak hal yang hanya akan menjadi sia-sia belaka.