Pukul empat sore.
Allena tengah bersiap-siap untuk keluar dari ruangannya. Ya, dia akan keluar kantor lebih awal.
Di tengah kegiatannya, sebuah panggilan mengalihkan perhatiannya, dia lantas mengambil ponselnya dan melihat kontak Nio lah yang menghubunginya.
'Ya, Sayang,' ucap Allena.
'Apa yang kamu lakukan? Apa kamu sibuk?' tanya Nio.
'Lumayan. Ada apa? Kamu di mana?' ucap Allena.
'Aku di kantor. Bagaimana jika kita malam ini, kita makan malam di luar?' ucap Nio.
Allena terdiam sejenak, Nio mengajaknya makan malam di saat dia harus pergi ke Vila untuk bertemu Albert. Allena tak mungkin membatalkan pertemuan dengan albert di saat seperti ini, terlebih pertemuan keduanya untuk membicarakan perihal kerja sama.
'Maaf, aku harus menghadiri pertemuan di luar. Kita makan malam lain waktu, ya,' ucap Allena.
Terdengar helaan napas Nio dari dalam telepon.
'Baiklah, kabari aku jika kamu sudah sampai di tempat tujuanmu, jangan lupa, share lokasinya,' ucap Nio.
Allena lagi-lagi terdiam sejenak. Lagi-lagi Nio meminta hal ini. Ya, sudah tak aneh. Namun, tidak mungkin Allena mengirimkan lokasi pertemuannya pada Nio, atau Nio akan mencurigainya. Sudah jelas pertemuan kali ini bukan pertemuan yang melibatkan perusahaan seperti yang Nio ketahui selama ini. Allena hanya berani mengirimkan lokasi yang dia datangi pada Nio, jika dirinya berada di luar untuk membahas pekerjaan legal yang berkaitan dengan perusahaannya.
Namun, jika Allena menolak mengirimkan lokasinya, Nio pun akan semakin curiga padanya. Mau tak mau, Allena harus menggunakan cara sebelumnya, yaitu mengirimkan lokasi lain pada Nio.
'Halo, Sayang. Apa kamu mendengarku?' tanya Nio.
'Ya, baiklah. Aku akan kirimkan lokasinya padamu saat aku sampai nanti. Aku akan pulang larut malam, jadi kamu tak perlu menungguku,' ucap Allena.
'Baiklah, sampai jumpa di rumah, jaga dirimu. Aku mencintaimu,' ucap Nio.
'Ya, aku juga mencintaimu,' ucap Allena dan telepon pun berakhir.
Allena menghela napas panjang. Dia bergegas merapikan barang-barangnya dan mengambil sesetel pakaian berwarna hitam. Pakaian itu berbahan kulit, dia mengganti pakaian yang dia kenakan saat ini dengan sesetel pakaian itu. Itu akan mempermudah pergerakannya, dan dia terbiasa memakai pakaian seperti itu jika akan menghadiri pertemuan yang melibatkan kesepakatan ilegal. Tak lupa juga dia mengganti sepatunya dengan sepatu boot hitam, rambutnya dia buat terikat satu cukup tinggi, layaknya ikatan kuda.
Selesai mengganti pakaiannya, Allena mengambil senjata api yang dari dalam brankasnya. Setelah itu, dia keluar dari ruangannya dan Guntur menghampirinya.
"Anda sudah siap, Nona?" tanya Guntur.
"Ya, di mana pengacara?" tanya Allena.
"Pengacara di lobi, dia akan pergi bersama kita," ucap Guntur.
"Baiklah, bagaimana dengan berkas kontraknya?" tanya Allena.
"Sudah selesai, Anda tak perlu khawatir. Saya membawanya," ucap Guntur.
Allena pun hanya mengangguk. Dia tak mengatakan apapun dan bergegas menuju mobil bersama Guntur.
Masih ada waktu hingga jam makan malam, waktu bertemunya dengan Albert. Tetapi perjalanan Jakarta menuju Puncak Bogor pun memakan waktu, terlebih tak tahu bagaimana keadaan di jalan, entah padat atau tidak ketika keluar dari tol nantinya. Sudah tak aneh, jalanan ke arah sana selalu saja padat. Karena itu, Allena mencoba mempertimbangkan waktu. Dia juga tak suka bertindak tak disiplin, karena itu dia akan mencoba datang tepat waktu.
***
Di perjalanan.
Sebelum memasuki tol, Allena meminta supir kantor yang mengantarnya untuk mampir sebentar ke sebuah restoran di tepi jalan.
"Apa Anda ingin membeli sesuatu? Anda lapar, Nona?" tanya Guntur.
"Tidak," ucap Allena.
Guntur pun terdiam bingung. Entah apa yang akan Allena lakukan di restoran itu. Dia merasa penasaran, tetapi dia pun tak berani bertanya lebih jauh. Apa daya dia hanyalah seorang pekerja.
Tepat setelah mobil berhenti di area parkir restoran, Allena mengirimkan pesan lokasi pada Nio. Setelah itu, dia meminta sang supir untuk melanjutkan perjalanan menuju vila.
***
Di sisi lain, tepatnya di perusahaan Nio.
Nio tengah duduk di kursi kerjanya. Dia terdiam larut dalam pikirannya setelah membaca pesan lokasi dari Allena. Dia meletakan ponselnya di dagunya.
'Kenapa kamu membohongiku lagi, Allena? Ini kedua kalinya kamu mengelabuiku dengan lokasi yang tak sesuai,' gumam Nio merasa bingung.
Entah apa maksud Allena, hingga mengelabui Nio. Apa sebenarnya yang akan Allena lakukan? Kenapa Allena harus berbohong. Allena tak tahu bahwa diam-diam Nio selalu memeriksa GPS ponsel Allena. Ini adalah kedua kalinya Allena membohongi Nio tentang lokasi yang Allena datangi. Allena memang mengirimkan lokasi itu pada Nio, tapi Nio tahu tujuan Allena bukanlah lokasi yang dikirimkan pada Nio.
Meski begitu, Nio tak pernah mempertanyakan perbuatan Allena, dia hanya diam seakan tak tahu apapun. Seakan tak mengerti apapun tentang keganjalan yang terjadi pada Allena. Terlebih, setelah menikah satu tahun dengan Allena, Nio baru tahu bahwa Allena ternyata memiliki hobi berburu dan itu baru Allena tunjukan ketika Allena mengambil alih perusahaan papinya.
Banyak hal tentang Allena yang diam-diam Nio perhatikan. Bagaimana bisa dia mengabaikan semua hal tentang istrinya itu? Allena adalah dunianya. Apapun yang dilakukan Allena selalu menyita perhatian Nio. Dan diamnya Nio, bukan berarti Nio tak peduli, dia justru menunggu saat yang tepat untuk menanyakan langsung pada Allena tentang semua hal yang menganggu pikirannya selama ini.
Lamunan Nio tentang Allena menjadi buyar ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Nio menjawab panggilan itu yang tak lain dari sang mami.
Ya, Clara lah yang menghubungi Nio.
'Ya, Mam?' ucap Nio.
'Halo, apa kabar, Nio? Kenapa sudah lama tak mengabari Mami?' tanya Clara.
'Maaf, aku sedang sibuk di kantor akhir-akhir ini,' ucap Nio.
'Mami pikir, kamu melupakan Mami,' ucap Clara.
'Mana mungkin, Mam. Aku benar-benar sibuk, maaf jika aku jarang mengabari Mami,' ucap Nio.
'Baiklah, kalau begitu datanglah ke rumah jika sudah tak sibuk, mungkin kita bisa makan malam bersama,' ucap Clara.
'Kenapa tidak? Aku akan datang hari ini juga,' ucap Nio.
'Benarkah? Apakah akan bersama Allena?' tanya Clara.
'Tidak, dia sedang ada pekerjaan di luar. Dia akan pulang terlambat,' ucap Nio.
'Baiklah, Mami tunggu di rumah, ya,' ucap Clara dan telepon pun berakhir.
Nio bergegas keluar dari ruangannya. Memikirkan tentang Allena membuatnya tak bisa lagi melanjutkan pekerjaannya. Karena itu, dia memilih pergi ke kediaman orangtuanya.
***
Jam makan malam di kediaman orangtua Nio.
"Jadi, apa kalian sedang sama-sama sibuk?" tanya Clara di tengah kegiatan makan malam bersama Nio dan Bram.
Nio dan Bram melihat Clara. Keduanya sama-sama merasa bingung.
"Maksud Mami, kamu dan Allena," ucap Clara seraya menatap Nio.
"Ya, begitulah," ucap Nio.
"Jadi, karena itulah kalian juga belum terpikirkan untuk memiliki anak?" tanya Clara.
Nio terdiam.
"Atau jangan-jangan, diam-diam kalian sedang melakukan program kehamilan?" tanya Clara seraya tersenyum. Tatapannya menunjukan rasa penasaran yang begitu besar.
Nio tersenyum kecil, dia pun menenggak air minumnya.
"Ya, kami sedang menjalani program kehamilan," ucap Nio.
"Astaga, sungguh?" tanya Clara penuh antusias.
Nio mengangguk seraya tersenyum.
"Baguslah, Mami senang mendengarnya. Semoga kalian berhasil, ya. Sudah dua tahun sejak kalian menikah, kalian memang sudah saatnya menjadi orangtua," ucap Clara.
Nio pun hanya diam. Dia memilih bangkit dari duduknya.
"Aku akan ke toilet dulu," ucap Nio dan bergegas meninggalkan meja makan.
'Sorry, Mam. Itu takan pernah berhasil, Allena takan pernah mengandung selama dia masih menggunakan alat kontrasepsi,' batin Nio di tengah langkahnya menuju toilet.