'Aku sibuk, kamu bisa makan sendiri!'
Allena mengepalkan tangannya. Dia kecewa karena orang yang sudah sejak setengah jam yang lalu dia tunggu-tunggu nyatanya mengatakan bahwa dirinya sibuk. Apakah itu artinya Allena harus melewatkan makan siang itu dengan kekecewaan?
Ya, pesan itu dikirimkan oleh Nio. Entah apa yang terjadi pada Nio, bukankah sesibuk apapun tetapi Nio tak pernah mengabaikannya? Jikapun Nio tak bisa datang ke makan siang itu lantaran sibuk, seharusnya Nio mengatakannya sejak awal, karena Nio pasti tahu bahwa hari ini dirinya sibuk, tetapi Nio justru mengabaikan pesan Allena dan tak mencoba menghubungi Allena.
Apakah Nio sengaja melakukannya? Tapi, apa masalahnya? Nio tak pernah seperti ini, dan Allena merasa semakin gelisah memikirkan tentang perubahan Nio yang sudah terjadi sejak semalam.
Allena bangkit dari kursinya, dia meletakkan dua lembar uang dengan nominal Seratus Ribu Rupiah dia atas meja, kemudian meninggalkan meja tersebut. Dia menghentak kakinya ke lantai membuat suara hentakan itu cukup terdengar jelas dan membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. Namun, Allena tak peduli pada orang-orang itu, dia memilih keluar dari restoran tanpa makan siang terlebih dahulu. Dia menjadi tak berselera makan siang setelah mendapatkan pesan dari Nio.
Allena memasuki mobilnya, dan mulai melajukan mobilnya. Dia terpikir ingin menghampiri Nio ke kantornya dan ingin melihat, sesibuk apa suaminya itu? Namun, sebuah dering panggilan masuk mengalihkan perhatian Allena. Allena melihat ponselnya seraya masih mengemudikan mobilnya. Panggilan itu dari Guntur, Allena segera menjawab panggilan dari Guntur dengan meletakan ponselnya di atas dashboard setelah sebelumnya dia menekan loud speaker panggilan tersebut.
'Ya, ada apa?' tanya Allena.
'Kita sudah menemukan pihak ketiga yang akan membantu kita mengumpulkan semua pesanan Tuan Albert, Nona. Kapan Anda akan menemui pihak mereka?' tanya Guntur.
Allena melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Dia menghela napas, sepertinya dia harus mengurungkan niatnya untuk menghampiri Nio.
'Siang ini, setelah jam makan siang. Atur waktu untuk menemui pihak mereka di tempat biasa kita melakukan pertemuan dengan para klien,' ucap Allena.
'Apakah Anda yakin, Nona? Apakah makan siang Anda bersama Tuan Nio akan berakhir secepat itu?' tanya Guntur.
Allena mengepalkan tangannya. Ya, sebelumnya dia mengatakan akan makan siang dengan Nio, karena itu dia meminta Guntur untuk tak mengikutinya. Namun, makan siang itu telah batal, Allena pun ingin melampiaskan kekecewaannya pada pekerjaan. Dia memilih menemui pihak yang Guntur katakan.
'Lakukan saja seperti apa yang Saya katakan!' tegas Allena dan meraih ponselnya di atas dashboard. Dia mengakhiri panggilan itu dan melempar ponselnya ke kursi di sampingnya. Dia melajukan mobilnya menuju tempat pertemuan.
Sementara itu di sisi lain, tepatnya di perusahaan Sasongko Group.
Nio tengah duduk di ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada sandaran kursi kerjanya, satu tangannya berada di atas mejanya dan jari telunjuknya mengetuk meja kerjanya berulang kali. Pandangannya tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Entah apa yang dia lihat, pandangannya bahkan terlihat kosong ke arah layar ponselnya di mana di sana terdapat wallpaper yang tak lain adalah foto pernikahannya dengan Allena.
Tak lama sebuah ketukan di pintu ruangannya membuyarkan lamunannya.
"Masuk!" ucap Nio seraya memasukan ponselnya ke saku jasnya. Nio menatap ke arah pintu, di mana di sana terlihat Wilona, sang sekretaris, memasuki ruangannya seraya membawa sebuah berkas di tangannya.
"Tuan, apa Anda tak ingin makan siang? Anda tak keluar dari ruangan ini sejak tadi, bahkan waktu makan siang akan segera berakhir," ucap Wilona ketika mendekati meja kerja Nio.
"Saya akan makan ketika Saya lapar, kamu tak perlu mengurusi Saya," ucap Nio.
Wilona menghela napas. Sepertinya, atasannya itu sedang dalam keadaan tak baik-baik saja.
"Em, baiklah. Ini berkas perincian dari hasil meeting kemarin dengan para pemegang saham perusahaan Sasongko," ucap Wilona, kemudian menyodorkan berkas di tangannya ke hadapan Nio. Nio lantas mengambil berkas itu tetapi dia meletakan berkas itu begitu saja di mejanya.
"Saya akan memeriksanya nanti, jangan ada yang mengganggu Saya, dan tolak semua orang yang ingin bertemu dengan Saya," ucap Nio.
"Baik, apa ada yang Anda inginkan lagi?" tanya Allena.
"Tidak, kamu bisa keluar," ucap Nio tanpa menatap Wilona. Dia tak menunggu Wilona keluar dari ruangannya, dan justru meninggalkan Wilona menuju kamar mandi.
Wilona lagi-lagi menghela napas. Dia keluar dari ruangan Nio dan pergi menuju pantry. Dia membuatkan sesuatu untuk Nio di sana.
Ya, segelas minuman dingin yang mungkin akan membuat perasaan Nio lebih baik. Entah mengapa, dia merasa atasannya sedang dalam perasaan yang buruk dan sebagai sekretaris, tak ada salahnya 'kan jika dia berinisiatif untuk menghibur atasannya?
Selesai membuat segelas minuman, Wilona membawanya ke ruangan Nio. Dia meletakan minuman itu di atas meja kerja Nio. Nio yang sebelumnya sudah kembali ke ruangannya, hanya diam melihat Wilona, tetapi di sisi lain juga merasa bingung dengan apa yang Wilona lakukan. Nio menatap Wilona dengan tatapan penuh tanya. Apa sebenarnya yang Wilona lakukan? Bahkan dia tak meminta dibuatkan minuman oleh Wilona.
"Saya biasa meminum minuman ini ketika Saya sedang dalam keadaan tak baik-baik saja, misalnya ketika Saya sedang dalam perasaan yang buruk, ini selalu berhasil membuat Saya jauh lebih baik. Anda mungkin ingin mencobanya, Tuan," ucap Wilona seraya tersenyum.
"Apa kamu tahu, kesalahan apa yang kamu lakukan hari ini?" tanya Nio sontak Wilona mengerutkan dahinya seraya menggelengkan kepalanya.
Nio menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, dia menunjukan ke arah gelas minuman dingin di atas meja kerjanya.
"Pertama, Saya tak meminta dibuatkan minuman itu!" ucap Nio.
Wilona menelan air liurnya, dia akan mengatakan sesuatu tetapi Nio segera bangkit dari duduknya.
"Kedua, alas yang kamu pakai di gelas ini, takan mencegah air yang diluar gelas untuk tidak membasahi meja Saya, kamu tahu apa akibatnya? Meja Saya akan terlihat kotor, dan otomatis membuat Saya kehilangan kenyamanan ketika melihatnya! Kamu seharusnya tahu, Saya takan bisa bekerja ketika meja kerja Saya terlihat berantakan, terlebih lagi kotor!" ucap Nio datar, tetapi jelas sekali tatapannya memperlihatkan ketidak-sukaannya atas apa yang Wilona lakukan.
"Bawa keluar! Dan jangan masuk ke ruangan ini jika Saya tak memanggilmu untuk datang ke ruangan ini!" ucap Nio dan kembali duduk di kursinya.
"Maaf, Tuan. Saya pikir, Anda sedang tidak ba--"
Wilona lagi-lagi menahan bibirnya untuk bicara ketika Nio menatapnya tajam.
"Dan satu lagi, Saya bukan dirimu! Jadi, jangan samakan Saya dengan dirimu! Kamu bisa keluar sekarang, kembalilah ke ruanganmu, dan renungkan kesalahanmu!" ucap Nio, terdengar kali ini nada bicaranya terdapat penekanan, membuat Wilona bergegas membawa minuman itu dan keluar dari ruangan Nio.
Nio menghela napas. Dia mengambil tissue dan membersihkan mejanya yang sebetulnya tak tersisa air dari gelas yang Wilona letakan tadi. Entah apa masalahnya, Nio tahu gelas itu takan meninggalkan jejak air karena terdapat alas di gelas itu yang dapat menghalangi kontak langsung antara gelas dan meja kerjanya. Namun, apa yang Wilona lakukan, membuat Nio merasa tak nyaman, apakah Nio terlihat menyedihkan sehingga Wilona bahkan berpikir dirinya terlihat tak baik-baik saja?
Ayolah, Nio bukan pria selemah itu sehingga perlu dikasihani. Wilona sudah menyinggungnya.
***
Waktu berlalu, jam sudah menunjukan pukul 3 sore.
Di ruangannya, Nio tengah memeriksa berkas yang Wilona berikan siang tadi, Nio mendapatkan sebuah panggilan. Dia melihat layar ponselnya dan terlihat sebuah kontak baru yang menghubunginya.
Nio menyentuh layar jawab dan mendekatkan ponselnya ke telinganya.
'Halo,' ucap Nio.
'Halo, selamat sore. Apakah ini dengan Tuan Antonio Sasongko, suami dari Nona Allena Sasongko?' tanya seorang pria.
'Ya, benar. Siapa ini?' tanya Nio bingung.
'Kami dari Kantor Polisi, Istri Anda ada di Kantor Polisi. Istri Anda kedapatan melaku--'
Nio bangkit dari kursinya di tengah rasa syok-nya atas apa yang dia dengar. Meski orang yang mengaku dari Kepolisian itu belum menjelaskan apapun, tetapi Nio merasa kahwatir pada Allena.
'Katakan di Kantor Polisi mana Istri Saya berada? Saya akan ke sana!' ucap Nio dan justru segera mengakhiri panggilan itu, bahkan di saat Polisi itu belum mengatakan di Kantor Polisi mana Allena berada.