Chapter 10 - Mickey

Aku segera menutup teleponku. Apa yang Erick katakan membuatku semakin bingung, 'Jika bukan tuan Stone yang membawa Mickey kesini, lalu bagaimana kucing ini bisa sampai di tempat ini?,' bantinku.

Mickey melompat dari gendonganku dan berlari di antara kerumunan pengunjung pasar. Takut jika kehilangan, aku segera mengejar.

Si gembul lari dengan cepat. Perutnya yang bulat, tampaknya tidak membuatnya kesulitan berlari. Aku beberapa kali tersengal dan berhenti untuk mengambil nafas, hingga saat sampai di depan sebuah gereja, kucing itu berhenti sambil mencakar-cakar pintu.

Aku segera menggendongnya untuk membawanya pergi. Saat berbalik, aku kembali mendengarnya, suara ketukan kayu yang terdengar lebih halus. Begitu dekat, hingga berikutnya aku mendengar derit pintu gereja yang dibuka perlahan.

Marionette itu berdiri dengan ekspresi dingin dan senyum misteriusnya dari balik pintu. Seketika itu tubuhku beku. Aku tahu Mickey melompat dari gendonganku dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kakiku lemas, meski aku ingin segera berlari.

"Akhirnya, ketemu juga," Mickey berbicara layaknya manusia, suaranya anggun dan begitu lembut. Dia menjilati bulu-bulunya yang berantakan karena melompat dari gendonganku, "Aku sangat senang, akhirnya kalian bisa bertemu," suara kucing itu terdengar begitu bahagia, "Tidak sia-sia, anak itu menunggu sangat lama. Kepercayaannya terhadapmu, kini terbayar,".

"Tha," Marionette itu juga dapat berbicara. Dia berjalan dengan kaku mendekatiku, sedangkan aku hanya bisa membeku di tempat, "Aku sangat senang bisa melihatmu," dia mengusap rambutku begitu hati-hati dengan gerakan yang canggung, "Kamu masih sama, hanya sedikit bertambah tinggi," suaranya begitu familiar untukku. Otakku memproses, mengingat suara siapakah ini, "Aku senang kamu mau berkunjung ke Tohron," kini, dia terdengar seperti sedang menangis, tapi wajah boneka itu masih saja datar dengan senyuman yang misterius,

"Aku melihatmu mengunjungi makamku setiap hari, aku juga membawakanmu sarapan setiap pagi. Aku benci suara kaki ku membuatmu takut, jadi Mickey memintaku belajar menggunakan sepatu. Aku sangat ingin mendekatimu agar kita bisa seperti dulu, tapi kamu takut denganku. Tha, hal yang paling menyakitkan adalah saat kamu dibenci dan orang yang kamu sukai takut denganmu,".

Aku tidak tahu harus bagaimana, haruskah percaya? Atau, mungkin ini adalah sihir yang lainnya. Aku hanya bisa menatap tiap gerak gerik boneka itu yang kaku, menggendong Mickey dan berdiri di depanku. Secara fisik, aku tahu dia bukan Zie, sama sekali bukan.

Zie tidak memiliki tubuh kayu seperti dia, rambut jelaga, kulit yang pucat dan sepasang bola kaca safir sebagai matanya. Tapi, ada hal lain yang membuatku ingin percaya bahwa dia benar-benar sahabatku yang telah tiada. Suaranya dan perlakuannya padaku, cara bicaranya, semua itu milik Zie. Tanpa kusadari, saat itu, mataku sudah berair.

"Zie," ucapku parau. Aku tidak dapat mendeskripsikan seperti apa perasaanku. Mungkin, seperti kamu yang memiliki barang yang sangat berharga, kemudian dia hilang dan seharusnya tidak bisa kembali. Hingga suatu hari, kamu menemukannya lagi, ada di depanmu.

Tubuhnya sangat dingin dan keras layaknya kayu. Aku meraba wajahnya dan memperhatikan ruas-ruas jarinya dengan mata yang sembab, "Aku bingung," ucapku sambil menangis, "Apa ini Zie? Atau, aku hanya berhalusinasi?," aku mengusap wajahku yang basah oleh air mata. Hatiku mengatakan padaku untuk percaya bahwa dia benar-benar Zie, tapi logikaku mengingatkan ku bahwa ini adalah sihir dan tidak seharusnya aku seperti ini.

Aku memperhatikan jari-jarinya, sambil memainkannya. Aku tersenyum karena senang, meski disaat yang sama aku juga tidak bisa berhenti menangis, "Zie, ini benar Zie, bukan?," tanyaku, masih berusaha memastikan, "Apa aku mimpi? Apa ini ilusi?," aku masih berucap tak percaya.

Zie tidak menjawab. Dia melihatku dengan ekspresinya yang datar, tapi dalam tubuh boneka itu, aku mendengar samar suaranya yang sedang tertawa.

"Ini aku, Tha. Aku, Zie. Percayalah. Ini memang sihir, tapi aku benar-benar Zie," dia berusaha membuatku mempercayainya. Aku menarik tangannya, bermain dengan jari-jarinya, mengagumi ukiran yang dibuat tuan Stone dengan begitu halus, hingga nyaris tidak dapat kulihat sambungan sendi antara ruas jari itu.

"Ini benar, Zie?," jujur, aku masih belum mempercayainya. Suaraku parau, tapi aku masih saja terus menanyakan apakah ini benar-benar Zie.

Aku dan Zie bersekolah di sekolah yang sama. Dulu, aku adalah gadis yang sangat nakal, brutal dan urakan. Jangan tanyakan pelanggaran apa saja yang pernah aku lakukan, mulai dari bolos sebulan, absen jam pelajaran hingga berkelahi, semua seperti biasa untukku.

Zie sering dikatakan sebagai 'penjinak', iya, karena hanya dia yang bisa menjinakkanku.

Suatu hari, Zie berpacaran dengan seorang gadis yang sangat cantik dari sekolah lain, aku begitu senang saat itu.

Aku senang melihat dia yang selalu tersenyum saat menceritakan gadis itu dan juga waktu mereka bersama. Hingga suatu hari, aku tahu gadis itu juga berkencan dengan orang lain. Aku menghajarnya habis-habisan, bahkan membuat cacat wajahnya. Zie tidak marah padaku, karena sebenarnya dia pun juga sudah tahu kebenerannya.

Ada kata-kata yang selalu aku ingat darinya, saat itu, "Aku kagum padamu, Tha, karena selalu bisa mengekspresikan apapun yang ada dalam dirimu. Bisa mendengarkan apa kata hatimu dan berani untuk mengerjakannya," itu adalah pujian paling manis yang pernah aku terima. Sejak saat itu, hubungan kami lebih dari penjinak dan monster kecil yang dijinakkannya.

Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, melihat kembang api di festival kemerdekaan, mengunjungi museum, bahkan menjadi partner di game yang kami mainkan. Aku menyukainya bukan dengan alasan yang muluk, hanya satu hal, dia begitu sabar denganku.

Aku menyibak helaian rambut di dahi marionette atau harus aku panggil Zie—mulai saat ini, memastikan bahwa tidak ada lubang peluru disana. Bayangan itu masih jelas di kepalaku, saat aku melihat ada cairan merah keluar dari lubang di dahinya, lalu dia terjatuh di depanku.

"Ini benar Zie, bukan?," tanyaku lagi. Aku terus memastikan, bahwa ini benar-benar pemuda itu, "Aku melihat darah waktu itu keluar dari sini, ada lubang peluru di dahimu".

"Aku Zie, Tha. Percayalah," dia menjawab mantap.

Aku berusaha untuk tidak menangis, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini benar-benar dia. Zie mengusap pipiku seperti anak kecil. Wajah ku sembab dan mataku terasa berat, mungkin bengkak karena terlalu lama mengeluarkan air mata.

Mickey meminta kami mengikutinya. Aku dan Zie berjalan pelan di belakangnya. Ternyata, kucing abu-abu itu membawa kami ke sebuah kedai makan kecil yang ada di pinggir pasar, tempat itu sedikit sepi.

Aku yang mengerti maksud hewan berbulu itu, masuk kedalam kedai dan memesan makanan. Sembari menunggu pesanan kami siap, kami bermain catur yang disediakan tempat makan ini.

Ini seperti kenangan yang sudah sangat lama. Sekarang aku tahu kenapa doraemon itu bisa gendut, namun kucing ini tidak memiliki kantong ajaib dan berwarna biru, tetapi sama-sama berbadan gembul karena suka makan dan memiliki otak yang cerdas.

Kami bermain catur hingga sore. Beberapa kali kami memesan cemilan untuk menemani bermain, berharap seolah waktu berhenti. Saat itu, aku baru mengingat satu hal, rencana Kerberos. Aku menghentikan langkah buah catur ku, menatap hewan berbulu abu-abu di depanku serius, "Mickey, apakah yang kamu lakukan pada Zie adalah sebuah sihir?,".

Kesenangan itu seketika berubah, Mickey terdiam.

"Ini sihir hitam," bukan Mickey yang menjawab, melainkan Zie, "Aku sudah meninggal, Tha. Memang tidak seharusnya aku ada disini," suaranya terdengar sedih.

"Kerberos ada disini," aku berusaha memberi tahu mereka, "Aku benar-benar tidak tahu bahwa marionette ini adalah Zie, dia mencari roh yang belum kembali. Saat ini, dia ada di rumah ayah. Aku minta maaf, tapi kemarin malam kami sudah mempersiapkan jebakan untuk menangkap Zie, agar Kerberos bisa membawanya. Malam ini, kami berencana akan menangkapmu, Zie,", ucapku sambil menatapnya. Sesal memenuhi tubuhku, "Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Aku sangat takut, awalnya aku berfikir Antonie yang mengirimmu untuk membunuhku. Kamu tentu tahu, sudah berapa kali dia berusaha untuk membunuh ku!," jelas ku panjang lebar.

Aku memberitahukan rencana kami untuk menangkap Zie, aku masih bingung harus memihak pada siapa. Logikaku mengatakan bahwa Kerberos lah yang benar. Yang sudah mati tidak boleh ada di sini, tapi egoku ingin terus bersama dengannya. Meskipun sihir itu tidak abadi, aku ingin memiliki kesempatan kedua disisa waktu sihir itu masih dapat bekerja.