Chereads / Tsabitha Penyihir Berdarah Campuran / Chapter 11 - Jubah Hitam

Chapter 11 - Jubah Hitam

Mickey mendengarkan dengan seksama mengenai rencana Kerberos untuk menangkap Zie dan juga tentang zona nol yang aku sampaikan. Nampaknya, hewan berbulu abu-abu itu tidak terlalu terkejut akan hal tersebut. Dia sudah mengetahui keberadaan zona nol yang ada di kota ini dan kemungkinan anjing putih itu yang akan mengejar roh di dalam tubuh marionette itu.

Zie yang justru terlihat kebingungan, dia terus bertanya bagaimana jika nanti Kerberos berhasil menangkapnya.

"Aku sebenarnya sudah bertemu dengannya," ucap Mickey begitu tenang, "Tenanglah, dia tidak akan bisa membawamu ke dunia roh. Zona nol itu juga tidak akan membantunya banyak. Zie, kamu hanya perlu menjauhi tempat itu, bagaimanapun caranya," kucing itu menjelaskan kepada Zie bahwa mantra yang dia terima selama ini cukup kuat, dan juga mengenai Kerberos yang tidak bisa membawa roh yang masih memiliki jasad, "Selama kamu memiliki tubuh boneka ini dan tidak berada pada zona nol, Kerberos tidak akan bisa membawamu ke dunia roh,".

"Mickey, sebenarnya apa fungsi kotak kayu dan tanah itu?," aku teringat dua benda yang disiapkan untuk menangkap Zie.

"Zona nol, hem," Mickey berputar-putar dan terlihat bingung, "Sebenarnya, penamaan tempat itu kurang tepat," ucapnya sambil berusaha duduk karena perut tambunnya yang mungkin mengganggu, "Saat kamu menyebutnya dengan nama 'zona' artinya wilayah itulah yang memiliki kekuatan magis untuk menetralkan sihir. Sebenarnya, tidak demikian. Bukan area itu yang bisa membuat sihir tidak bekerja, melainkan tanah yang ada di tempat itu. Kebenaran ini jarang diketahui. Saat Zie menyentuh tanah di zona nol yang mampu menetralkan sihir, sihir ku akan lumpuh, sehingga Zie tidak akan bisa menggunakan tubuh yang kugunakan untuk menyegelnya. Dia akan kembali seperti semula jika tanah itu dijauhkan darinya," penjelasan hewan berbulu abu-abu itu, menurutku cukup masuk akal.

Mungkin itulah alasan Kerberos mengendus seperti mencari sesuatu di saat kami pertama datang ke tempat itu dan ayah yang hanya menggali di satu tempat malam itu, yaitu bagian tanah yang sudah anjing putih itu gali siang sebelumnya.

Sekarang, aku berpikir bahwa kemungkinan tidak semua zona nol mampu menetralkan sihir, ada wilayah yang tidak bisa melakukan itu karena tanah yang ada disana adalah tanah biasa.

Aku sampai di rumah sudah sangat larut. Saat aku melihat ponselku, jam menunjukkan pukul 11 malam. Dari kejauhan, aku mendengar suara beberapa orang di rumah ayah.

Benar saja, ada sekitar 20 orang sedang berada di halam rumah. Pakaian mereka terlihat cukup aneh untukku. Sebagian memakai tudung berwarna hitam yang dilengkapi jubah besar dengan warna yang sama. Beberapa membawa pedang di salah satu tangannya dan sebuah perisai dari besi di tangan yang lain.

Jujur, aku sedikit merasa risih. Ini seperti aku kembali pada zaman batu atau antah berantah, dimana teknologi belum ditemukan, 'Hello! Apakah mereka tidak mengenal pistol atau sejenisnya? Aku yakin itu lebih efektif', pikirku.

Sesuatu menarik bajuku dan aku segera berbalik. Kerberos menggigit ujung baju yang aku kenakan, memberi isyarat agar aku segera menjauh dari rumah.

"Siapa mereka?," aku bertanya pelan, takut jika mereka mendengar suaraku. Kerberos tidak menjawab, dia hanya memintaku untuk mengikutinya.

Kami berlari menuju arah hutan, tanpa penerangan. Anjing putih itu lari begitu cepat, hingga aku kesulitan mengikutinya. Setelah dirasa cukup jauh, Kerberos memintaku untuk berhenti.

"Siapa mereka? Manusia goa kah?," niatku menggoda untuk bercanda karena penampilan mereka yang begitu aneh untuk zaman yang sudah berubah.

"Nona, em' mereka," Kerberos terlihat bingung, "Bisa dikatakan mereka adalah atasan dari ayahmu," dia terlihat berfikir keras untuk melanjutkan penjelasannya, mungkin ada hal yang akan tidak kupahami, "Tapi bukan dari fraksi yang baik, ada kemungkinan mereka akan menyulitkanku atau kita semua untuk memulangkan roh itu,".

Aku mengerutkan dahi, "Apa yang mereka inginkan?," tanyaku penasaran.

"Ada banyak kemungkinan yang aku pikirkan, tapi kemungkinan terbesar adalah tentang roh itu dan bagaimana caranya dia bisa ada disini," Kerberos terlihat ragu, tapi mendengar penjelasan darinya aku mengetahui bahwa intinya mereka tidak akan membantu kita dan justru sebaliknya, "Nona, jika mereka mengetahui cara bagaimana roh itu bisa lolos dari pengawasanku, tentunya mereka ingin mempelajarinya. Dan jika mereka sudah mengetahuinya, pasti mereka akan tahu caranya menjadi abadi. Saat roh mereka terpisah dari tubuhnya dan mereka mendapatkan cara tersebut, ada kemungkinan mereka akan memindahkan roh mereka pada tubuh yang lain atau dalam marionette seperti yang sekarang sedang kita hadapi," dia terlihat begitu khawatir, "Jika itu benar-benar terjadi, keseimbangan tidak akan tercipta karena tidak akan ada kematian,".

Mendengar penjelasan Kerberos, aku bukan merasa senang, justru sebaliknya. Menurutku, kematian bukan hanya harus ditakuti dan ditangisi, adakalanya kamu harus bersyukur karena kematian itu ada. Kamu bisa bayangkan jika kehidupan ini abadi, maukah kamu jika seseorang yang telah melakukan pembunuhan sangat banyak atau kejahatan lainnya, terus berada di dunia?. Terkadang, kematian terhadap mereka adalah hal yang baik untuk kita.

"Kerberos, maukah kamu berjanji padaku?," pintaku sopan. Kerberos duduk di depanku dan mengangguk, memberi isyarat mengiyakan, "Kamu mau berjanji? Sungguh?," belum sempat aku mengatakan maksudku, anjing putih itu tiba-tiba berdiri dan terlihat waspada.

"Nona, kita harus pergi sekarang," Kerberos segera bangun dan kembali berlari. Aku mengikutinya dari belakang. Samar aku mendengar suara ranting pepohonan yang patah, namun aku tidak mendengar suara langkah kaki seseorang.

Aku tidak mengingat apa yang terjadi, hanya saja sekarang kami terkepung. Kerberos menyalak liar pada mereka. Aku belum pernah melihat makhluk seperti mereka seumur hidupku. Tubuh mereka dibungkus jubah hitam yang begitu kelam. Masing-masing dari mereka membawa pedang dan perisai, atau tombak yang diarahkan kepada kami. Wajah mereka nyaris tak terlihat, hanya sepasang mata merah darah yang tampak seolah terbakar.

Aku tak memiliki keberanian, sepertinya itu sudah dicabut dari tubuhku. Aku hanya berdiri mematung, sementara Kerberos terus menggeram dan menyalak dengan begitu buas.

Sebuah celah kecil di antara mereka, kulihat. Dengan mengumpulkan seluruh sisa tenaga dan keberanian, aku segera menarik kerberos keluar dari lingkaran. Lalu, kami berlari seperti orang gila.

Luka goresan ranting di tubuh, tak bisa lagi kurasakan. Beberapa kali kakiku tersandung akar dan anehnya aku tak dapat merasakan sakitnya juga, semuanya sudah tertelah rasa ketakutan. Aku yang buta arah, hanya mengandalkan insting ku saat aku tertinggal cukup jauh dari Kerberos. Ada satu tempat yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

"Kerberos, ke stasiun," pekikku pada Kerberos yang sudah berada jauh di depanku.