Lapar tidak lagi dapat kami rasakan. Aku duduk, memeluk lutut ku di atas kursi sambil menatap lurus ke arah monitor komputer Emma. Disampingku, wajah wanita itu sudah berubah pucat pasi sejak beberapa saat yang lalu. Dengan jelas kami dapat melihat kondisi rumahku melalui komputer miliknya, dan hal yang sangat mengejutkan ada disana.
Sesuatu bergerak diantara gelapnya malam. Gerakannya begitu kaku dan sangat ganjil untuk seorang manusia. Emma sepertinya juga sudah menyadarinya bahwa itu bukan orang.
Pikiran kami memang tidak menolak jika itu bukan manusia, tapi logika kami masih tidak memahami bagaimana jika itu memang benda mati dan bisa bergerak sendiri layaknya hidup.
Kami seperti berada dalam mimpi buruk, meskipun kami sadar. Suatu makhluk yang hanya kami ketahui dalam cerita seram, sekarang dapat kami lihat di dunia nyata dan buruknya, mungkin dia tengah memburuku.
Emma menatapku bergantian dengan monitor yang menampilkan makhluk itu sedang berusaha mengusir anjing putih yang biasa datang ke rumah. Hewan itu terus menyalak ke arahnya, seolah itu adalah sesuatu yang sangat dia benci.
"Apa itu boneka?," lirih Emma seolah tak percaya.
Aku hanya terdiam dan menggeleng, menatapnya, lalu kembali memperhatikan monitor.
"Tha, itu benar-benar boneka, bukan?," ucapnya lagi, seolah tak mempercayai apa yang dia lihat, "Itu," Emma menghela nafas panjang, dia bangkit dari kursinya dan seolah nampak bingung.
Ku matikan komputer yang menyajikan kondisi rumahku, aku tak sanggup lagi melihatnya. Bukan hanya perasaan takut yang aku rasakan. Melihat gerak-gerik makhluk itu, membuatku merasa pusing dan mual. Ada bagian dalam diriku yang terus menolak bahwa tidak seharusnya benda mati bisa bergerak. Sekarang, ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.
Bayang-bayang boneka yang hidup dan berjalan dengan begitu mengerikan, seolah tertanam permanen di ingatanku. Emma pun sepertinya mengalami hal yang sama. Aku melihatnya yang berjalan mondar-mandir sambil terus menggerutu hal tak jelas.
"Em," panggilku, dan dia seolah tuli, "Em, aku rasa dia hanya memburuku," ucapku dengan suara lebih tinggi. Emma menatapku dengan wajah pucat, "Kamu jangan seperti itu. Itu membuatku takut, ".
Emma menatapku dengan tatapan marah, dia berjalan cepat ke arahku, "Tha, aku mencemaskanmu," pekiknya, "Kita sama-sama tidak tahu, makhluk apa itu. Apakah dia berbahaya dan apa tujuan dia datang," dia berteriak dengan histeris, "Kita berdua tidak tahu apa yang akan dilakukan makhluk itu nantinya," suaranya melemah di akhir kalimatnya.
…
Seperti minum kopi dengan kadar kafein tertinggi. Setelah melihat kejadian tadi, kami sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Emma bolak balik pergi ke kamar kecil, lalu akhirnya dia memilih menghabiskan malam dengan menonton film.
Sekarang, penyesalan justru memenuhi diriku. Aku melibatkan sahabatku dalam hal yang tidak seharusnya. Yang ada di kepalaku saat ini hanya lari, kemana saja, supaya benda atau makhluk apapun itu, tidak dapat lagi menemukanku. Namun sayang, aku tak dapat berpikir jernih dalam situasi ini. Seolah ide dalam otakku lenyap begitu saja, ketika aku dalam kondisi gugup dan terdesak.
Malam itu, aku bukan tidur, melainkan tertidur sekitar satu jam lamanya. Saat aku bangun, aku segera mencari Emma, namun nihil.
Ku tuliskan memo dan meletakkannya di pintu kulkas di ruang makan. Aku berniat mengemasi barang-barang dan pergi.
Satu nama di pagi itu, tiba-tiba muncul di kepalaku dan tujuanku adalah ke tempat orang itu. Perjalanannya membutuhkan waktu sekitar setengah hari, termasuk 2 jam perjalanan laut. Aku tidak ingin melibatkan siapapun lagi dalam hal ini. Aku merasa hal buruk akan terjadi, jika aku terus dekat dengan mereka. Menjauh untuk sementara adalah jalan satu-satunya.
Aku berangkat jam 10 pagi menggunakan kereta, ponsel sengaja kumatikan selama dalam perjalanan agar tidak ada siapapun yang bisa menghubungiku.
Perjalanan menggunakan kendaraan ini membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Berikutnya, aku harus naik bis selama 1 jam untuk sampai di stasiun kereta uap yang letaknya agak jauh di pedesaan. Dilanjutkan dengan naik ferry dan yang terakhir ialah menggunakan transportasi yang sama—kereta uap.
Selama dalam perjalanan, aku berusaha menghibur diriku dengan menikmati pemandangan. Aku berusaha melupakan kejadian yang aku lihat semalam.
…
Pukul 1 pagi, aku baru sampai, ini sedikit meleset dari jadwal yang aku perkirakan.
Saat turun dari kereta, seseorang sudah menyambutku dengan senyumnya yang menurutku menyebalkan, beliau adalah ayahku. Selama 27 tahun aku hidup, ini adalah kali kedua aku melihat ayah.
Ayah seperti orang asing untukku, kami tidak banyak bicara. Beliau memintaku mengikutinya tanpa bertanya, dan aku mengiyakan.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan. Sesekali aku bisa mendengar suara burung hantu dan binatang malam yang saling bersahutan.
Jalan yang kami lewati begitu gelap, aku beberapa kali tersandung akar pohon dan nyaris jatuh. Cahaya bulan tidak membantu, karena lebatnya hutan sama sekali tak tertembus.
Rimbun pepohonan dan lebatnya semak belukar menemani kebisuan diantara kami. Tidak ada bahan obrolan yang mampu kugunakan untuk memulai. Kami adalah ayah dan anak yang hidup seperti dua orang asing, ikatan hanyalah status biologis bagi kami—menurutku.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya kami sampai di sebuah rumah dengan halaman yang luas. Pagar kayu dibuat cukup rendah, mengitari taman dengan balutan clematis biru. Berbagai jenis sayuran ditanam di hampir di seluruh tempat dan hanya menyisakan lahan dengan lebar sekitar satu meter untuk menuju pintu rumah.
Kanopi mawar pagar perpaduan putih dan bara, dibuat merambat menutupi sebagian kecil halaman. Ayah membuka gerbang dan memintaku masuk. Rumah itu nampak sangat terawat dan asri.
Kami masuk melalui pintu samping yang rendah, aku bahkan harus membungkuk untuk bisa melewatinya.
Pintu kecil itu rupanya adalah akses menuju dapur. Ruangannya sedikit sempit dan berkesan penuh. Atapnya merupakan batu yang menyatu dengan bukit kecil yang ada di samping rumah, sementara dindingnya masih berupa tanah. Lantainya terbuat dari kayu yang dipernis mengkilap berwarna amber. Meja makan kecil dengan dua kursi diletakkan di tengah ruangan, dikelilingi dengan counter dapur yang disusun membentuk huruf 'U'.
Sebuah jendela kecil disamping pintu manampakkan pemandangan taman yang luas. Kelambu dari kain kaca crimson dengan rajutan labu dan sulur, nampak selaras dengan bingkainya yang dicat vermilion.
Perhatianku berikutnya beralih pada ayah yang nampak sibuk menyiapkan makanan, kulihat ayahku mengiris daging kering dan merebus beberapa sayuran. Perapian sederhana membuat ruangan kecil ini terasa hangat.
Aku berjalan menuju karpet bulu yang ada di depan perapian dan duduk untuk mengusir hawa dingin. Tak membutuhkan waktu lama, dua mangkuk sup daging dan sayuran tersaji di meja makan bersama dengan potongan roti kering dan madu.
"Ayah, sepertinya ada wizard nakal yang berulah,"