Dulunya, mereka berdua cukup sering menghabiskan waktu bersama di berbagai macam pesta liar dan panas yang selalu diadakan oleh anak-anak berduit. Tapi, keduanya tidak begitu sering berinteraksi.
Lingkungan dengan pola interaksi sosial biasa.
"Kita bukan teman dalam bentuk apa pun, mengerti?"
Arya Alexander Wu maju ke depan meja, menyandarkan kedua lengannya dan tersenyum lebar.
"Hmmm... selalu saja bilang seperti itu. Terus, disebut apa, dong? Di masa lalu, bukankah kita sering berbagi banyak wanita yang sama?"
Arkan menatapnya dingin. Diamnya begitu menakutkan hingga Arya merasa tidak enak hati dan gelisah.
"Jangan marah begitu, Tuan Arkan Quinn Ezra Yamazaki. Aku hanya sedikit menggodamu karena sudah lama tak melihatmu semenjak bertunangan secara tiba-tiba," sindirnya jahil, gigi-giginya yang putih dipelihatkan dengan gaya yang begitu tengil.
Gelas yang dipegang oleh Arkan digenggamnya kuat-kuat, urat-uratnya terlihat menonjol.
Dari jauh, dengan mata minus tanpa kacamata, Casilda melihat kedua pria itu tengah berbicara sesuatu yang serius.
Perempuan berkepang satu ini mengerutkan wajahnya, kesal dengan ucapan menghina pria itu.
Genit?
Genit dari mana?
Pasti dia salah dengar, kan? Untuk apa dirinya mendapat hinaan seperti itu?
Punggungnya merosot di sudut dinding, menunggu selama beberapa saat selagi dia menyelesaikan sandiwara ke toiletnya.
Setelah beberapa saat dirasa cukup untuk pura-pura ke toilet, Casilda pun berjalan kaku ke meja di mana kedua pria tampan itu berada.
"Dia tidak makan?" tanya Arya begitu keningnya sebelah naik melihat Casilda datang malu-malu.
Casilda: "Saya sudah makan sebelumnya. Masih kenyang."
Arkan: "Seleranya tidak cocok yang seperti ini. Maklum orang kampung."
Keduanya mengatakan kalimat itu secara bersamaan.
Hening.
Suasana canggung langsung menjatuhi ketiganya.
Arya melihat keduanya saling tatap seolah akan menembakkan laser ke mata masing-masing, lalu terkekeh gemas.
"Kalau begitu aku pamit dulu. Maaf mengganggumu. Sekedar sapa teman lama, kan, tidak apa-apa."
"Kita bukan teman. Berapa kali harus aku katakan?" tegas Arkan dengan wajah dingin mengerut kesal.
Lawan bicaranya hanya mengangguk mengiyakan dengan perasaan geli, bangkit dari kursi, dan menepuk sebelah pundak Casilda dengan begitu hangat dan akrab.
"Tidak masalah meski kamu ini adalah orang kampung," mata Arya melirik sejenak pada Arkan yang menatap tajam sentuhannya pada bahu sang wanita,"punya selera berbeda itu adalah hal yang biasa. Jangan dimasukkan ke dalam hati, ya, nona cantik."
Mata Arkan melotot kaget tidak terima melihat rona merah yang muncul di wajah Casilda, perempuan itu menatap Arya Sang Pemilik Hotel dengan tatapan terhipnotis penuh.
Sang top star kita itu mendecakkan lidah tanpa sadar.
"Ayo, pergi! Taksinya sudah menunggu dari tadi."
Aura angkuh dan dingin terpancar kuat ke arah kedua orang yang berdiri di dekat meja.
Arkan mengedikkan kepalanya melihat Casilda yang masih bengong di depan Arya.
"Mau sampai kapan aku menunggumu? Waktuku sangat berharga!"
Casilda tersadar dan tergagap hendak mengatakan sesuatu, dan hanya menundukkan kepala sopan kepada pria bervest abu-abu di depannya, dibalas berupa senyuman dan lambaian pelan.
"Hati-hati di jalan, nona cantik!" teriak Arya dengan nada suara yang menawan hati.
Sekali lagi Casilda menundukkan kepala memberi hormat dan terima kasih kepadanya, buru-buru berlari-lari kecil mengejar Arkan yang sudah berjalan cepat menuju pintu keluar hotel.
Tak lama setelah kepergian kedua orang itu, seorang pelayan menghampiri meja sebelumnya.
Wajahnya jelas terlihat kebingungan.
"Ada apa? Bukankah kamu dari restauran sebelah? Kenapa ke mari?" tanya Arya yang masih berdiri tak jauh dari sang pelayan, melihat seragam yang berbeda dengan pelayan restauran Italia di sana.
"Eng... Tuan Arkan tadi memesan ini, Manager Arya. Tapi, sepertinya beliau sudah pergi. Saya harus apa dengan makanan ini sekarang?"
Arya melirik ke atas nampan, terlihat nasi goreng, sepiring burger jumbo, dan segelas jus stawberry dingin di sana.
Itu jelas bukan makanan yang akan dilahap oleh Arkan yang wajib menjaga bentuk tubuhnya.
Sebagai tamu penting di hotel mereka, Arya harus bisa memahami selera dan tahu latar belakang para tamu VIP-nya. Nasi goreng spesial, burger jumbo, dan jus strawberry?
Jus strawberry???
Jelas itu pasti untuk perempuan yang bersamanya tadi.
"Sepertinya dia bakal kena karmanya juga jadi playboy sepertiku. Heh! Selamat berjuang! Dapat karma itu tidak enak. Sudah punya tunangan, tapi malah bersikap seperti itu kepada wanita lain? Dasar raja pembuat skandal."
Arya terkekeh sejenak menggelengkan kepalanya, mengingat diri sendiri yang sudah melalui hal yang begitu pahit akibat mempermainkan banyak wanita di masa lalu.
"Ma-manager?" tanya sang pelayan takut-takut, karena kini pria muda bervest abu-abu itu tertawa sendirian.
"Makan saja siapa yang mau makan. Jangan buang-buang makanan. Itu tidak baik."
"Ba-baik. Terima kasih, Manager Arya!"
Arya membalas anggukan sang pelayan dan berlalu pergi.
***
Begitu sampai di dalam mobil, Arkan membuka kasar tudung jaketnya dan menatap sinis Casilda.
"Kenapa melihatku seperti itu?"
Casilda memiringkan sedikit tubuhnya memunggungi Arkan seperti kucing yang menggigil kedinginan di sudut ruangan.
"Untuk apa reaksi genitmu tadi itu, hah? Ingin mencoba menggodanya? Apa kamu belum sadar diri juga?"
"Kamu kenapa, sih?"
Casilda berbalik keras menatapnya, tidak terima dengan tuduhan sang aktor. Ternyata benar dia tidak salah dengar! Sialan pria ini!
"Kenapa? Kamu merasa bangga setelah didekati pria seperti dia? Jangan kepedean. Dia itu playboy kakap. Semua wanita sama di matanya, hanya mainan. Apa kamu begitu murahan?"
"ARKAN!" bentak Casilda marah.
"Jangan membentakku!" geramnya dengan wajah menggelap.
"Kamu tidak masuk akal! Kalau dia playboy, memang kenapa? Apa aku tidak boleh dekat dengannya sebagai manusia? Kamu, kan, juga sama saja!"
"Jalan, Pak! Kita ke mall A," perintah Arkan dingin dan cuek, mengabaikan Casilda yang berapi-api di dekatnya.
"BAIK!" dengan riang gembira, Pak supir segera menjalankan taksi, tersenyum lebar berseri-seri.
"Sudah cukup!"
Casilda berbalik dan hendak membuka pintu, tapi pintunya sudah dikunci duluan.
Sang supir mengacungkan sekilas jempolnya, mengedipkan sebelah mata dengan jahil pada Arkan yang tersenyum angkuh dan sinis di kursi belakang. Sudut bibir pria tampan itu naik dengan sorot mata puas.
"PAK! Bapak jangan mau disuap, dong! Ini kejahatan, Pak!"
Pak supir mengabaikannya dan malah memutar radio, bersenandung dengan begitu ceria.
"Duduk yang manis. Kalau kamu seperti ini terus, maka tenagamu hanya akan terbuang percuma. Nanti malah tidak bisa melakukan tugasmu dengan baik."
"Kamu tahu, tidak, kali ini namanya pemaksaan? Perbudakanmu sungguh kejam!"
"Pak, tadi ada orang yang hampir mati tersedak sebiji bakso, lalu malah bersikap tidak tahu diri. Orang seperti itu, sebaiknya diberi hukuman oleh Tuhan seperti apa, ya, Pak?" teiak Arkan dengan nada dingin, sedingin ekspresinya yang cuek dengan wajah menghadap ke depan, duduk bersandar di kursi mobil dengan tangan bertopang dagu santai di tepi jendela.
Casilda membeku hebat.
Arkan melanjutkan sindiran tajamnya.
"Pak supir, saya memesan 500 ayam krispi dari sebuah kedai untuk anak-anak yatim piatu. Bukankah itu bagus? Saya sudah berbuat baik dengan menolong orang-orang, kan? Di kedai, mereka bisa terbantu dengan penjualannya. Di panti asuhan, saya memberi makan anak-anak itu. Apakah saya begitu berdosa sampai diperlakukan tidak adil oleh seseorang hari ini hanya karena ingin menolong orang lain?"
Suara 'jleb' tajam, seolah ada anak panah melayang cepat ke jantung Casilda, menohoknya hingga kehilangan kata-kata.
Tubuhnya mengkerut dan duduk terpojok di kursi di dekat jendela.
Diam untuk waktu yang lama.
Senyum licik Arkan tertarik di salah satu sudut bibirnya, mata dingin menipis memancarkan cahaya misterius di kedua bola matanya yang beku bagai es.
Pria berjaket biru tua itu tidak memberikan kesempatan bagi Casilda untuk bernapas lega.
Di mall, begitu selesai membeli topi dan masker, mereka pun berbelanja gila-gilaan.
Arkan membuat Casilda membawa semua tas belanjaannya tanpa membantunya sedikit pun, hanya berjalan santai dan angkuh dengan kedua tangan di dalam saku celana sembari menyamar.
Di belakangnya, perempuan berkepang satu itu mendorong troli penuh belanjaan, belum lagi yang ditenteng begitu saja dengan satu tangan.
Casilda ingin mengeluh, tapi Arkan selalu mendekat padanya, membuka maskernya lalu menatapnya dingin dan sinis sembari merapatkan bibirnya dengan satu telunjuk menempel di sana, mengatakan satu istilah yang membuat Casilda tak bisa berkutik: BAKSO.
Satu kata itu diucapkan dengan wajah penuh keangkuhan dan tatapan yang mengintimidasi. Sangat licik dan jahat!