Ketika kedua orang itu berhasil menyeberang ke sebelah dinding pagar, mereka berdiri tertegun kaget dengan wajah bodoh masing-masing.
Dua pasang mata itu menatap seorang anak kecil yang berdiri di depannya, sedang memeluk mobil-mobilan polisi, mulut belepotan cokelat dengan kunyahan pelan di mulutnya menikmati biskuit berlumur cokelat kental.
"Ha-halo, adik, kecil?"
Casilda berusaha membuka suara, berjalan hati-hati ke depan. Dilihat dari tampilan fisiknya, perempuan itu bisa menebak jika anak laki-laki yang dihampirinya berumur kira-kira 5-6 tahun.
Anak laki-laki itu masih mengunyah biskuitnya, di tubuhnya hanya mengenakan singlet dan celana dalam serba putih.
Kepalanya dimiringkan penuh minat melihat Casilda berjalan mendekat ke arahnya dengan kedua tangan terangkat di udara seolah akan menangkapnya.
Rumah itu adalah rumah orang kaya, tapi ke mana para penghuninya?
Kenapa hanya ada anak laki-laki itu saja dengan penampilan berantakan?
"Hei, sedang apa kamu?" tegur Arkan sinis, meliriknya dengan tatapan aneh.
"Berisik! Kita harus membujuknya supaya tidak berteriak!"
Casilda berbalik melotot ke arah pria itu yang kini terlihat cuek dan santai, melipat tangan di dadanya dengan mata datar miliknya, meremehkan tindakan sang wanita.
"Hmm... adik kecil... kamu tidak lihat apa-apa, ya, hari ini!" bujuknya dengan wajah gelisah dan panik yang disembunyikan.
"Kenapa? Apa maksudnya?" balas sang anak laki-laki polos.
"Begini, kakak-kakak ini hanya lewat sebentar. Bukan orang jahat, ya! Apa kamu sendirian? Apa tidak ada orang dewasa di sini?"
Perempuan bermata minus ini menatapnya dengan wajah seramah mungkin, tapi lawan bicaranya tidak memberinya respon apa-apa. Menatapnya dengan mata tanpa kedip.
"Hei, ayo pergi! Biarkan saja dia!"
"Tapi, dia ini sedang sendirian. Rumah besar begini, kenapa dia hanya sendirian di halaman samping rumah? Bukannya itu agak aneh?"
Arkan sang Top Star mendecakkan lidah kesal.
"Mereka pasti punya pengasuh, atau minimal beberapa pelayan. Paling-paling sedang sibuk."
"Iya, sih, bisa jadi begitu. Tapi, kan, tetap saja kita perlu memastikannya."
Keduanya saling pandang dengan sorot mata saling tidak setuju.
"BIBI! ADA ORANG ANEH DI RUMAH!" teriak si anak tiba-tiba dengan tampang polosnya.
Casilda gelagapan, Arkan terkejut bukan main.
"A-adik kecil, ka-kami bukan orang aneh!" bujuk Casilda pelan, berusaha menenangkannya. Keringat dingin sudah turun di punggungnya.
Sayangnya, alih-alih, anak kecil itu berhenti, teriakannya makin keras.
"BIBI! PEREMPUAN ANEH ITU BILANG DIA BUKAN ORANG ANEH!"
"Sialan! Ayo cepat pergi dari sini!"
Arkan menarik keras Casilda pergi dari hadapan sang anak laki-laki, dia menyeret kerah belakang leher perempuan itu seolah tengah menarik karung beras.
"He-hei! Tunggu, Arkan! Kita harus jelaskan dulu kepadanya!" protes Casilda, susah payah berjalan dengan posisi terbalik. Kedua tangannya menggapai-gapai liar tepat di lehernya, memukul-mukul tangan pria itu agar melepas tarikannya.
"Berisik! Kamu pikir anak itu akan peduli? Kamu ini menyusahkan saja! Ayo!"
Arkan menarik Casilda maju ke depan, mendorongnya kasar ke pagar halaman depan.
"KYAAA!!!" jeritnya nyaris tersandung kaki sendiri.
Di samping rumah, sang anak masih melihat ke arah kepergian mereka berdua, lalu kembali menggigit biskuit cokelatnya dengan tenang, tapi sangat berantakan.
Sang bibi yang muncul dari ruang belakang, membawa baju yang setengah diseterika, terlihat bolong dan hangus di tengahnya.
"A-ada apa, dek? Apa ada maling?" tanyanya gugup, lalu memukul kepalanya sendiri, "duh! ini gara-gara lomba dangdut itu! Terlalu bikin tegang sampai lupa semuanya!"
"Bibi! Orang aneh!" tunjuknya polos dan cuek pada arah menuju halaman depan rumah.
Baju bolong yang dipegangnya diletakkan di atas sandaran kursi sofa, lalu mengintip ke arah luar.
"Tidak ada siapa-siapa, dek."
"Ada, kok!" sanggahnya polos, kembali menggigit biksuitnya hingga remahannya jatuh ke lantai, sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa.
"Aduh! Lain kali kamu main di dekat bibi saja, ya! Jangan di sini! Bikin takut saja! Ckckck! Tidak ada orang malah bilang ada orang."
Sang bibi pun meraih anak laki-laki itu masuk ke dalam ruangan, meraih baju bolong sebelumnya, tidak menyadari ada sebuah tangga bersandar di dinding seberang.
"Gawat! Baju nyonya bolong begini! Gajiku dipotong berapa, ya?" gerutunya takut-takut.
"Orang aneh..." gumam anak laki-laki itu, kembali menggigit biskuitnya hingga belepotan parah.
***
Di taksi, kekacauan kedua orang itu masih saja berlanjut.
"Anda mau ke mana, Pak, Bu?" tanya sang supir pelan, tidak memerhatikan baik siapa penumpang yang masuk ke dalam mobilnya, hanya sekilas melihat Casilda melalui kaca spion.
"Matikan argonya, kami akan sewa bapak selama seharian. Bagaimana?" tawar Arkan yang kini sudah duduk santai dan arogan di dekat Casilda dengan kepala ditutupi tudung jaket.
"Eng... tapi... bapak mau bayar berapa?"
"Sehari pendapatan bapak berapa, sih?" tanya Arkan sombong.
"Paling banyak satu juta atau satu juta lima ratus, pak!"
"Aku sewa 5 juta seharian ini. Matikan argonya. Kalau layanan bapak bagus saya kasih bonus satu juta."
Casilda melotot mendengarnya.
"Heh! Kita mau ke mana? Kerjaanku belum selesai!" protesnya menatap Arkan yang menunduk di balik tudung jaket..
Ketika argo dimatikan dan mobil mulai dijalankan, tudung jaket biru itu dibukanya dengan kasar. Wajah dinginnya menatap kesal pada Casilda.
"Kamu masih memikirkan soal kerjaanmu? Gara-gara kamu, aku berakhir di sini. Apa kamu tak bisa makan dengan baik sampai tersedak seperti itu? Kamu berhutang nyawa padaku, jika mau berterima kasih, maka temani aku jalan-jalan."
"A-APAAAA?!" seru Casilda terlonjak hingga menabrak jendela mobil di belakangnya.
"Berisik sekali. Tsk! Duduk yang benar," makinya kasar, wajah dingin setenang air.
Arkan kemudian teringat sesuatu, dan meraih ponsel yang ada di saku, "Pak! Berhenti sebentar!"
Mobil pun ditepikan di sisi jalan.
Arkan menepuk pundak sang sopir, "tolong berbalik, Pak supir!"
"Ya, ada a—"
Suara kamera yang tengah mengambil gambar terdengar keras.
"Lah?" sang supir melongo hebat.
"Jangan khawatir, aku hanya ingin ambil ini sebagai jaga-jaga saja. Mencegah ada gosip yang keluar," ujarnya santai.
"A-a-a-a-a-a-arkan?! Arkan sang Top Star itu?!" pekik sang supir gagap, tampak pucat dan tak percaya.
"Ya, betul. Itu aku. Aku harap bapak bisa tutup mulut soal ini."
Sebelum sang supir angkat bicara, Casilda menyindirnya. "Kenapa? Malu terlibat skandal denganku? Kamu bukannya itu tukang bikin skandal? Apa karena aku tidak cantik dan langsing seperti wanita yang kamu kencani selama ini jadinya tidak sudi, begitu? Aku juga tidak sudi terlibat skandal denganmu. Memalukan semua keturunanku nantinya."
Mata Casilda menyipit kesal.
Walaupun dia mengakui sudah berhutang nyawa padanya, tapi tetap saja disuruh lompat dari jendela, manjat ke tembok dinding berlumut hingga nyaris jatuh, bukannya itu semua gara-gara dia?
Kalau sejak awal kedai ayam goreng krispi mereka tidak menerima pesanan itu, dirinya tidak akan makan bakso maut itu. Sialan!
Setelah menjadi penyebab semua percobaan kematian instannya, dia mengaku-ngaku sebagai penolongnya?
Lama-lama, pria ini jadi sangat menyebalkan!
Kenapa dirinya harus merasa bersalah dan tidak enak hati?
"Apa maksudmu?" ucap Arkan dingin dan gelap, kepalanya dinaikkan arogan. Kedua matanya terlihat berbahaya.
"Aku hanya tidak ingin membuat tunanganku salah paham. Jangan menilai dirimu terlalu tinggi, ya. Aku sudah bilang kita berakhir di sini gara-gara kamu. Aku bosan di sana, dan kebetulan saja terjadi hal yang di luar dugaan. Jadi hari ini, sebagai ganti terima kasihmu padaku, kamu jadi asistenku seharian, menemaniku belanja dan bersantai ke mana pun aku mau," lanjutnya pongah.
Nadi di pelipis Casilda berdenyut, segera lupa bahwa pria yang ada di depannya adalah pria yang sempat membuat tubuh dan jiwanya gemetar.
"HEH! Dengar! Semua ini tidak akan terjadi kalau kamu tidak memesan ayam di tempat kami. Kalau kamu benci padaku, kenapa malah memesan di tempat kami? Apa maksudmu, hah?"
Sudut bibir Arkan berkedut tak ramah.
"Kamu ini benar-benar wanita tidak tahu diri, ya? Memang kenapa kalau aku pesan di tempat itu? Itu bukan kedai milikmu. Kenapa sok melarang-larangku memesannya? Kalau aku suka ayamnya, memangnya tidak boleh pesan? Aku juga pesan untuk anak-anak yatim piatu itu!"
"Aku mau turun!" gumam Casilda marah, hendak membuka pintu mobil, tapi dicegat cepat oleh Arkan.
"Siapa bilang kamu bisa sesuka hati turun dari taksi ini? Jiwamu sudah jadi milikku selama seharian penuh," bisik Arkan jahat di telinga Casilda hingga bulu kuduk perempuan itu berdiri. Kemudian lelaki itu berteriak dingin. "JALANKAN TAKSINYA!"
Tanpa disuruh dua kali, mobil taksi itu melaju cepat dari tempatnya. Suara geraman gas memekik di udara bagaikan auman singa!
"Kunci pintunya sampai aku bilang buka," titah Arkan kepada sang supir, dan hanya diiyakan begitu saja oleh lawan bicaranya sambil tersenyum lebar.
"Kamu gila, ya? Ini namanya penculikan!"
Arkan mengedikkan bahunya, bersandar malas di kursi, dan dengan santai menawarkan ponselnya, pandangannya lurus ke depan, "telpon saja. Memang mereka akan percaya?"
Ugh! Sialan!
Casilda mati kutu.
Tubuhnya membeku di kursi.
"Pa-pak supir, kenapa bapak mau mengikuti perintahnya? Bapak tidak takut jadi komplotan penjahat? Uang bukan segalanya, Pak!" bujuk Casilda pelan, menyandarkan tubuhnya pada kursi di depan, terlihat gelisah dengan senyum bodoh.
"Aku bilang, duduk yang benar," titah Arkan dingin, mendorong tubuh Casilda menggunakan satu kakinya.
"Dasar tidak sopan!"
"Jangan khawatir, Pak. Ini bukan kejahatan. Dia ini cuma wanita bodoh yang berhutang nyawa padaku. Memang apa bahayanya menjadi asistenku selama seharian penuh?" matanya melirik sinis pada Casilda yang seperti kucing hendak mencakarnya.
"Tentu! Tentu! Anak muda jaman sekarang memang luar biasa!" komentarnya dengan senyum memantul di kaca spion sejenak, lalu bersenandung kecil. "Cinta itu memang rumit."
Kedua orang di kursi belakang itu terlihat syok.
"KAMI TIDAK PACARAN, PAK!" bantah keduanya secara bersamaan.