Setelah beberapa jam perjalanan...
"Nah, hampir sampai di rumahku nih. Tuh yang di ujung." Kata Tante Renata sambil menunjuk ke arah di ujung jalan.
"Kebetulan banget, suamiku lagi nggak ada di rumah. Dia lagi di Otaru untuk melakukan riset bersama teman-temannya. Mungkin bakal balik 3 hari lagi."
"Yah, kamu berduaan aja sama Cipto dong?" Tanya mami ke Tante Renata.
"Iya... Aku punya satu anak lagi. Tapi dia sudah meninggal karena pneumonia saat dia masih bayi." Mata Tante Renata menatap nanar ke jalan di depannya...
"Ya Allah aku lupa. Aku tahu kamu habis lahiran waktu itu dari si Sara pas nggak sengaja ketemu di supermarket. Maaf ya Ren. Aku nggak seharusnya tanya soal itu..."
"Nggak apa-apa Nya. Udah berlalu lama juga." Jawab Tante Renata sambil tersenyum. Kalau mendengar mereka mengobrol, rasanya penasaran bagaimana kehidupan masa sekolah mami.
Benar saja, nggak lama mobil kami sampai di depan rumah Tante Renata.
Kulihat dari dalam mobil, rumah Tante Renata kelihatan bagus. Besar.
Rumahnya berlantai dua. Dengan pagar berwarna putih. Sepertinya Tante Renata dan suaminya tergolong orang yang berkecukupan.
Kami berempat lalu turun dari mobil. Aku langsung menuju bagasi untuk mengambil barang-barang milikku dan mami. Tidak banyak, hanya beberapa koper berisi baju dan obat-obatan milik mami.
Tante Renata membuka pagar rumah yang diikuti oleh Cipto. Aku dan mami menyusul mengikuti mereka dari belakang.
Begitu masuk melewati pagar saja aku langsung takjub dengan kondisi terasnya.
Bagian depan teras ada taman mungil dengan air mancur kecil dan kolam ikan berisi ikan koi. Maklum, aku bukan orang berada. Kalau melihat rumah yang seperti ini pasti suka merasa takjub.
Tante Renata membuka pintu depan yang begitu masuk ke dalam, kita langsung berada di bagian foyer rumah.
"Ayo masuk Sonya, Amaya." Tante Renata mempersilakan aku dan mami untuk masuk.
"Nah Sonya, kamu sama Amaya bisa tidur di atas. Kebetulan kamar di sini masih ada dua yang kosong. Tapi tidurnya terpisah ya. Soalnya tiap kamarnya cuman ada single bed. Nggak apa-apa? Tante Renata bertanya pada mami saat kita masih berada di ruang tengah.
Aku dan mami saling pandang. Tapi mami langsung menjawab, "Iya nggak apa-apa Ren. Aku sama Amaya diijinin tinggal sementara di sini aja aku sudah terima kasih banget."
"Oke deh. Cipto, tolong kamu anterin Tante Sonya sama Amaya ke kamar atas ya."
"Iya ma."
Aku dan mami mengikuti Cipto menuju ke kamar atas. Sampai di atas, kulihat ada tiga kamar. Salah satunya kamar milik Cipto. Dan dua lagi di sisi kiri adalah kamar kosong. Dua kamar itulah yang akan kupakai bersama mami.
Mami memilih kamar yang terdekat dengan tangga. Jadi aku mengisi kamar di tengah, bersebelahan dengan kamar Cipto.
"Ini tante kamarnya. Silakan tante sama Amaya istirahat dulu. Nanti kita makan malam bareng di bawah sama mama." Cipto cowok yang sopan banget walaupun gayanya swaggy. Setelah mempersilakanku dan mami untuk istirahat, dia kembali turun ke bawah.
Aku dan mami masuk ke kamar masing-masing.
Koperku kutaruh di atas spring bed. Kubuka koperku dan mulai kukeluarkan baju-bajuku.
Aku lipat kembali semuanya dengan rapi dan kumasukkan ke dalam lemari yang ada di kamar.
Karena belum mandi, aku merasa badanku gerah karena keringat. Kupikir, lebih baik aku mandi dulu. Sepertinya akan terasa sangat segar untuk mandi di malam hari. Karena di Indonesia, aku mana pernah mandi malam-malam. Pasti mami marah-marah karena takut aku masuk angin.
Ah, mama...
Aku ambil handuk dan baju ganti yang masih ada di dalam koper dan aku keluar dari kamar menuju kamar mandi yang ada di lantai bawah di dekat dapur. Sampai di bawah, aku melihat Tante Renata dan Cipto sedang ada di dapur menyiapkan makan malam untuk kami semua. Mereka sungguh orang-orang yang baik.
Aku masuk ke kamar mandi. Di kamar mandi, ada satu bathtub, closet dan wastafel. Entah karena aku 𝘯𝘥𝘦𝘴𝘰 atau emang norak, begitu melihat bathtub, aku senyum-senyum sendiri membayangkan betapa enaknya mandi sambil berendam seperti orang-orang yang ada di tv.
Kuisi bathtub itu dengan air hangat yang keluar dari kran air dengan water heater. Kulepas bajuku. Setelah bathtub terisi air hangat hampir penuh, aku masuk ke bathtub. Aku mulai berendam.
Ah... sungguh nyaman.
Selagi berendam, aku memikirkan soal sekolahku. Kata mami, besok aku sudah mulai bersekolah. Aku gugup. Tidak tahu harus bagaimana besok. Bagaimana dengan teman-temanku nanti? Apakah mereka semua akan baik padaku? Apa aku akan bisa bergaul dengan mereka?
Aku sungguh mencemaskan itu. Aku merendahkan posisi dudukku semakin dalam hingga air setinggi hidungku.
"Blubububub..." Gelembung-gelembung udara keluar dari air karena nafasku.
• • • •
Setelah aku mandi dan berganti pakaian, aku dan mami turun ke bawah karena dipanggil oleh Tante Renata untuk makan malam.
"Ayo Sonya, kita makan. Maaf ya, makanannya seadanya. Semoga kamu sama Amaya suka ya." Ajak Tante Renata.
"Maaf juga ya Ren, tadi aku nggak sempet bantuin masak dan nyiapin makan malam." Mami merasa sungkan dan meminta maaf kepada Tante Renata.
"Halah sudahlah. Kayak sama siapa aja." Mereka berdua tersenyum lalu kami duduk bersama di meja makan.
Aku dan Cipto duduk bersebelahan. Sedangkan Mami dan Tante Renata duduk bersama.
Di atas meja makan, kulihat ada beberapa menu makanan yang berbeda. Ada empat mangkok nasi putih, sup miso dan karage.
"Itadakimasu!" Kami serempak mengucapkan 𝘪𝘵𝘢𝘥𝘢𝘬𝘪𝘮𝘢𝘴𝘶 sebagai ucapan terima kasih atas makanan yang sudah disajikan.
Saat aku baru saja ingin memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutku, Tante Renata bertanya padaku soal sekolahku besok.
"Amaya, besok kamu sekolah berangkatnya bareng Cipto ya. Kebetulan kampus Cipto searah sama sekolahmu. Jadi kalian bisa naik bus bareng. Nanti sekalian belajar menghafal jalan biar enak kalau nanti kamu mau main keluar sama teman-temanmu. Gimana? Besok temenin Amaya ya Cip."
"Oke ma." Jawab Cipto.
"Iya tante..." Jawabku dengan gugup. Aku masih gugup untuk menghadapi hari pertamaku bersekolah di sini.
"Nggak usah gugup. Biasa aja lah... Tapi nanti nggak usah pacaran-pacaran. Nanti aja kalau kamu udah balik ke Indonesia." Ucap mami.
"Apa sih mami ih..." Dengan sebal aku membalas perkataan mami.
Malam itu, kami makan bersama sambil mengobrol hingga tengah malam. Sesekali kami tertawa bersama. Semuanya mengalir begitu saja.
Mami orang yang periang sedangkan aku introvert. Sehingga membuat suasana di antara kami semua tidak terlalu canggung. Sungguh sebuah malam yang bisa sedikit membuatku lupa dengan kegugupanku karena akan memasuki sekolah yang baru esok pagi.
- Tanpa Amaya sadari saat itu, Cipto sesekali menatap wajah Amaya dalam-dalam...-
• • • •
[Kobe, 14 Pebruari 2021]
08.00 JST
"Amayaaa!!" Mami tiba-tiba membuka pintu kamarku sambil berteriak.
"Udah jam berapa ini astaga! Cepetan berangkat ke sekolah bareng sama Cipto!"
"Iya ma iya. Ini udah selesai juga. Tinggal berangkat doang. Aku masuknya juga masih 1 jam lagi." Aku menjawab dengan santai sambil merapikan seragamku. Hari pertama sekolah, aku masih memakai seragam sekolah abu-abu dari Indonesia karena memang mami belum menyiapkan seragam dari sekolahku yang baru.
Dari cermin besar ini, aku menatap diri sendiri mencoba untuk yakin bahwa semuanya akan berjalan lancar. Kuambil nafas dalam-dalam dan kuhembuskan...
Rambutku kukuncir satu tanpa poni, sedikit bedak tabur tipis dan sedikit olesan liptint di bibir. Oke deh, Amaya udah siap buat berangkat!
Saat aku keluar dari kamar, aku bertemu dengan Cipto yang berada di depan kamarku sedang berjalan menuju lantai bawah.
"Amaya, sudah siap buat hari pertama? Santai aja. Nggak usah tegang." Cipto menyapaku sambil tersenyum manis. Kulihat-lihat ternyata dia manis juga kalau tersenyum.
"Siap kok. Justru aku nervous karena mau ketemu teman-teman baru." Jawabku sambil kami turun ke lantai bawah bersama.
Aku dan Cipto urun ke bawah menghampiri Mami dan Tante Renata yang ada di meja makan.
"Kak Cip, berangkat sekarang hayuk." Aku mengajak Cipto untuk segera pergi sambil mengambil sepotong roti isi dari meja makan.
"Sekarang?" Cipto bertanya sambil menggigit roti lapis isi smoke beef yang dia pegang hasil merebut dariku.
"Eh sarapan dulu!" Ujar mami.
"Iya Amaya, sarapan dulu sedikit." Tante Renata ikutan membujukku.
"Nggak deh. Aku makan roti sambil jalan aja. Yuk ah cepet. Sekalian pengen lihat-lihat suasana di sini." Aku tetap memaksa untuk tetap berangkat lalu kutarik saja tangan Cipto setelah mengambil roti isi yang tinggal tersisa satu dan meminum dulu segelas susu yang ada di meja.
"Yuk Mih, Tante, daahh!!"
Aku berjalan dari rumah Tante Renata menuju halte bus bersama Cipto. Kulihat ke arah langit. Hari ini terlihat cerah dengan matahari yang bersinar terang dengan kumpulan awan yang membuat hawanya sedikit teduh...
Terasa semilir angin berhembus mengibaskan sedikit sisa rambutku yang tak terkuncir.
Ahh... Aku sungguh menyukai perasaan ini.
Sesekali aku menyapa dengan senyuman saat bertemu muka dengan tetangga-tetangga di sekitar rumah Tante Renata.
Sepanjang kami berdua berjalan kaki, terlihat beberapa siswa sekolah yang juga berjalan kaki sepertiku. Ada juga yang menggunakan sepedanya. Beberapa pekerja kantoran juga terlihat berjalan kaki yang kuyakin mereka juga sedang menuju ke halte bus sepertiku.
Senin pagi yang sibuk...
Saat sedang asyik memperhatikan orang-orang di sekitarku, aku tersadar saat menoleh ke arah Cipto bahwa Cipto dengan earphone yang menempel di telinganya sedang asyik bergumam sendiri sambil sesekali mengangguk-angguk dan menggelengkan kepalanya. Dahiku mengernyit. Sedang apa dia?
"Kak Cip, kayaknya lagi asyik banget."
Dia masih saja asyik sendiri dan mengacuhkanku.
"Kak! Ihh!" Kutarik sedikit lengan bajunya. Aku kesal kalau diacuhkan.
"Eh? Apa? Kamu ngajak ngomong aku?" Dia agak terkejut lalu melepaskan earphonenya.
"Enggak. Aku lagi ngajak ngomong pohon gede yang tadi kita lewatin." Jawabku dengan memasang muka sebal.
Cipto tersenyum mendengar jawabanku.
"Kenapa nggak ngajak ngomong aku aja? Kayaknya masih lebih enak ngobrol sama aku daripada sama pohon." Terdengar jelas Cipto sedang meledekku.
"Ya lagian diajak ngomong tapi dicuekin. Asyik sendiri manggut-manggut sambil komat-kamit kayak dukun bayi."
"Iya iya. Apa sih? Apa?"
"Kak Cip, aku kan suka banget sama hujan daripada sama cuaca yang panas begini. Tapi kalau lagi melihat langit yang secerah dan sebiru ini, kenapa ya aku jadi merasa kalau hidup ini nggak seburuk yang aku kira?" Tanyaku pada Cipto sambil menunjuk ke arah langit yang cerah.
"Hmm..." Cipto hanya bergumam.
Kutoleh dia. Kutunggu apa yang akan dia jawab. Tapi setelah kutunggu-tunggu, Cipto masih diam saja sambil terus berjalan dan menatap ke depan.
"Kak Cip! Kalau nggak mau jawab atau nggak bisa jawab, bilang 𝘬𝘦𝘬. Suka banget nyuekin orang!" Aku melengos.
"Hehe... Siapa yang nyuekin sih? Aku lagi mikir buat menyusun kata-katanya. Pemarah banget. Lagi pms ya?" Cipto masih tersenyum saat membalas perkataanku.
"Di dalam ilmu psikologi, warna biru selain melambangkan kedamaian, ia juga melambangkan ketulusan, kepercayaan, kesetiaan dan kebijaksanaan. Karena itu, saat kamu melihat langit biru yang cerah, kamu bakal merasa tenang dan juga bersemangat.
Coba kalau langit itu warnanya hitam, bukan biru.
Nggak mungkin kamu bakal merasa seperti ini kan?
Andai langit berwarna hitam... Gelap... Pekat.. Warna yang melambangkan kesedihan dan juga perpisahan.
Akan selalu ada rasa sakit di balik ketiadaan cahaya yang kita sebut gelap..." Cipto memberikan jawabannya padaku. Tapi saat kulihat ia mengatakannya, sorot matanya berubah. Aku bisa melihatnya.
"Aku nggak suka gelap. Aku juga nggak suka warna hitam." Cipto melanjutkan perkataannya sambil menatapku lalu ia tiba-tiba berhenti berjalan. Aku mengikutinya.
"Tapi aku suka melihatmu kesal." Dia tiba-tiba menyentuh kepalaku dan mengacak-acak rambutku.
𝘋𝘦𝘨!
Untuk sesaat, aku merasa terkejut. Aku nggak menyangka dia akan tiba-tiba melakukan itu padaku. Karena memang tidak ada satu pun cowok yang pernah menyentuhku seperti itu.
Cipto tiba-tiba pergi berlari. Saat kulihat, ternyata kami berdua sudah sampai di halte bus. Dan bus yang harus kami naiki sudah tiba.
"Amaya! Cepat naik!" Teriak Cipto dari kejauhan sambil berdiri menahan pintu bus untukku.
"Iya bentar! Tungguin!" Balasku sambil berlari menuju ke bus.
Di dalam bus, kami berdua berdiri bersebelahan karena nggak kebagian tempat duduk.
Sepanjang jalan menuju sekolah, aku memikirkan apa yang Cipto katakan padaku.
Hitam... Gelap... Dan perpisahan atau kesedihan...
Benar juga. Kalau langit cerah yang kusukai itu berwarna hitam, apa jadinya aku ketika tak ada hujan sebagai tempat bersandar dari segala rasa kalut karena memikirkan alasan mengapa aku dilahirkan.
Lagi-lagi aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya...
- Di sisi lain, Cipto sadar bahwa Amaya tidak sedang baik-baik saja. Ia kembali mencuri pandang ke arah Amaya dan menatapnya. Lagi. -