Cipto lebih dulu turun dari bus karena sekolahku lebih jauh daripada kampusnya.
Hanya butuh beberapa menit kemudian, aku tiba di halte bus sekolahku.
Aku turun dari bus dan berjalan perlahan menuju ke sekolah.
Kuhentikan langkahku tepat di depan gerbang sekolah. Kuamati apa yang ada di depanku sambil berdoa semoga semuanya baik-baik saja.
𝘉𝘳𝘢𝘬𝘬!
Aku jatuh tersungkur hingga membuat lututku terluka. Rupanya ada seseorang yang menabrakku dari belakang.
"Hei! Kalau jalan yang bener dong! Nggak lihat ada orang lagi berdiri?!" Aku meneriakinya karena kesal setelah lebih dulu berdiri dan membersihkan seragamku yang kotor akibat terjatuh.
Ah! Lututku sakit!
Seorang cowok tinggi dengan rambutnya yang berwarna ungu seperti permen kapas dan mengenakan hoodie hitam, diam berdiri di depanku dan membelakangiku.
"𝘜𝘳𝘶𝘴𝘢𝘪!" Teriak cowok itu padaku ketika menoleh padaku lalu dia berlalu pergi begitu saja.
Ah, ternyata orang yang menabrakku hingga terjatuh tadi adalah laki-laki ini.
Dengan mukanya yang 𝘴𝘰𝘯𝘨𝘰𝘯𝘨, penampilan macam preman tukang palak ditambah attitude yang buruk membuatku sangat kesal hingga ingin sekali rasanya melemparkan sepatu ke kepalanya.
Harusnya dia minta maaf padaku, bukan malah ngatain aku bacot!
Sabar Amaya... Sabar...
Oke, abaikan orang gila tadi. Sekarang aku harus cepat berlari masuk ke dalam kelas.
Bukan hal yang baik jika aku terlambat di hari pertamaku sekolah.
• • • •
"𝘈𝘭𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵! Semuanya, tolong tenang dulu. Perhatikan bapak sebentar. Bapak ingin memperkenalkan kalian pada teman baru kalian."
Semua siswa di kelas terdiam memperhatikan ucapan Sono-sensei.
"Sini masuklah. Aku Sono-sensei, wali kelasmu dan juga guru pengajar mata pelajaran sastra Jepang. Sekarang silakan kamu memperkenalkan diri dulu ke teman-temanmu." Lanjut Sono-sensei dan menyuruhku yang menunggu di luar kelas untuk melakukan perkenalan diri di depan semua siswa.
"𝘏𝘢𝘫𝘪𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘩𝘪𝘵𝘦. 𝘞𝘢𝘵𝘢𝘴𝘩𝘪 𝘸𝘢 Kobayashi Amaya 𝘥𝘦𝘴𝘶. 𝘠𝘰𝘳𝘰𝘴𝘩𝘪𝘬𝘶 𝘰𝘯𝘦𝘨𝘢𝘪𝘴𝘩𝘪𝘮𝘢𝘴𝘶." Aku memberi salam perkenalan sambil membungkuk tanda memberi hormat.
Seorang siswa perempuan berambut panjang mengangkat tangannya ke atas. Wajahnya cantik mirip penyanyi Ayumi Hamasaki.
"Boleh kupanggil Amaya saja? Namaku Kaede. Yamamoto Kaede. Salam kenal ya!" Kaede memperkenalkan namanya dan tersenyum ceria.
"Boleh." Jawabku singkat.
"Kamu berasal darimana? Kamu bukan orang Jepang ya?" Seorang siswi lainnya juga bertanya padaku. Rambutnya pendek dengan lesung pipit yang membuatnya lebih manis ketika tersenyum.
"Aku dari Indonesia. Dari kota Surabaya. Ayahku orang Jepang dan Ibuku asli Indonesia." Jawabku.
"Oh gitu. Kenalin, aku Takahashi Mai. Panggil aja aku Mai ya!"
"Jelek." Ucap singkat seorang cowok secara tiba-tiba dari arah bangku di belakang.
Hal itu membuat semua siswa lain menoleh ke arahnya. Suasana seketika menjadi canggung.
Ah menyebalkan!
Mataku melotot melihat dia.
Ah! Dia laki-laki yang tadi menabrakku!
Apa yang dia maksud adalah aku?
Apa dia sedang mengataiku?
Belum sempat aku membalas perkataannya, Sono-sensei menyuruhku untuk duduk.
"Baiklah. Kobayashi-san, kamu bisa duduk di kursi paling belakang. Tepat di belakang Fujita-san." Sensei menunjuk ke arah laki-laki itu.
Ternyata aku harus duduk tepat berada di belakangnya.
Kenapa harus di dekat cowok berandalan itu sih?
"Baik." Jawabku lalu berjalan menuju bangku.
Saat berpapasan dengan laki-laki itu, aku sempat meiliriknya. Dan dia sepertinya tahu aku diam-diam meliriknya karena dia justru langsung menoleh padaku. Aku jadi salah tingkah dan buru-buru duduk di kursiku.
Kutaruh tasku di samping mejaku saat tiba-tiba cowok itu membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku dan menatapku.
Mau apa dia?
"Kalau mau melamun, jangan diam berdiri di tengah jalan. Itu mengganggu. Tidak peduli walau wajahmu cantik." Kata cowok itu dengan dingin lalu dia kembali duduk menghadap ke depan kelas.
Tunggu...
Apa sih maksudnya? Dia memujiku atau apa?
Kalau memujiku, mengapa aku kesal?
Kalau memang mau mengataiku, bilang saja!
Astaga, ada apa dengannya?
Aku memilih untuk diam saja. Kucoba untuk menahan amarahku dan pura-pura tidak mendengarnya.
Memang ya, wajah tampan tidak selalu sebanding dengan 𝘢𝘵𝘵𝘪𝘵𝘶𝘥𝘦-nya.
"Baiklah kita mulai pembelajarannya. Kita buka buku sastra yang minggu lalu sudah dibahas..." Perintah Sensei.
"Hideki!" Seorang cowok yang duduk di dekat jendela sisi kiriku memanggil laki-laki berambut ungu yang duduk di depanku dengan sedikit berbisik.
"Oi! Apaan?" Tanya si rambut ungu tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang bergerak. Mungkin takut ditegur Sono-sensei karena berisik saat pelajaran.
Oh, ternyata namanya Hideki. Hideki Fujita. Seperti yang disebut oleh Sensei tadi.
Lalu siswa itu memberikan sebuah kertas kepada Hideki dengan dititipkan ke teman-teman lain seperti estafet.
"𝘕𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘢𝘬𝘶 𝘯𝘰𝘯𝘨𝘬𝘳𝘰𝘯𝘨. 𝘈𝘥𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘤𝘦𝘸𝘦𝘬 𝘤𝘢𝘯𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨!" Begitulah isi kertas yang diberikan kepada Hideki.
Hideki melihat ke arahnya dan siswa itu memberi isyarat dengan tangan yang artinya 'Ok'.
Dan aku yang sedang membuka tas untuk mengambil bukuku, hanya bisa memaki Hideki dalam hati dengan perasaan kesal karena menyebutku jelek!
• • • •
Waktu istirahat sekolah tiba...
Kubuka bekal makan siangku. Aku sangat lapar karena pagi tadi hanya makan sepotong roti dan segelas susu.
"Kobayashi-san. Eh, Amaya-san." Sapa gadis yang bernama Kaede tadi, menghampiriku dan duduk di depanku.
"Iya?" Tanyaku gugup
"Gimana hari pertamamu di sini? Oh iya, panggil aku Kaede, ini Mai dan ini Ra." Kaede memperkenalkanku pada kedua teman-temannya.
Mereka duduk di depanku dan di sampingku.
Hanya Ra yang berdiri bersandar pada meja sebelah sambil mengulum lolipopnya.
"Baik. Sekolahnya menyenangkan. Kukira akan terasa aneh dan canggung karena aku dari luar negeri. Jadi mohon bimbingannya ya..." Jawabku.
"Syukurlah." Ujar Kaede.
"Amaya cantik ya." Ucap Ra yang sedari tadi berdiri di kursi sebelahku sambil terus mengulum lolipopnya. Terlihat dari pipinya yang menggembung karena permennya. Gadis ini terkesan tomboy tapi dari wajahnya, dia terlihat sebagai gadis yang ceria.
"Hmm!" Mai mengangguk cepat.
"Ah enggak kok." Ucapku malu.
"Tapi... Kenapa tadi pas Amaya sedang memperkenalkan diri di depan kelas, Hideki tiba-tiba bilang 'jelek'? Anak itu benar-benar...!" Ucap Kaede dengan nada kesal.
Aku tersenyum dan diam tak peduli sambil melanjutkan makan siangku. Padahal aku sendiri kesal karenanya.
"Kalian nggak makan siang?" Tanyaku kepada mereka bertiga sambil mengunyah potongan sosis di mulutku.
"Aku nggak lapar. Tadi aku makan banyak saat sarapan. Lagipula, permen ini aja juga udah cukup." Jawab Ra dengan masih mengulum permennya lalu tertawa.
Hideki terlihat masuk ke kelas dengan wajahnya yang tampak kesal lalu langsung duduk di depan kami. Kami berempat saling memandang tak mengerti. Lalu Hideki tiba-tiba menendang bagian bawah mejanya begitu keras.
"𝘉𝘳𝘢𝘬𝘬!!!"
Kami semua terkejut. Tapi tak ada yang berani bertanya padanya.
Kulihat, bekal makan siangku sampai tumpah dan berantakan di atas meja karena mejaku yang tersentak karena tendangannya tadi. Sungguh, kali ini aku tak tahan lagi!
"Woy!! Kalau mau marah-marah, di luar sana! Jangan di sini! Kamu lihat, nasiku jadi tumpah semua! Padahal aku baru saja memakannya. Jangan seenaknya sendiri! Aku nggak peduli apa masalahmu, tapi kamu harus belajar menghargai orang lain!" Aku berdiri dan kubentak Hideki yang sedang duduk membelakangiku.
Hideki kemudian berdiri. Kami berempat terdiam, tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Aku sendiri terdiam sejenak dan belum menelan makanan yang kukunyah tadi.
Hideki berbalik ke arah kami. Dia menurunkan matanya dan menatapku. Dia terlihat sangat marah. Nyaliku menciut padahal baru saja aku marah padanya.
Dia melangkah mendekati kami.
Tidak, lebih tepatnya, mendekatiku. Dia semakin mendekat. Perlahan...
Ketika dia tepat berdiri di hadapanku, dia membungkukkan tubuhnya sehingga wajahnya dan wajahku saling berhadapan berhadapan. Sangat dekat hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya. Bisa kulihat jelas wajah tegasnya.
Mata tajamnya...
Hidung mancungnya...
Bibir tipisnya...
Semua itu membuatku seperti terhipnotis. Iya, kuakui ternyata dia tampan. Cukup tampan untuk membuat hatiku berdesir.
Seharusnya aku langsung mendorongnya menjauh tetapi... Aku malah terdiam.
Hideki tiba-tiba 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘺𝘰𝘳 dahiku dengan jari telunjuknya. Bodohnya aku yang hanya diam saja sampai dia pergi dan berlalu dari hadapanku.
Ya, dia pergi tanpa berkata apapun.
Hei! Aku seharusnya terus memarahinya! Kenapa aku diam saja? Sungguh bodoh! Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri.
Kaede, Mai dan Ra juga hanya bisa saling pandang.
Namun secepat kilat mereka mendekat padaku dan menanyakan hal-hal yang tak kumengerti.
"Amay-chan, apa itu tadi?" Tanya Mai.
"Hideki... Dia... Kok bisa? Tapi..." Ra juga bertanya padaku dengan wajah bingungnya.
"Amaya... Kamu pernah ketemu Hideki sebelumnya?" Pertanyaan Kaede semakin membuatku bingung. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi.
"Anu... Aku juga nggak tau dia kenapa. Seharusnya kan aku yang marah karena gara-gara dia, semua makananku tumpah. Lagian, kenapa malah menoyor kepalaku? Aku nggak pernah kenal dia sebelumnya tapi tadi pagi aku bertemu dengannya di depan sekolah. Dia menabrakku sampai aku terjatuh." Jawabku sambil menunjukkan luka di lututku karena terjatuh tadi.
Mereka bertiga diam saja mendengar jawabanku.
Tapi Kaede... Dia malah tersenyum padaku. Senyumannya misterius. Ya karena menurutku nggak ada hal lucu atau apapun untuk membuatnya tersenyum seperti itu. Aku melihat Mai dan Ra. Mereka pun hanya diam. Sungguh tidak memberiku jawaban sama sekali.
• • • •
[13.00 JST]
Bel sekolah tanda waktunya untuk pulang telah berbunyi. Setelah kami memberikan salam kepada Sensei, semua siswa mulai keluar kelas satu demi satu.
Aku melihat ke arah jendela kelas. Ternyata di luar sedang hujan. Padahal kupikir hari ini akan sangat panas mengingat pagi tadi langit terlihat begitu cerah. Sayangnya, aku nggak membawa payung. Kalau harus membeli payung terlebih dahulu, akan tetap sama saja. Toh toko terdekat yang menjual payung masih beberapa ratus meter di luar sekolah. Belum juga membeli payung, yang ada tubuhku akan basah kuyup. Apa aku harus menunggu di sekolah saja sampai hujan mereda?
Tanpa sadar, di kelas ini hanya ada aku seorang.
Ya sudahlah, aku di sini saja menunggu hujan reda.
10 menit berlalu. Kulihat ke luar jendela, ternyata masih saja hujan deras.
Aku meletakkan kepalaku di atas tanganku di meja sambil masih menatap ke arah jendela. Jujur, walau aku akan pulang terlambat, tapi aku suka. Aku suka hujan ini. Seperti ada sesuatu yang membelai lembut di dalam hatiku.
Saat aku sedang menikmati kebersamaan dengan hujan, aku dikejutkan dengan sebuah suara dari sebuah meja di sampingku. Tanpa pikir panjang, aku menoleh karena terkejut.
Ternyata itu Hideki.
Kulihat dia sedang mengambil sesuatu di bawah mejanya. Sesuatu seperti buku. Kenapa sebuah buku ditaruh di bawah meja?
Hideki melihatku. Aku membuang muka dan kembali ke posisi awalku tadi. Tiduran dengan kepalaku di atas tangan di meja. Sejak kejadian istirahat tadi, aku jadi mempunyai perasaan aneh setiap kali melihatnya. Apa karena wajah berandalnya membuatku takut ya? Atau mungkin karena dia jarang bicara, justru membuatku jadi segan? Ah, aku tidak tahu. Aku hanya berharap dia cepat pergi dari sini.
"Aahhh!!!" Aku menjerit karena aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lenganku.
Ternyata itu ulah Hideki. Dia berdiri dengan memasang wajah dinginnya.
Tapi kali ini dia sambil menggenggam sesuatu. Tampak seperti sebuah botol berwarna biru.
"Nih!" Kata Hideki sambil menyodorkan botol itu padaku.
"Apa ini?" Tanyaku padanya karena aku nggak mau sampai mati karena minum minuman beracun dari orang yang nggak aku kenal, terutama darinya.
"Maaf." Hanya itu yang dia ucapkan.
"Maaf untuk apa? Oh... Aku tahu. Maaf karena hari ini kamu sudah menabrakku dan membuatku jatuh dan juga sudah berhasil membuat seluruh makan siangku tumpah. Dan karena itu juga aku jadi..." Perkataanku terputus karena dia tiba-tiba berjalan menjauh. Eh, bukan! Dia hanya berjalan ke arah depan lalu memutar kembali ke arahku.
Saat dia sampai persis di samping kiriku, di tiba-tiba berlutut. Dia sentuh kaki kananku dan menariknya ke depan.
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku hoodienya.
Sebuah plester. Lalu ia lepas perekatnya dan ia tempelkan pada lututku.
Aku merasa canggung. Kurasa tak perlu dia melakukannya sampai begini.
"Kenapa?" Tanyaku padanya. Dia diam menatapku. Mata kami bertemu dengan aku yang duduk di kursi dan dia masih berlutut di hadapanku. Waktu terasa berhenti sesaat. Angin dingin berhembus dari jendela kelas yang tak kututup yang menerpa rambutku dan juga Hideki. Kami berdua terdiam. Seakan membiarkan waktu berjalan melambat sesukanya.
Dia tiba-tiba mengambil botol yang kupegang dan membuka tutupnya.
"Minum ini. Ini Ramune. Untukmu. Seharusnya, ramune ini diminum saat sedang musim panas bukan saat hujan. Karena rasanya yang segar. Tapi nggak apa-apa kan untuk sesekali menjadi berbeda?" Dia membuka tanganku dan membuatku menggenggam botol itu. Duh, bukannya menjawab pertanyaanku tapi malah menyuruhku minum.
"Kamu... Seperti ramune ini." Lanjut Hideki lalu pergi meninggalkan kelas. Tentu saja juga meninggalkanku sendiri bersama pertanyaanku yang tak terjawab.
Kulihat botol yang berada di tanganku ini.
Kuangkat botol ini dan aku mencoba melihat isinya dengan menerawangnya melalui cahaya dari jendela. Ternyata ada sebuah kelereng kecil di dalamnya. Aku tersenyum.
Ini pertama kali aku melihat botol ramune. Kucoba untuk meminumnya seteguk. Rasanya segar. Ternyata ini air lemon. Pantas saja.
Tapi karena ramune ini, aku jadi tidak merasa sendirian di sini.
Si rambut ungu, terima kasih ya. Untuk plester dan untuk ramune ini.
- Hideki berlalu pergi menjauh dari balik pintu dimana ia sedari tadi berdiri... -