[Kobe, 22 Juli 2010]
23.01 JST
Di tengah gelapnya malam di jalanan kota yang basah ini, aku berjalan lemah dengan ditemani sedikit sisa gerimis yang masih turun sejak sore tadi.
Sambil berjalan, kuambil ponsel di saku jaketku.
Kulihat dari layar ponselku ternyata sudah pukul 11 malam.
Lalu kumasukkan kembali ponselku ke dalam saku.
Baru kusadari bahwa sudah selarut ini.
Pekerjaan seharian ini membuatku tak menyadari bahwa waktu berlalu begitu cepat.
Aku menarik nafas panjang... Huh, lelahnya...
Jaket merah lusuhku yang sudah tujuh tahun ini menemaniku sejak aku pindah ke kota ini, tepatnya ke negara ini, membantuku tetap hangat dari hembusan angin malam yang dingin yang sesekali berhembus kencang yang entah mengapa tidak membuatku ingin semakin cepat melangkahkan kaki untuk pulang ke tempatku tinggal.
"๐๐ข๐ต๐ข๐ด๐ฉ๐ช ๐ฏ๐ข๐ณ๐ข ๐ฅ๐ข๐ช๐ซ๐ฐ๐ฃ๐ถ ๐๐ด๐ฐ๐จ๐ข๐ด๐ฉ๐ช๐ฌ๐ถ ๐ด๐ฉ๐ช๐ต๐ฆ๐ณ๐ถ ๐ฌ๐ข๐ณ๐ข ๐๐ข๐ฏ๐ฃ๐ข๐ต๐ต๐ฆ ๐ช๐ณ๐ถ ๐บ๐ฐ ๐ด๐ฐ๐ถ ๐บ๐ข๐ฌ๐ถ๐ด๐ฐ๐ฌ๐ถ ๐ด๐ฉ๐ช๐ต๐ฆ ๐ฌ๐ข๐ณ๐ข
๐๐ฆ๐ฎ๐ฐ ๐ฌ๐บ๐ถ๐ถ ๐ฏ๐ช ๐ฏ๐ข๐ฌ๐ช๐ต๐ข๐ฌ๐ถ ๐ฏ๐ข๐ณ๐ถ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฅ๐ฐ"
Suara syahdu milik Mikuni Shimokawa dengan lagu cinta berjudul Are Kara terdengar dari earphone yang terpasang di telingaku, seketika membuatku menghentikan langkah.
Aku berdiri terdiam...
Kutatap langit hitam yang terlihat indah dan tenang di mataku.
Rasanya begitu sendu...
Aku tersenyum...
Tetesan gerimis terasa dingin di wajahku...
Aku menikmatinya. Sungguh.
Di antara gedung-gedung tinggi ini, di antara kerlap-kerlip lampu kota yang menyinari jalanan ini dan di antara hilir mudik orang-orang yang berlalu-lalang ini, aku tiba-tiba merindukannya.
"Sudah 7 tahun ya Sora..." Bisikku pada kesunyian.
"Apakah kamu juga merindukanku?" Aku bertanya padanya yang entah apa dia bisa mendengarnya.
- Sesuatu terselip dalam tas ranselnya.
Sesuatu yang berharga yang selalu dia bawa kemanapun selama 7 tahun ini... -
Ramune yang bertuliskan "Untuk Amaya".
โข โข โข โข
[Kobe, 13 Pebruari 2003]
12.10 WIB
Kulihat kumpulan awan dari balik jendela pesawat. Sepertinya keadaan di luar sangat cerah.
Kunikmati memandangi semua itu. Hingga semua hal berat yang selama ini tertimbun di dalam hati dan kepalaku sejenak menghilang.
Awan-awan itu terlihat seperti di dunia lain.
Seperti kumpulan kapas putih dengan disinari cahaya mentari. Seperti dunia di mana para bidadari saling bercengkrama.
Aku tersenyum membayangkan hal-hal ajaib itu.
Tapi itu memang sungguh indah.
Aku menoleh ke seseorang yang duduk di samping kananku. Ternyata dia telah tertidur. Kuamati wajahnya.
Dialah orang tercantik yang aku tahu.
Ya, dia ibuku.
Nama ibuku Sonya Widodo. Asli Solo. Ketika beliau lulus SMA, beliau pindah ke Surabaya untuk berkuliah di salah satu universitas terbaik di sana.
Dan di sanalah beliau bertemu dengan lelaki yang kelak kupanggil ayah.
Sayangnya, tak pernah sekalipun aku melihat langsung bagaimana sosok orang yang kusebut ayah ini. Ya, mereka akhirnya menikah dan menetap di Surabaya.
Kata ibu, ayahku pergi ke kampung halamannya di Jepang saat kandungan ibu berusia 8 bulan sekitar tahun 1989.
Sebelum pergi, ayah berpesan kepada ibu.
Ayah berkata, "Kamu tunggu saja aku di sini. Aku akan kembali secepatnya. Tidak usah sampai menyusulku ke sana."
Ibu hanya mengangguk tidak berani membantah karena dia percaya pada ayah dan karena cintanya.
Dan sepertinya sekarang ibu tidak mampu lagi untuk memegang amanat yang dipesankan ayah kepada ibu.
Sudah cukup 15 tahun ibu menunggu ayah untuk kembali.
Kini, aku dan ibu bertekad menjemput ayah ke negara kelahiran ayah. Tepatnya di Kota Kobe, Jepang.
Kuambil nafas dalam-dalam. Lalu kuambil sisa jus jeruk yang ada di meja depanku dan kuminum, berharap rasa segarnya bisa menenangkanku dari rasa gugup dan khawatir.
Kugigit bibir tipisku sembari kembali melihat ke luar jendela.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika bertemu ayah nanti...
โข โข โข โข
21.31 JST
Setelah hampir 10 jam perjalanan dari Indonesia ke Jepang dengan transit terlebih dahulu di Bandara Soekarno-Hatta, akhirnya aku dan ibu tiba di bandara Internasional Haneda, Tokyo.
Aku membawakan semua barang bawaan ibu dan tentunya juga dengan barang-barangku.
Tidak banyak yang kami bawa. Hanya baju-baju biasa saja.
Maklum, kami bukan orang kaya. Untuk bisa berangkat menyusul ayah, ibu harus menabung selama bertahun-tahun dari penghasilannya sebagai buruh pabrik sembari beliau juga harus membayar uang kuliahku.
Kenapa ibu tidak memilih pekerjaan yang lebih baik padahal beliau seorang sarjana?
Setelah lulus kuliah, ibu memilih jadi ibu rumah tangga dan ayah yang bekerja. Ketika ayah pergi meninggalkan kami, tentu sudah tidak ada perusahaan yang menerima staff kantor dengan orang yang seusia ibu. Yah, bagaimana lagi.
Ya, ibu juga memaksaku untuk berkuliah.
Beliau ingin aku menempuh pendidikan yang baik dan selalu mengingatkanku untuk bisa hidup mandiri. Agar kesalahan ibu tidak terulang kembali padaku. Aku mengerti maksud ibu.
Aku sendiri juga bekerja sebagai tenaga administrasi sambil berkuliah. Aku tidak ingin memberatkan ibu.
"Nak, kita nanti dijemput sama Tante Renata dan anaknya. Nanti kamu nggak boleh diem aja lho. Kamu harus ๐จ๐ณ๐ข๐ฑ๐บ๐ข๐ฌ. Biar kenal sama mereka. Tante Renata itu temen ibu waktu SMP. Dia sudah 3 tahun kerja di Tokyo. Jadi desainer interior kalau nggak salah." Sambil berjalan berdua menuju ke pintu keluar, ibu sudah mulai melancarkan serangan ngomelnya. Aku manggut-manggut saja mendengarkan ibu.
"Suami Tante Renata orang Jepang juga dong bu?" Tanyaku pada ibu.
"Bukan. Suami Tante Renata asli orang Cirebon. Dia kan nikah dulu sebelum kerja di Tokyo." Jawab ibu.
"Terus, Tante Renata kok bisa menjemput kita? Dia tahu alasan kita datang ke sini bu? Ibu cerita ke Tante Renata?" Aku kembali mencecar pertanyaan pada ibu.
"Haduh kamu itu ya. Ya jelas dong ibu cerita ke Tante Renata. Ibu nggak ada pilihan lain. Lagipula, Tante Renata adalah satu-satunya sahabat ibu yang tinggal di Jepang. Alhamdulillah dia mau sedikit membantu kita." Jawab ibu sambil terlihat mukanya agak kesal karena aku memberondongnya dengan pertanyaan. Wajah ibu terlihat lucu ketika kesal.
"Sudah nggak usah tanya terus. Nanti juga nggak usah tanya aneh-aneh sama Tante Renata. Kamu kan kebiasaan suka begitu."
"Iya bu iya..." Baiklah, aku berhenti bertanya daripada ibu semakin ngomel.
Setibanya kami di pintu keluar, mataku sibuk mencari dimana keberadaan Tante Renata dan anaknya di antara banyak orang yang sepertinya juga sedang menjemput sanak keluarga mereka. Mungkin...
"Sonya!" Seseorang memanggil nama ibu. Seorang wanita berambut pendek yang dicat warna burgundy sambil melambaikan tangan ke arah kami dan tersenyum lebar.
"Hai!!" Ibu berteriak dan kami berdua menghampirinya.
"Ya Tuhan, Sonya! Ah aku kangen banget! Gila! Sudah berapa lama kita nggak ketemu? Kamu apa kabar?" Tante ini terlihat begitu akrab dengan ibu.
"Alhamdulillah aku baik. Udah seabad kali ya Ren nggak ketemu." Jawab ibu lalu mereka tertawa bersama.
"Ini pasti Amaya ya? Amaya, aku Tante Renata, teman ibumu." Tante itu bertanya padaku sambil mengajak berjabat tangan. Oh, ternyata dia adalah Tante Renata. Ibu memegang tanganku sebagai isyarat supaya aku segera menjawab pertanyaannya. Tapi karena sepertinya ibu tidak sabar, saat aku menjabat tangan tante itu sambil tersenyum, ibu lah yang menjawabnya.
Ibu... Ibu...
"Iya ini anakku satu-satunya. Namanya Amaya. Kalau itu anakmu ya?" Ibu balik bertanya pada Tante itu.
"Nah iya ini anak pertamaku. Namanya Cipto."
Aku dan ibu menjabat tangan cowok bernama Cipto itu. Cowok berusia sekitar 20 tahunan dengan tinggi sekitar 180 cm dan rambutnya yang sedikit ikal di ujungnya. Dia memakai kaos putih, jaket baseball warna hijau dan sepatu kets putih. Kuperhatikan dia mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
"Ayo, langsung saja aku antar kalian ke rumah."
Ajak tante itu pada kami.
Kami berempat berjalan ke arah parkiran mobil.
Setelah mobil Tante Renata ketemu, kami berempat masuk ke mobil dan melaju meninggalkan bandara menuju rumah Tante Renata.
Sepanjang perjalanan, ibu dan Tante Renata tidak ada hentinya mengobrol ๐ฏ๐จ๐ข๐ญ๐ฐ๐ณ ๐ฏ๐จ๐ช๐ฅ๐ถ๐ญ. Mulai dari membahas masa kecil mereka, hingga masa SMA mereka berdua. Ternyata ibu dan Tante Renata sudah saling mengenal sejak SD. Mereka teman satu kelas hingga SMA.
Aku yang duduk di kursi belakang berdua dengan Cipto hanya bisa saling diam. Mau mengobrol pun tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Rasanya sangat canggung dan aneh. Jadi aku memilih untuk lagi-lagi menatap ke luar jendela mobil seperti saat aku di pesawat saja.
Di saat seperti inilah aku berharap bisa segera sampai di tujuan...
โข โข โข โข