Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 24 - Lee Han Yang Sebenarnya

Chapter 24 - Lee Han Yang Sebenarnya

Di sebuah ruangan besar beraroma jeruk dan obat-obatan, terdapat dua pria dewasa yang berjalan saling berlawanan arah. Rupanya sepakat, kalau ruangan itu tidak bisa diperiksa hanya dari satu arah saja, sehingga keduanya memutuskan untuk berpencar.

Dengan ketidakyakinan akan keputusan itu, bersama rasa takut yang berkembang semakin sesak di jantung, Lee Han menoleh ke belakang. Punggung sang ketua tampak tak terpengaruh keadaan, dilihatnya wajah Jerry seperti orang yang hanya ingin menemukan suatu benda di ruang itu. Tak tertangkap ekspresi resah di wajah pria bermata cokelat muda itu. Lain hal dengannya yang sejak mendengar keputusan sepihak sang ketua sudah membuat jantungnya meloncat. Meski tubuhnya lebih besar, otot-otot itu hanya berguna jika dalam keadaan terdesak sementara sekarang, nyalinya menciut.

''Kalau saja dia bukan atasanku, aku tidak akan meladeni pemikirannya. Tidak peka sekali dengan perasaanku. Ini tidak akan semenakutkan ini kalau saja dia mengajak Sung Min dan perawat lain kemari,'' bibir Lee Han komat-kamit.

Entah apa yang menariknya untuk menengok belakang, ia merasa perlu memperhatikan kondisi di belakangnya. Dan sontak ia dibuat semakin gugup begitu tak menemukan keberadaan Jerry.

Lee Han kembali menoleh ke depan, seraya menyalakan senternya. ''Dia tidak meninggalkan aku sendirian, kan? Aku akan mengutuknya kalau aku mati di sini!''

Tak berapa lama, ia fokus ke depan. Menelan semua rasa kelam dan ketakutan hingga yang tersisa keberanian yang dipaksa-paksakan. Angin menyerang kencang dengan sensasi dingin membawa aroma hutan nan basah. Mendadak kilatan putih terpanjang ke segala penjuru hutan. Badannya tersentak, gugup mulai menaiki tubuhnya. Sensasi dingin dari kaki hingga menuju leher, selebihnya sensasi panas terkumpul di kepalanya.

''Jerry! Kau masih di sana kan?'' tanya Lee Han dengan kalimat yang diputus-putus. Seperti beberapa menit yang lalu, tak ada tanggapan sama sekali.

Bunyi-bunyi jangkrik mereda terganti oleh suara petir yang meraung. Cahayanya memberi penerangan tambahan di ruangan itu.

''Ah, sebaiknya tidak ku nyalakan benda ini. Mungkin bisa menarik perhatian.'' Senter itu dimatikannya.

Setelah berjalan melewati beberapa brangkar, tak juga menemukan hal lain selain gorden yang bergerak menumbuhkan kecurigaan. Memakan waktu selama tujuh menit, Lee Han menjatuhkan bahu, luluh semua rasa tegangnya. Ia mulai berjalan dengan percaya diri dan hendak menuju keberadaan Jerry.

Akan tetapi di perjalanan dalam ruang itu ia berbeluk, mendadak keluar suara hatinya, ''Dia bilang ada sekitar sepuluh lansia yang dirawat di sini. Beberapa perawat juga tak terlihat.''

Telinganya menangkap suara beberapa meter dari ia berdiri. Suara itu terdengar seperti Outsole sepatu yang menginjak genangan air. Akan tetapi seingatnya ruangan di lantai 3 adalah yang paling terawat dari ruangan lain, mustahil ada kerusakan karena tak ada lansia yang berkelahi dan saling lempar piring di sini.

''Jerry, apa kau di sana?'' ia bertanya pada suara itu.

Karena tak ada balasan, diteruskannya langkah dengan panjang dan kokoh.

Sejauh lima langkah, kakinya enggan untuk bergerak. Aroma jeruk nan segar dan obat-obatan yang keras telah dilenyapkan oleh amisnya cairan hitam di ujung ruangan. Dengan gemetar, senter diarahkan kepada setumpuk benda di ujung ruang.

Cahaya itu memperjelas sosok seorang lansia yang merobek perut mayat berseragam perawat. Cahaya senter yang menyorot membuat lansia itu terdiam, tangannya melepas seonggok organ nan mengkilat. Lalu perlahan melawan sorotan cahaya. Matanya bercahaya, wajahnya hitam dipenuhi darah dan kulitnya begitu pucat. Seorang lansia itu mendesis seraya menampilkan giginya yang hitam berbalut darah.

Kaki yang sempat membeku, berbalik dan mengambil langkah panjang dengan liar, hingga keseimbangan tubuh Lee Han roboh. Begitu hendak kembali melarikan diri, sepasang tangan mencengkeram kuat pada kaki bawahnya. Lee Han tersungkur lagi, dadanya jatuh ke ubin, pipa besi itu menggelinding di sebelah kiri tubuhnya. Ia tersedak kecil dan berbalik dengan cepat seraya menginjak-injak wajah mayat hidup yang mulai merangkak di antara kakinya.

Lee Han menjerit ketakutan melihat wajah mayat hidup yang terkelupas dari tulang pipi hingga rahang, menampilkan kulit merah yang berlendir.

''Jerry! Jerry!!!'' suaranya lantang memanggil bantuan.

Seorang lansia itu menggerang, suaranya terasa bergetar di paha kanan Lee Han. Ia panik sekali, keningnya sampai basah oleh keringat. Tangannya menjulur ke kiri menggapai pipa besi.

Mulut dengan bau busuk yang sangat kuat menyerang wajahnya. Beruntung tangannya berhasil meraih senjata besi itu. Lee Han menahan setengah mati leher sosok itu dengan pipa. Jatuh bercucuran lendir dari mulut dengan gigi yang merekah hendak mencicipi kulit pipinya.

''Jerry!!!'' Semampu mungkin Lee Han bersuara dalam berat tubuh nan bertambah oleh sosok itu. Diafragmanya tertahan menyebabkan suara tersendat.

Mendadak sosok itu memuntahkan darah kental bercampur lendir pada wajah Lee Han. Pria itu menutup satu matanya, dan merasakan wajah sosok itu jatuh tepat di atas lehernya.

Matanya terbuka lebar, melihat Jerry menarik pipa besi dari punggung mayat. Menyembur darah dari punggung sampai mengenai wajahnya dan wajah Jerry.

Mayat itu didorong ke samping lalu tubuhnya bangkit untuk duduk. Napas panjang yang keluar dari mulut terdengar hingga ke telinga Jerry. Jerry mengulurkan tangan selagi Lee Han menyapu wajah nan kotor.

Mata Jerry memandang intens pada mimik Lee Han, sungguh dia sendiri merasa lega karena rekan sejawatnya selamat. Menyembur kegembiraan yang tak terbendung dalam hatinya, tangannya yang semula gemetar akibat membunuh zombi pun terhenti seketika. Sensasi senang yang muncul ketika menyelamatkan seseorang, baru pertama kali ia rasakan.

''Terlambat sedikit, aku pasti sudah mati. Aku pasti akan menghantui mu!'' ungkap Lee Han akan janjinya beberapa menit lalu. Ia menyambut tangan Jerry dan beranjak saat sang ketua membantu menarik tubuhnya.

''Kau terluka?'' tanya Jerry sedang menilik leher Lee Han yang penuh darah.

''Ini darah wanita tua itu. Ia meludah padaku, sialan!''

Jerry menyodorkan sapu tangan dari saku dan Lee Han menerimanya dengan lega. Mereka duduk di dekat jendela yang terbuka. Punggung-punggung mereka disinari kilatan petir, angin menusuk-nusuk kulit membalut tubuh dengan sensasi dingin pukul 04.00 pagi.

Setelah dua puluh menit menenangkan diri, mereka bergerak kembali. Di samping pagar pembatas lantai tiga, Jerry dan Lee Han berjongkok menyesuaikan tinggi tubuh dengan pembatas itu. Mereka memantau lorong di seberang memakai teropong infrared. Lorong itu terlihat lebih gelap dari lorong di belakang mereka. Dari kejauhan, di lorong itu tampaknya cahaya petir kesulitan menembus masuk. Pasalnya, bangunan bagian itu terletak tepat di samping sebuah pohon besar yang tumbuh di taman. Gorden tak berkibar, menandai tak ada yang membuka jendela.

Lampu darurat yang biasa menyala sendiri sudah rusak di langit-langit lorong, hanya satu lampu yang tersisa, sehingga cahayanya tak begitu terang. Itu pun hidup dan mati secara tak stabil.

Lampu yang berkedip-kedip sedemikian seram, menunjukkan sebuah kejadian anarkis di tengah-tengah lorong. Lorong itu penuh dengan mayat yang tampaknya tak bangkit, bercak-becak darah mewarnai dinding putih. Di antara gelimang mayat, di tengah ada sosok seorang pria sedang makan dengan lahap. Pria itu kurus, ubannya mengkilat beserta kulit kepalanya yang botak di tengah.

Jerry menoleh pada Lee Han sambil berkata, ''Ini lebih buruk dari sebelumnya. Itu Dokter Patrick, dia sedang ... kita mungkin perlu memancingnya pindah dari sana.''

''Tunggu sebentar! Biarkan aku mempersiapkan diri.'' Lengan jaket hingga ke pergelangan kaki dibalut dengan kain-kain gorden yang sempat diselipkan di baju jaket. Lee Han mempertebal keamanan tubuhnya, berharap kain-kain itu dapat menghalangi gigi-gigi beracun para zombi.