Rio jalan tergesa-gesa menuju ke luar rumah, ketika kupingnya mendengar suara motor telah berhenti di depan teras. Suara motor yang sudah tidak asing lagi baginya, yaitu suara motor matic milik ibunya yang baru saja pulang dari pasar. Itu artinya, pesanan yang sedang ia nantikan sejak tadi, sudah tiba.
"Mana bu? pesanan ku." tanya Rio-tidak sabar, saat ia sudah berdiri di ambang pintu rumahnya. Manik mata Rio langsung tertuju pada bungkusan plastik yang tercantol di bawah bagasi motor.
Mengabaikan ibunya yang sedang keteteran, menurunkan barang bawaan dari pasar, Rio mengambil bungkusan plastik tersebut.
Hartati hanya menggelengkan kepalanya heran, melihat kelaukuan anaknya. Tidak biasanya Rio tega membiarkan ibunya yang sedang kerepotan. Lantaran mengetahui anak sulungnya sedang tidak enak badan, Hartati terpaksa menurunkan sendiri beberapa kardus, dan barang-barang lainya dari jok motor.
Hartati memang seorang wanita yang kuat, seperti wonderwomen. Buktinya, meski seorang janda, ia mampu membesarkan ketiga anaknya sendirian. Tapi untung saja Rio anak yang cerdas, ia bisa masuk sekolah elite tanpa mengeluarkan beaya sedikitpun. Penghasilan Rio dari mengajar private juga bisa membantu untuk uang jajan kedua adiknya, dan kebutuhan Rio sendiri.
Rio berjalan merunduk, bola matanya berbinar, saat melihat beberapa biji buah mangga muda dari dalam plastik__sambil mengulum air liur yang terus saja keluar dari lidahnya. Karena sudah tidak sabar ingin menikmati buah mangga mudanya, Remaja itu berjalan ke arah dapur untuk mencucinya terlebih dahulu.
Beberapa saat kemudian, Rio sudah berdiri di samping meja makan, di depannya sudah ada piring berisi lima buah mangga muda yang baru saja ia bersihkan. Mengambil satu biji buah mangga tersebut, Rio mulai mengupas tipis kulit buah mangga menggunakan pisau yang sudah ia pegang sejak tadi. Air liur di lidahnya juga tidak berhenti keluar, ditengah ia mengupas buah mangga tersebut.
"Pelan-pelan Ri, ngupas nya," tegur Hartati yang baru saja lewat di sampingnya. Ia melihat Rio terlihat buru-buru saat sedang mengupas buah mangga. "Awas kena piso tangannya," peringat Hartati sambil mencuci kedua telapak tangannya menggunakan air yang sedang mengucur dari kran wastafel.
Mengabaikan peringatan ibunya, Rio melanjutkan aktifitasnya__menyelesaikan mengupas mangga.
Sementara itu, terlihat ibu Hartati sedang mengambil nasi dari dalam magicom. Kemudian ia berjalan ke arah meja makan__lalu berdiri di samping Rio.
"Tadi jadi priksa ke puskes, Ri?" tanya ibu Hartati sambil meletakkan piring berisi nasi di atas meja makan.
"Udah."
"Sakit apa kata dokter?" Ibu Hartati menarik kursi, lalu menjatuhkan pantatnya di sana.
"Cuma pusing biasa katanya. Dikasih obat pusing sama penghilang mual."
"Oh, udah diminum obatnya? kamu udah makan belum?" Kepo Hartati sambil menyedok sayur dan lauk, lalu meletakannya di atas piring.
"Udah bu, tadi makan bubur ayam. Nggak bisa ke isi nasi perutnya tambah mual, kalo liat nasi," jelas Rio.
Kening ibu Hartati berkerut, menatap heran ke wajah Rio. Liat nasi mual? aneh. Pikir ibu Hartati.
"Aah..." desah Rio, ia merasa lega karena sudah berhasil mengupas kulit mangga hingga bersih. Tidak menunggu waktu lama, Rio menyayat daging mangga lalu membelah hasil sayatan mangga terebut. Beberapa detik kemudian, dengan bola mata yang berbinar remaja itu mulai memasukan potongan mangga muda ke dalam mulutnya.
"Eeeumm..." gumam Rio saat lidahnya mulai merasakan asem dari buah mangga mudah yang sedang ia makan. Rio memejamkan mata, meresapi rasa asam yang terasa begitu nikmat di mulutnya. "Eeum... enak. Gila enak banget..."
Terlihat ibu Hartati, mengerutkan wajah, air liurnya ikut keluar saat melihat ekspresi wajah anaknya__yang terlihat berlebihan saat sedang mengunyah mangga muda. Meski tidak memakan buah mangga itu, akan tetapi ibu Hartati seperti ikut merasakan rasa asam yang dirasakan oleh Rio. Ia mengulum air liur__yang terus keluar dari lidahnya, sambil bergidik merinding.
"Enggak asem tah, Ri?" heran ibu Hartati.
"Asem sih, tapi enak banget."
Meski buah mangga di dalam mulutnya sudah lembut ia kunyah, tapi Rio merasa enggan untuk menelan nya. Ia masih ingin merasakan asam yang terasa begitu nikmat di mulut nya.
"Ternyata buah mangga bisa enak gini ya?"
"Enak apanya? dulu kamu marah sama ibu gara-gara beli mangga nya masih muda. Kata kamu asem banget rasanya." Ujar ibu Hartati mengingatkan.
Rio terdiam, ia sedang mengingat-ingat memutar memori di otaknya. Iya benar, yang dikatakan sama ibu Hartati barusan. Rio ingat pernah marah lantaran ibu Hartati membeli buah mangga yang masih muda.
"Tapi yang ini enak banget, bu." Tegas Rio.
"Kayak orang lagi ngidam aja kamu Ri," komentar ibu Hartati. Kemudian ia mulai menyantap makan sorenya.
Sementara Rio terdiam, memikirkan kata-kata ibu nya barusan. Beberpa saat kemudian ia terkekeh pelan, mentertawakan ibu nya. "Mana ada bu, cowok ngidam. Emang bisa hamil?"
Setelah menyampaikan itu, Rio berjalan meninggalkan ibunya, empat buah mangga, dan satu buah mangga yang sudah ia makan sedikit. Yah, Rio memang cuma sedikit sekali memakan buah mangganya. Tapi meskipun begitu, ia merasa sangat puas. Hasratnya yang tadinya begitu menggebu ingin merasakan mangga muda, akhirnya terbayar sudah.
Di tengah perjalanannya menuju ke kamar, Rio langsung menarik bagian leher pada kausnya, guna menutup mulut dan hidung saat berpapasan dengan Keysa. Ia menjauhkan wajahnya, menatap sebal ke arah Keysa.
"Kenapa sih lu kak? benci banget liat gue." heran Keysa sambil melepaskan tas cangkolnya. Gadis beranjak remaha itu baru saja pulang dari sekolah.
"Bau parfum lu nggak enak, bikin pala gue pusing," jawab Rio dengan suara bendeng, lantaran ia menutup rapat lubang hidung nya. "Ganti!"
"Yeee... lebay! Biasanya gue juga pake ini kali," protes Keysa. Kemudian ia berlalu menuju ruang makan.
"Eh, dek..." panggil Rio.
"Apa?" Ketus Keysa setelah ia memutar tubuh berhadapan dengan kakaknya.
"Itu di meja makan ada mangga muda. Punya gue. Jangan lu makan."
Setelah menyampaikan itu, Rio kembali berlari ke arah kamarnya.
"Ih, nggak doyan..." Keysa memutar bola matanya malas. Kemudian ia melanjutkan perjalannya menuju ruang makan. Perutnya sudah sangat lapar.
~☆~
"Pa..." panggil ibu Marta kepada suaminya, bapak Wiratama.
"Hem..." ucap pak Tama sambil mengunyah makanan di mulutnya. Mereka berdua sedang menikmati sarapan pagi. Semantara Jamal masih meringkuk sakit di dalam kamarnya. Sudah hampir dua hari Jamal juga tidak masuk sekolah akibat sakit yang sedang di derita nya. "Apa?"
Melatakan sendok dan garpu di atas piring, ibu Marta menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah suaminya, menatapnya serius.
"Setelah mama pikir-pikir, kayaknya Jamal kita nikahkan aja deh__"
"Uhuk... uhuk... uhuk..." pernyataan istrinya membuat pak Tama tersedak, batuk.
"Ya... ampun pa!" ibu Marta terlihat panik, ia langsung mengambil segelas air minum, memberikan kepada suaminya. "Pelan-pelan, pa," peringat ibu Marta sambil mengusap-usap punggung suaminya. Membantu melegakan batuk nya.
Setelah dengan susah payah meneguk segelas air minum, akhrinya pak Tama merasa lebih baik. Ia memutar kepalanya, menatap heran ke arah istrinya.
"Mama ini ngomong apa? ngaco. Ngurus dirinya sendiri aja belum bisa, gimana mau ngurus anak orang? bikin repot kita nanti." ujar pak Tama. "Sekolah aja nggak pernah bener, bikin ulah terus! Dia masih bau kencur. Jangan aneh-aneh, ma."
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ibu Marta hembuskan secara perlahan. Dengan wajah yang terlihat frustasi ibu Marta kembali mendudukan dirinya di kursi semula.
"Habis mama capek, sudah berapa kali kita di buat pusing sama Jamal. Belum orang-orang yang ngaku anaknya hamil sama Jamal. Kali aja kalo kita nikahkan dia bisa berubah. Ada istri yang bisa bimbing Jamal, ngarahin dia. Biasanya nih pak, anak laki-laki yang tadinya nakal dia bisa berubah setelah nikah terus punya anak." jelas ibu Marta. "Lagian kan Jamal bisa tetep sekolah walupun udah nikah."
"Papa nggak setuju!" Tegas pak Tama. "Jamal masih kecil, umurnya aja baru sembilan belas. Ya kalo dia berubah? kalo enggak? tetep kita yang repot."
Penjelasan pak Tama membuat ibu Marta menarik sebelah ujung bibirnya. Wajahnya terlihat kesal lantaran suaminya tidak sependapat dengan dirinya. Kemudian perhatian ibu Marta tertuju kepada seorang asisten rumah tangga yang sedang berjalan ke arah mereka, sambil membawa nampan berisi sarapan pagi, dan segelas susu segar.
"Lho... kok dibalikin lagi, bi?" heran ibu Marta saat pembantunya meletakan piring berisi sarapan Jamal dan segelas susu segar. Masih utuh, dan belum tersentuh sama sekali.
"Iya nyonya? tuan muda Jems, nggak mau sarapan." jelas pembantu rumah tangga tersebut.
"Tuh, liat. Baru sakit sedikit aja udah manja. Gitu kok mau di nikahkan." cibir pak Tama.
Ibu Marta mendengkus kesal, ia kembali berdiri dari kursinya seraya berkata, "yaudah biar saya aja yang bujuk Jamal." Wanita yang memiliki perusahaan produk kecantikan itu, berlalu meninggalkan suaminya di meja makan__sambil membawa kembali nampan yang baru saja dibawa oleh pembantunya.
Beberapa saat kemudian, ibu Marta sampai di kamar Jamal dengan menaiki lift. Setelah berada di dalam kamar, wanita berjalan dengan anggunnya mendekati ranjang milik putra semata wayangnya.
"Sayaaang.... kok__"
"STOP!!"
Ibu Marta mematung, ia menatap heran ke arah anaknya yang melarang nya supaya jangan mendekat.
"Kenapa sayang?" heran ibu Marta.
"Stop ma, berenti di situ," perintah Jamal. "Jangan bawa nasi sialan itu ke sini!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Udah jangan banyak tanya, ma. Aku nggak mau liat nasi. Perutku mual pingin muntah!" Terang Jamal sambil mengusir nampan berisi sarapannya.
Terlihat ibu Marta menatap heran ke arah nasi, ada telur mata sapi dan beberapa lauk di sana. Bentuknya masih sangat bagus dan segar, tidak basi. Lalu kenapa Jamal mual?
"Yaudah, mama taruh di meja aja ya?" usul ibu Marta.
"Terserah," ketus Jamal. Ia menjatuhkan kembali tubuhnya di kasur, menarik bedcaver hingga sampai di lehernya.
Ibu Marta berjalan kembali mendekati Jamal, setelah ia meletakan nampan di atas meja yang jaraknya lumayan jauh dari ranjang anaknya.
"Kamu kenapa sih sayang?" tanya ibu Marta setelah ia mendudukan dirinya di tepi ranjang. Sorot matanya menatap iba ke wajah Jamal yang terlihat pucat. "Obat dari dokter pribadi kita apa sudah diminum?"
"Udah ma, tapi nggak ngaruh..." keluh Jamal.
"Emang yang kamu rasain itu apa?"
"Pusing ma, kayak orang mabok. Masuk angin kali ma."
"Terus kenapa nggak di makan sarapannya?" Tanya ibu Marta.
"Boro-boro mau makan. Liat nasi malah tambah mual. Pingin muntah," jelas Jamal. Wajahnya terlihat sangat frustasi.
Jawaban Jamal membuat ibu Marta mengerutkan kening, "jangan-jangan kamu bikin hamil anak orang lagi, Mal." Selidik ibu Marta. Ia tidak ragu lagi menebak lantaran sudah beberapa kali kedatangan tamu yang mengaku hamil oleh Jamal. "Soalnya kamu kayak orang lagi ngidam."
"Mana ada? nggak!" Tegas Jamal. "Lagian masak sih cowok ngidam. Aneh-aneh aja ih, mama."
"Eh... jangan salah. Dulu pas mama hamil kamu. Papa kamu juga ikut ngidam. Gejalanya persis kayak kamu. Liat nasih bawaanya mual, pingin muntah," jelas ibu Marta. "Sampe satu minggu papa kamu nggak keluar kamar."
"Hah? masak sih?!" ucap Jamal tak percaya. Soalnya ia ingat betul, kalau ia tidak pernah lupa selalu menggunakan kondom, atau alat pengaman tiap kali melakukan hubungan badan dengan beberapa permepuan. Jadi tidak mungkin sekali ada yang hamil diantara mereka, para perempuan yang pernah diajak begituan oleh Jamal.
"Mama ngaco," ucap Jamal.