Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Paperweight

🇮🇩Lilin_Merah
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.1k
Views
Synopsis
Disaat Larasati mulai menerima, ia memaksa dirinya untuk mengikhlaskan. Kemudian sebuah takdir menuntutnya untuk kembali mengikhlaskan. Lalu... mungkinkah ia bisa kembali menerima? Ini tentang Larasati... Tentang mengikhlaskan dan menerima....
VIEW MORE

Chapter 1 - Prologue

Perempuan itu menyipitkan mata saat pendar keemasan menyapa retinanya. Tak terasa sudah hampir petang saat ini. Buru-buru ia merapikan tumpukan kertas berisikan desain perhiasan yang sejak beberapa jam lalu ia periksa. Memalingkan kepalanya ke kiri dan menatap lurus ke jendela kaca, ia terdiam. Rekannya sudah pulang sejak satu jam lalu. Sebenarnya ia sudah ditawari untuk pulang bersama, tapi dia menolak dengan alasan jika dia harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini juga.

Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan, perempuan berambut panjang itu menarik sudut bibirnya. Saat ini sudah hampir memasuki musim hujan yang entah sudah ke-berapa kali ia lewati sendiri, dan ternyata tidak ada perubahan. Memang benar beberapa tahun ini ia melewatinya dengan baik-baik saja. Setidaknya baik-baik saja menurut versinya, tapi tidak bagi orang disekelilingnya. Bagi mereka perempuan itu sedang bersembunyi di balik topeng baik-baik saja yang selalu ia pasang agar membuat orang-orang yang melihatnya tidak khawatir.

Ia mengusap wajahnya resah, "aku baik-baik saja," lirihnya menguatkan diri. "Aku akan baik-baik saja... baik-baik saja... ya, baik-baik sa-" ucapannya terhenti dan berganti dengan isakan. Jika tadi ia merasa resah, kini ia merasakan rasa kehilangan yang teramat dalam hingga sanggup membuatnya susah bernapas seakan udara di sekitarnya berubah menjadi zat padat. Sesak, sakit, tapi juga hampa.

Ia putus asa, sudah hampir lima tahun tapi nyatanya rasa sakit karena kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya belum juga menghilang. Bahkan tidak berkurang sedikitpun. Sekeras apapun ia mencoba mengikhlaskan, ia tetap tidak bisa menerima keputusan yang menurutnya tidak masuk akal tersebut. Keputusan konyol yang membuatnya kehilangan pegangan dan juga sandaran.

Tanpa perempuan itu sadari seseorang tengah memerhatikannya dari balik kaca pembatas ruangan desain dengan koridor yang menghubungkan ruangan lainnya. Lelaki itu berdiri mematung. Ini sudah kesekian kalinya ia melihat perempuan itu sendirian di kantor pada saat bukan jam kerja. Sudah hampir dua tahun ia bekerja di perusahaan ini. Dan selama itu pula ia tidak pernah sekalipun berinteraksi langsung dengan perempuan berwajah sendu tersebut. Setahunya perempuan itu sangat ceria dan ramah, namun siapa sangka ternyata di baliknya menyimpan luka. Tersenyum dan tertawa di hadapan semua orang, tapi diam-diam menangis sendirian.

Lelaki itu menghela napas berat lalu mengembuskanya panjang. Masih berdiri dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Ia merasa aneh karena diam-diam memerhatikan bawahan yang bahkan tidak dikenalnya. Kebetulan saja beberapa hari ini saat ia melewati ruangan desain, ia tidak sengaja melihat ke arah ruang desain. Dan mendapati perempuan itu duduk termenung dengan wajah sendu. Ya hanya kebetulan saja.., batinnya membenarkan logika yang berputar-putar di kepalanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan desain. Meninggalkan si Perempuan yang sepertinya masih asyik menangis dan sendiri.