Larasati termenung di meja kerjanya. Delapan menit lalu Alissa menumpahkan kemarahannya dengan wajah keruh dan sangat tak bersahabat.
"Karena kecerobohan lo, gue dipecat!" Alissa menggebrak meja kerja Larasati.
"Apa yang mbak Lisa maksud? Bukankah itu memang hasil keringat Laras, kalau sampai ini terjadi, ini sama sekali bukan salah Laras," dengan gemetar Larasati berusaha membalas tatapan murka milik Alissa. Bukan salahnya jika kemarin Daniel menemukan desain asli milik Larasati sedangkan ia menerima draft desain dengan tanda tangan Alissa. Dan bukan salahnya juga jika ternyata Daniel mendengar perdebatan mereka tentang desain Larasati yang diakui Alissa sehingga menyebabkan Alissa dipecat dari Il Agnelli pagi ini.
"Jadi... anggap saja ini teguran Tuhan atas semua kelakuan curang yang mbak Lisa lakukan ke Laras," sambung Larasati yang dia akhiri dengan senyuman samar di bibirnya. Setidaknya biarlah... biar untuk sekali seumur hidupnya Larasati berani memperjuangkan haknya.
"Lo...." Alissa mengacungkan telunjuknya tepat di muka Larasati. Matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya. "Lo perempuan ga tahu diri!" Alissa menggeram penuh amarah, "Lo ga tahu terima kasih! Abis ini gue pastiin lo ga akan tenang. Bahkan untuk berdiri di atas kaki lo sendiri... lo ga akan sanggup! Gue pernah ngelakuin itu sekali... bukan berarti gue ga bisa ngelakuin lagi di hidup lo!"
Detik berikutnya Alissa menghempaskan isi meja Larasati. Membuat kertas, pensil warna dan spidol berhamburan lalu menginjaknya. "Lo perempuan hina. Bahkan Garda udah ngebuang lo," kata Alissa sesaat sebelum keluar dari ruangan dan membanting pintu setelahnya.
Seluruh tubuh Larasati gemetaran. Kedua kakinya seakan berubah menjadi agar-agar. Dadanya sesak karena kesulitan bernapas. Larasati mengerjapkan matanya beberapa kali. Butuh sekian detik untuk membuatnya memahami rentetan kalimat kasar yang Alissa muntahkan tepat di hadapannya. Dan... dan kenapa Alissa membawa nama Garda?
"Ras...." Sebuah suara menyadarkan Larasati. Nadiya, perempuan berjilbab yang tadi sempat menyaksikan kemurkaan Alissa, kini menatap Larasati penuh simpati. Wajah bulat telurnya sedikit menenangkan benak Larasati yang berkecamuk.
"I... iya mbak Nad?" sahut Larasati. Suaranya masih bergetar dan pelan.
"Minum dulu, jangan pedulikan apa yang dikatakan Alissa. Dia hanya sedang emosi. Dia tidak tahu apa yang keluar dari mulutnya," Nadiya mengangsurkan mug keramik warna hitam.
Larasati mengangguk dan menerima mug yang ternyata berisi teh manis. "Ras, abis ini sebaiknya kamu segera ke ruangan Mr. Daniel," kata Nadiya.
Laras mengerjap saat mendengar Nadiya menyebut nama Daniel. Setelah memahami maksud Nadiya, Larasati menganggukkan kepalanya. Kemudian ia merapikan kekacauan yang tadi diakibatkan oleh Alissa. Gerakannya linglung, sedangkan matanya kosong.
"Sudah Ras, biar aku aja yang ngerapiin. Buruan, kamu sudah ditunggu Mr. Daniel."
Larasati menghentikan gerakan tangannya. Kemudian bangkit dari posisinya yang berjongkok. Mengembuskan napas pelan, Larasati meletakkan kertas yang ada di tangannya ke atas meja. "Terima kasih mbak...." untuk teh dan pengertiannya, sambung Larasati di dalam hati. Larasati mengangguk samar kemudian berlalu meninggalkan Nadiya dan beberapa rekannya yang sedari tadi hanya memerhatikan Larasati penuh prihatin.
***
"Duduk," datar, tegas dan penuh penekanan. Tidak ada basa-basi ataupun keramahan. Membuat Larasati menciut dan mengambil gerakan mundur. Mendekat ke arah pintu yang belum ada semenit lalu ia tutup.
"Duduklah!" perintah Daniel lagi. Kali ini dia mengangkat kepalanya dari dokumen yang tadi dia periksa.
Dalam diam, Larasati menganggukkan kepala lalu berjalan menghampiri set sofa yang berhadapan dengan meja kerja Daniel. Suede lembut warna abu-abu terasa nyaman di tubuhnya.
Dua tahun bekerja di Il Agnelli dan baru kali ini Larasati masuk ke dalam ruangan creative director. Nyaman, meski hanya bernuansa monochrome. Hitam, putih dan abu-abu. Somehow... Larasati merasa jika sifat Daniel merupakan perpaduan dari ketiga warna tersebut. Sempurna, anggun, idealis, misterius, tegas dan tidak mudah ditebak jalan pikirannya.
"Kau sudah mengetahui tentang Alissa?" Daniel bertanya setelah sebelumnya dia meletakkan pena kecil yang ujungnya berkilat lancip.
"Ya, sir," jawab Larasati lirih. Ada sedikit rasa bersalah mengingat dulu Alissa yang mengulurkan tangan saat ia terjatuh, namun ada sebagian dari dirinya yang berseru bahagia. Akhirnya Alissa mendapatkan ganjaran atas tindakan semena-menanya.
"Apa otakmu terbuat dari bubur kertas? Begitu bodohnya hingga kau membiarkan saja Alissa mengakui desainmu?" Daniel bertanya dengan nada tinggi. Entah kenapa sejak dia mengetahui kecurangan yang Alissa lakukan pada Larasati, selalu saja ada amarah yang dia rasakan. Daniel merasa kesal karena Larasati tak membela diri dan seakan ikhlas saat Alissa mencuri desainnya. Daniel tak habis pikir dengan isi kepala Larasati. Apa gadis itu tak tahu kalau dia rugi besar saat Alissa mengklaim desain miliknya?
"Kurasa kau tidak punya otak." Daniel berdecak, "lalu bagaimana dengan harga diri? Apa kau juga tidak punya? Kau terlihat tak lebih dari seekor anjing yang akan menurut pada majikannya asal diberi makan dan minum teratur," lanjut Daniel. Matanya menyipit menanti reaksi Larasati.
Larasati terkesiap, perumpamaan kasar yang Daniel lemparkan padanya tak lebih dari sebuah kenyataan. Daniel benar, dia seperti anjing yang menurut pada majikanya. Dalam kasusnya, dia adalah si Anjing dan majikannya adalah Alissa. Alissa adalah majikan yang mencarikannya tempat kos yang murah setelah ia diusir dari kos lama tanpa sebab. Lalu Alissa memberinya makan dan membantunya mendapatkan pekerjaannya sekarang. Jika tanpa Alissa mungkin dia sudah menjadi gelandangan.
Daniel mengharapkan Larasati meledak karena ucapannya. Tapi yang ia dapatkan justru Larasati yang terdiam dengan sorot mata kosong. Tiba-tiba saja Daniel merasa menyesali ucapan kasarnya barusan. Lagi-lagi ia kehilangan kontrol dan lidahnya bertindak mendahului otaknya.
"Mulai besok kau menggantikan posisi Alissa," kata Daniel saat Larasati hanya diam, masih tak menanggapi kalimat pedasnya. "Kau bisa keluar sekarang dan tolong panggilkan Nadiya, aku ingin melihat konsep untuk booth baru kita di Grand Indonesia."
"A... anda benar sir. Saya memang tak lebih dari seekor anjing yang menurut pada majikannya," kata Larasati terbata. Kepalanya menunduk. "Lalu saya bisa apa saat mbak Alissa menuntut balasan karena dia yang mungut saya dari jalan?"
Daniel bersumpah dia dapat melihat mata Larasati yang basah. Dia terkesiap saat melihat raut tak berdaya dan terluka di wajah Larasati saat perempuan itu mengangkat kepalanya dan berlalu begitu saja dari hadapannya. Dalam hati dia bertanya, sebenarnya hidup macam apa yang perempuan itu jalani?
***
Larasati berjalan perlahan dengan tangan kiri menahan berat tubuhnya di dinding. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Perasaannya buncah antara marah dan juga terluka. Marah karena atasan yang tidak mengenalnya dengan baik itu mengumpamakan dirinya seperti seekor anjing. Dan juga terluka karena pada kenyataannya itu semua benar adanya.
Di lorong, dia bertemu dengan Ramli. Manager pemasaran yang terlihat gemulai itu sempat berhenti dan bertanya apa dia baik-baik saja. Namun Larasati tak mengacuhkan Ramli, dia terus berjalan dan berhenti di depan sebuah jendela kaca yang menyajikan keramaian ibukota.
Larasati memegang dadanya yang terasa sesak dan penuh. Laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu neraka macam apa yang harus Larasati lewati untuk bisa bertahan di Jakarta. Dimulai dengan terbangun di suatu pagi yang tenang dan normal hanya untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan.
Ayahnya tiba-tiba menghilang tidak bisa dihubungi. Lalu disusul dengan berhentinya kiriman uang serta tidak dibayarnya kekurangan biaya sekolah. Berjuang sendiri setelah biaya sekolah dan uang saku tak lagi ia dapatkan dari ayahnya. Terlunta-lunta saat diusir dari kos-kosan dengan hanya selembar uang sepuluh ribuan. Saat itu Alissa datang, membawanya pulang, memberinya makan dan kemudian membantunya mencari tempat tinggal. Bahkan juga mencarikannya pekerjaan.
Lalu apakah salah kalau Larasati menuruti segala keinginan Alissa? Meski sebenarnya ia jengah dan marah, namun apalah daya jika semua dihubungkan dengan hutang budi? Jadi tidak seharusnya Daniel menjulukinya seperti anjing yang menuruti majikannya. Bukankah itu terlalu kasar?
"Ras...." Sebuah suara memanggilnya, membuat Larasati mati-matian menahan gejolak di dada. Tidak perlu lama berinteraksi dengan Daniel untuk mengingat warna suaranya. Berat, beraksen dan datar. Setelah berhasil menguasai diri, Larasati berbalik dan langsung berhadapan dengan sepasang manik biru terang yang siang ini hampir serupa abu-abu. Daniel berdiri dengan rikuh, terlihat tidak yakin juga ragu.
"Maaf," lirih Daniel setelah beberapa kali ia hanya membuka dan menutup mulutnya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan Larasati. Sehingga ia bisa melihat mata Larasati yang berkaca-kaca.
Dan cukup begitu saja... cukup dengan maaf... air mata Larasati luruh, menitik di pipi dan berakhir jatuh di kerah kemeja. Biarlah, untuk sekali ini saja. Biarlah... untuk sekali seumur hidupnya Larasati menangis tergugu di hadapan orang asing yang hanya bersinggungan jalan di kehidupannya.
To be continued
AN:
Ini masih tulisan pemanasan ya, jadi maaf kalau dikit dan isinya gak banget. Rasanya kaku banget karena lama gak nulis. Doain supaya mood nya cepet stabil jadi bisa cepet updatenya. Oh ya sekali lagi saya mau bilang kalau ide dan plot cerita ini sudah saya tulis dari tahun 2013. Jadi harap maklum ya kalau isinya sudah jadul. It was so lame.
#kisskiss