Chereads / Paperweight / Chapter 2 - 1. Kamu Tidak Mengenalku

Chapter 2 - 1. Kamu Tidak Mengenalku

Langkah kakinya pelan, sedangkan matanya menatap kosong ke depan. Dan kedua tangannya memeluk erat sebuah tote bag warna hitam di dada. Dari kejauhan ia dapat melihat pak Sadi, satpam perusahaan membukakan pintu lobi untuk seorang laki-laki.

Laki-laki itu terlihat terburu-buru dan berlari ke arah Laras. Tak hati-hati sehingga pundaknya yang lebar dan keras menabrak Larasati. Seketika itu juga tas yang ada di pelukan Laras terjatuh dan menghamburkan isinya. Sedangkan si Laki-laki yang menabraknya, merasa tak perlu repot-repot membantu Laras, jangankan membantu atau meminta maaf, bahkan menoleh ke belakang pun tidak.

Mengembuskan napas kasar, Laras berjongkok dan memunguti kertas yang berisikan rancangan desainnya. Kemudian ia mendongak saat menemukan tangan lain membantunya. Ternyata Pak Sadi. Senyumnya cerah berbanding terbalik dengan cuaca hari ini, Pak Sadi menyerahkan tumpukan kertas yang berada di tangannya.

"Maaf ya mbak Laras. Pak Daniel memang begitu orangnya. Kaku nggak tahu adat," gerutu Pak Sadi membicarakan atasannya.

Laras tersenyum, membayangkan wajah kaku Daniel saat mendengar ucapan pak Sadi yang secara tidak langsung menghinanya. Daniel adalah Creative Director di Il Agnelli. "Terima kasih ya pak," ucap Laras pelan.

"Iya mbak sama-sama. Pulang malam lagi hari ini? Bawa payung nggak mbak? Hujan deres tuh," pak Sadi membalas ucapan terima kasih Laras dengan berondongan pertanyaan.

Laras mengerutkan keningnya kemudian menggeleng. Ia berniat menunggu hujan reda saat pak Sadi mengangsurkan sebuah payung berwarna hitam dengan logo Il Agnelli di satu sisinya.

"Bawa saja mbak Laras, nggak apa-apa dikembaliin besok," ujar pak Sadi yang sepertinya dapat melihat keengganan Laras. Sedikit rasa khawatir membuat pak Sadi dengan sukarela meminjamkan satu-satunya payung yang biasa ia gunakan saat hujan.

Laras mengangguk lalu berlalu setelah mengucapkan terima kasih kepada pak Sadi. Melangkah pelan melewati pintu lobi yang ditahan agar terbuka. Aroma hujan langsung menyeruak dan menginvasi indera penciuman Laras. Juga sesekali air hujan melenting mengenai wajahnya.

Menghela napas panjang, Laras mengabaikan rasa dingin yang menusuk tulang. Dengan langkah pelan ia membelah rinai hujan dan berjalan di bawah naungan payung hitam berlogo Il Agnelli.

***

Daniel memukul-mukul kecil kemudi dengan tak sabar. Berkali-kali pula ia mendengus gusar. Dalam hati ia merutuki letak Il Agnelli yang terbilang strategis namun menguras emosi karena berada dalam jalur macet.

Seperti malam ini contohnya. Baru saja keluar dari pelataran parkir ia sudah dihadapkan dengan lampu merah yang detiknya sangat panjang. Membuat Daniel yang sedang dalam keadaan terburu-buru harus ekstra sabar menghadapi gilanya jalanan ibukota.

Detik ke delapan puluh sembilan Daniel memilih pasrah. Setelah mengembuskan napas panjang, Daniel merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Mata biru bersemburat hijaunya menatap kaca mobil yang berembun.

Dapat dirasa oleh Daniel hujan yang seakan tak mau berhenti dan justru makin menjadi. Stereo mobilnya yang tengah mengalunkan lagu rancak bertema cinta namun tak memiliki satupun kata cinta tak juga dapat menghalau rasa bosan yang dirasakan Daniel.

Dialihkannya pandangan mata yang tadi menatap lurus ke depan menjadi ke arah kiri. Di sudut setelah lampu merah, sebuah rumah makan spesial nasi goreng mengundang Daniel untuk mampir barang sebentar.

Sepiring nasi goreng sapi lada hitam ditambah dengan segelas air jeruk hangat sepertinya sangat memanjakan lidah dan perut apabila dinikmati di kala hujan. Namun saat melihat antrian yang mengular, seketika itu juga perut Daniel berubah menjadi kenyang. Persetan dengan nasi goreng.

Kemudian mata Daniel kembali menyusuri trotoar yang sepi tak ada pejalan kaki barang satu orangpun. Dilihatnya penanda waktu yang terus berjalan hingga ke detik lima belas. Sebentar lagi, pikir Daniel lega. Tanpa sengaja Daniel menatap ke dalam halte bus trans Jakarta. Detik berikutnya Daniel terpaku pada seorang perempuan pucat berambut panjang, bermata sendu yang duduk sendiri sembari memeluk erat sebuah tas hitam di dadanya.

Perempuan yang sama, yang beberapa hari ini diam-diam ia perhatikan dari balik kaca pembatas ruang desain. Perempuan yang sama yang sore tadi membuatnya terburu-buru hingga melupakan dokumen Il Agnelli yang harus ia bawa pulang dan ia kerjakan di rumah. Perempuan yang sama yang ditabraknya di lobi.

Suara klakson yang terus dibunyikan membuat Daniel tergeragap. Cepat diliriknya lampu merah yang kini sudah berganti hijau. Sontak ia melepaskan rem dan menginjak pedal gas. Menjauh dari riuh klakson yang masih berbunyi tak sabar.

"Shit!" maki Daniel saat ia sadar jika bunyi nyaring memekakkan telinga itu ditujukan untuknya. Pengendara lain sudah tak sabar karena mobil Daniel tak segera beranjak meski lampu sudah berwarna hijau.

Setelah melewati belokan berikutnya, Daniel mulai sedikit santai saat mengendarai mobilnya. Bibir yang awalnya membentuk sebuah garis keras, kini mulai melentur dan mengulas sebuah senyum samar. "Namanya Laras," gumam Daniel.

***

Keluar dari lift di lantai tiga, Daniel mendapati sebuah pemandangan yang sangat kacau di paginya yang juga kacau. Diawali dengan bangun kesiangan lalu sarapan yang berantakan karena anjing peliharaannya mengacaukan meja makan, kemudian sekarang ditambah dengan puluhan kertas yang berhamburan memenuhi jalan yang akan ia lewati ke ruang maping yang biasa digunakan untuk pertemuan mendadak.

Sebentar lagi ia harus segera bertemu dengan departemen desain untuk membicarakan desain final line ready to wear Il Agnelli yang musim gugur ini akan dipasarkan ke London. Ia sudah terlambat sepuluh menit, dan kini ia harus dihadapkan pada kekacauan yang sangat mengganggu.

Daniel memilih diam. Berdiri tegak tepat di depan pintu lift dengan rahang mengeras menahan emosi. Namun ia lebih memilih menyimpan tenaganya dengan tidak mengamuk seperti biasa. Sejak pagi tadi tenaganya sudah terkuras. Dan sepertinya kurang bijaksana jika ia mengamuk tanpa alasan jelas pagi ini.

Seorang perempuan yang Daniel duga sebagai pelaku utama penyebab kekacauan terlihat memunguti kertas-kertas tersebut sambil sesekali menunduk dan menggumamkan kata maaf lirih. Kepalanya terus menunduk, namun dari suaranya yang lembut dan gestur tubuhnya Daniel tahu siapa perempuan itu. Perempuan itu adalah Laras.

Hebat, baru beberapa kali mendengarnya berbicara kau sudah menghafal jenis suaranya, Daniel merutuki dirinya dalam hati. Ada bagian dalam hatinya yang tergerak untuk ikut membantu Laras mengumpulkan kertas-kertas yang entah apa itu isinya. Namun Daniel mengurungkan niatnya. Ia tidak suka berjongkok, apalagi berlutut dengan kedua lututnya menyentuh lantai.

Daniel tetap memilih diam di tempatnya dan memerhatikan Laras sampai selesai. Tak lama kemudian Laras menghilang dari hadapannya dengan setumpuk kertas di tangannya. Daniel mengembuskan napas pelan. Kemudian Daniel berjalan ke ruang pertemuan yang terletak di ujung koridor yang ia lewati. Namun baru sembilan langkah Daniel menghentikan jalannya.

Sepatunya yang berkilat menginjak selembar kertas linen berwarna putih. Memutar matanya malas, Daniel membungkuk dan meraih kertas tersebut, alih-alih tak mengacuhkannya seperti apa yang biasa ia lakukan. Dilihatnya kertas tersebut berisikan sebuah desain baju. Jumpsuit dengan atasan model bustier berwarna royal blue di tumpuk dengan parka warna coklat bata. Di bagian bawah terdapat tulisan Warm Ready to Party.

Selain menilai betapa jeniusnya pembuat desain tersebut, Daniel juga dibuat terkejut saat mendapati tanda tangan berupa coretan pensil yang bertuliskan Laras Biru. Kecil, berada di bawah gambar ankle boot namun tak luput dari mata tajam Daniel.

Daniel menggenggam erat kertas yang seharusnya milik Laras. Pikirnya ia akan mengembalikan kepada Laras nanti setelah meeting dengan departemen desain. Daniel sudah sampai di depan ruang maping, baru saja ia akan membuka pintu namun ia mengurungkan niatnya saat Daniel mendengar suara dua orang perempuan beradu argumen.

"Kamu sudah melakukan perintahku?" kata suara pertama dengan nada bicaranya yang tak ramah.

"Su-sudah mbak,' suara kedua menjawab dengan nada takut yang kental.

"Bagus. Kemarikan semua desain milikku. Kamu... bisa duduk di sudut dan membuat notulen untukku." Perintahnya tak terbantahkan.

"Ta-tapi mbak, itu punya saya. Saya yang membuat semuanya. Bukankah seharusnya sa-"

"Diam! Masih bagus gue gak mecat loe. Loe harus inget, gua yang nyelametin loe malam itu. Gue yang ngasih loe baju dan makanan yang pantas, dan gue juga yang memaksa HRD buat nerima loe. Jadi loe cukup diam dan ngelakuin apapun yang gue minta. Termasuk ngeganti nama loe dengan nama gue."

"Ya... mbak."

Dan perdebatan di dalam ruangan berakhir. Menyisakan hening dan rasa tidak nyaman pada Daniel. Dadanya bergemuruh dan tangannya mengepal erat menahan amarah yang kapan saja siap menggulung apapun yang Daniel temui.

***

Laras duduk dalam diam. Sesekali jari lentiknya mencoret-coret buku agendanya. Menuliskan beberapa kesepakatan penting yang Alissa dan Daniel hasilkan. Sejak rapat dimulai ia hanya seperti seorang asing yang sama sekali tidak dikenal. Daniel hanya fokus pada Alissa yang pagi ini sangat memesona dalam balutan tube dress warna hitam yang membungkus tubuh rampingnya ketat. Sedangkan Alissa? Jangan tanyakan lagi. Seluruh departemen desain paham betul jika perempuan cantik itu tergila-gila pada atasannya, Mr. Daniel E. Haynsworth.

"Aku suka dengan semua desainmu nona Alissa. Semua tampak sempurna tanpa cela. Kurasa ini akan laku keras di pasaran," puji Daniel. Mata birunya menatap lurus ke Alissa dengan emosi yang sulit digambarkan. Sekian detik berikutnya Alissa tersipu dan salah tingkah.

"Ah, terima kasih banyak sir. Ternyata kerja keras saya terbayar karena anda menyukainya." Alissa tersenyum senang. Bahkan ia mencondongkan tubuhnya ke depan membuat dadanya yang besar terhimpit dengan meja.

"Jangan merendah, kau sangat berbakat. Dan Il Agnelli beruntung memilikimu," puji Daniel lagi.

Laras termangu. Ia menghentikan tangannya yang sedang menuliskan tanggal batas akhir desain diserahkan ke pabrik untuk segera diproduksi. Tanpa ia sadari jemarinya menekan keras permukaan kertas dengan bolpoin. Membuat lubang di permukaannya yang rapuh. Jantungnya berdegup kencang. Kepalanya sakit saat ia tak dapat membedakan emosinya sekarang. Marahkah dia? Kecewakah dia? Atau terluka?

Itu semua adalah hasil jerih payahnya. Semua desain itu adalah keringatnya. Apakah ia hanya diam saja saat seseorang memanfaatkan kelemahannya dan menindasnya? Diam, selamanya ia hanya bisa diam dan menerima.

Selamanya ia hanya seorang Larasati yang tidak ada artinya bagi orang lain. Selamanya ia hanya Larasati yang dianggap sampah menyusahkan yang tak pantas dipuji. Dilirik dua kalipun ia tak berhak.

Laras kembali menunduk dan berkonsentrasi dengan notulen yaang dibuatnya. Sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut Daniel mengganggu konsentrasinya.

"Apa nona itu asistenmu?"

Laras mengangkat wajahnya. Daniel menatapnya tak berkedip. Rasa kecewa menohok hatinya. Sudah dua tahun ia mengabdikan dirinya di Il Agnelli namun atasannya tudak mengenalinya. Kemudian mata bulat penuh ancaman Alissa membuat Laras kembali menunduk.

"Ya sir," jawab Alissa singkat sekan ia tak lagi ingin membahas ataupun menanggapi pertanyaan Daniel.

"Apa pekerjaannya?" tanya Daniel lagi. membuat Laras terkejut dan sontak menatap Daniel. Matanya terkunci ke dalam birunya manik Daniel yang sekarang terlihat makin menggelap.

"Hanya membantu-bantu. Terkadang saya memintanya mengantar desain ke pabrik di Kebayoran. Terkadang hanya membuat kopi dan membuatkan janji dengan pihak garmen."

Laras mengatupkan bibirnya erat. Sekuat tenaga ia menahan dirinya agar tidak berteriak mengungkap segala fakta bahwa dirinyalah yang selama dua tahun ini menggambar semua desain best seller di Il Agnelli. Bahwa dia juga turut andil terhadap peningkatan pendapatan di Il Agnelli yang berkembang pesat dua tahun belakangan ini.

"Siapa namamu nona?" tanya Daniel pada Laras.

"Larasati Banyubiru, sir." Laras menghindari mata Daniel, berusaha tidak terintimidasi dengan sorot mata Daniel yang tajam.

"Oh ya, ini milikmu bukan? Laras Biru?" Daniel membalik selembar kertas putih yang tadi di depannya. Kemudian menyerahkannya pada Laras. "Aku menemukannya di koridor, mungkin kau menjatuhkannya," tambah Daniel saat dilihatnya Laras membeku dengan tatapan kosong.

"Te-terima kasih," Laras segera menarik kertas bergambar desain baju yang semalam ia kerjakan sampai lembur tersebut dan melipatnya menjadi dua. Tangannya gemetaran, keringat dingin mulai muncul di kedua telapak tangannya. Ia tidak bisa membayangkan kemarahan macam apa yang akan Alissa muntahkan tepat di wajahnya nanti.

"Nona Alissa." Panggil Daniel dengan nada bicara sedingin es. "Setelah ini temui aku di ruang kerjaku!" titah Daniel tak terbantahkan lagi. lelaki itu bangkit dari duduknya. Berbalik menuju pintu keluar. Namun selang beberapa detik ia berbalik dengan langkah berderap. Kembali menghampiri Laras yang masih bingung dan Alissa yang terlihat shock.

"Kurang ajar!" sebuah makian yang disusul dengan terbaliknya meja maping membuat Laras melompat dari duduknya. Begitu juga Alissa yang kini berdiri merapat di dinding dengan wajah yang tak kalah shock dengan Laras.

Daniel mengamuk. Mata birunya menggelap sewarna kobalt. Rahangnya mengeras dan bibir tipisnya membentuk sebuah garis. Jika saja Daniel bisa mengeluarkan api seperti Zuco, mungkin sekarang Laras dan Alissa terpanggang hidup-hidup di ruangan maping.

TBC

Oh ya maaf juga bagi yang ngerti dunia fashion atau tata busana jika saya mengacaukan beberapa istilah. Maklum yeee saia anak boga. Hahaha

Enjoy yaaa #kisskiss