Chereads / Pelukan Sang Mantan / Chapter 3 - Pembohong Kecil

Chapter 3 - Pembohong Kecil

Satu minggu telah berlalu.

Pagi ini, seperti biasa, Narendra keluar dari kamarnya hanya mengenakan pakaian santai. Tidak seperti ayahnya yang setiap hari memakai pakaian rapi dengan sepatu hitam yang mengkilat. Keseharian Narendra hanya berdiam diri di rumah tanpa mau bekerja.

Untuk apa pergi ke kantor, jika uang dari ayahnya tidak akan pernah habis? Pikirnya.

Di lantai satu, Narendra melihat Hindra sedang duduk di meja makan, menyantap sarapan paginya sendirian. Ia menatap kiri dan kanan seolah sedang mencari sesuatu.

Terdengar Hindra menyapanya, "Narendra ... sudah bangun? Ayo makan bersama Ayah."

Naren segera berjalan menuju meja makan. Ia duduk di depan ayahnya.

"Bagaimana pekerjaan Ayah di kantor? Apa semuanya berjalan dengan lancar?" Narendra basa-basi mengatakannya. Matanya menatap piring yang ada di atas meja. Hanya ada dua piring di sana. piring milik Hindra dan juga piring untuk dirinya. Ia seolah mencari piring yang satunya lagi.

"Baik!" Hindra mengangguk sambil memasukkan sendok ke dalam mulut. Ia mengunyah sambil berbicara, "Kapan kau akan pergi ke kantor untuk menggantikan posisi Ayah?"

"Oh, itu ...." Narendra menggaruk kepala yang tidak gatal. "Nanti, kalau Ayah benar-benar tidak mampu lagi pergi bekerja," jawabnya sedikit bercanda.

"Apa kau menyumpahi Ayah?"

"Hehe, tentu saja tidak! Aku ingin Ayah selalu sehat," jawab Narendra dengan jujur.

"Oh, iya, Yah! Ngomong-ngomong, istri baru Ayah itu sekarang pergi ke mana?" Narendra pura-pura tidak mengenal Nastya. Dan ayahnya pun tidak tahu, bahwa wanita itu adalah mantan kekasihnya.

"Aku lihat, wanita itu hanya datang satu kali saja. Selama satu minggu ini, dia tidak ada lagi. Apa kalian bercerai?" Semoga saja seperti itu.

"Tidak!" jawab Hindra dengan santai. "Menikah baru satu minggu, masa sudah bercerai lagi. Haha!"

'Hah, tidak?' Padahal Narendra berharap mereka segera berpisah.

"Lalu, dia pergi ke mana?" tanyanya, tidak sabar.

"Selama satu minggu ini, dia berada di rumah sakit."

"Apa .... Di rumah sakit? Si-siapa yang sakit?"

'Hah ... Nastya sakit? Tapi, sakit apa?' Narendra bertanya dalam hati. Tidak mengerti, mengapa Nastya tidak pernah kembali ke rumah ini lagi.

'Apa dia sakit karena perbuatanku malam itu?'

'Dia masih marah atau tidak, ya?' Jika Nastya marah pun itu sangatlah wajar. Karena malam itu, Narendra menyiksanya sepanjang malam.

Jawaban dari Hindra berikutnya, sungguh mengejutkan pria itu, "Ibunya mengalami kecelakaan dua bulan yang lalu. Sekarang masih koma dan dirawat di rumah sakit."

"Apa? Ibunya kecelakaan? Koma? Dua bulan yang lalu? Bagaimana bisa?" Kata demi kata ia tanyanyakan untuk memastikan kebenarannya.

Dua bulan yang lalu, Narendra dan Nastya masih berhubungan. Tapi, Narendra tidak pernah mendengar bahwa ibunya mengalami kecelakaan. Dan malam itu ... Nastya bilang, dia dan Hindra menikah di rumahnya dan disaksikan oleh kedua orang tuanya.

Tapi mengapa sekarang ibunya dirawat di rumah sakit?

'Apa dia berbohong?'

"Ya, dua bulan yang lalu, kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Ayahnya meninggal dan ibunya koma. Rumah mereka harus dijual untuk biaya perawatan ibunya, hingga Nastya tidak memiliki tempat tinggal lagi. Itulah alasan, mengapa Ayah menikahinya dan meminta Nastya untuk tinggal di rumah ini."

Mendengar hal itu, Narendra terdiam. Ia mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut ayahnya.

*

Di ruang ICU rumah sakit, Nastya terdiam sambil menatap ibunya yang terkulai lemas di atas tempat tidur. Kondisinya masih sangat memprihatinkan. Ada gumpalan darah di otak yang mengakibatkan ibunya tidak sadarkan diri.

"Bu, apa yang harus aku lakukan? Rumah kita belum laku juga. Sedangkan, biaya perawatan cukup malah setiap harinya. Tabungan kita sudah menipis. Aku takut ... takut tidak bisa—" Air matanya menetes, mulutnya tidak sanggup lagi untuk berkata. Isak tangis mulai terdengar pelan. Rasa sedihnya tidak bisa ia bendung lagi.

Nastya bingung harus bagaimana. Walau ia punya kartu bank—tanpa batas penggunaan—pemberian dari Hindra, tapi, ia enggan untuk memakainya. Nastya bukan menjual diri demi uang, demi biaya rumah sakit ibunya. Tapi, berpura-pura menikah dengan Hindra karena ... ingin membuat Narendra marah.

"Buuuu ... maaf, jika aku anak yang tidak berguna. Maafffff ...." tangisnya dengan penuh kesedihan. Ia menunduk, membiarkan hingga air mata terus jatuh di atas pakaiannya.

Dunia rasanya sangat gelap dan sepi. Dirinya kedinginan dan sangat kesepian. Tidak ada lagi dekapan hangat dari orang yang dicinta. Kekasih ... ibu ... ayah ... bahkan saudara sendiri yang semestinya bisa dijadikan sandaran. Semuanya lenyap dalam sekejap mata.

'Aku harus bagaimana?'

Beberapa menit kemudian, terasa getaran pada ponselnya. Nastya segera menyeka air mata di wajah, mengambil ponsel dari saku celana, lalu melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Orang Gila." Nama itu yang ada di layar ponselnya saat ini.

'Untuk apa menghubungiku?' Setiap hari, Hindra selalu datang untuk menjenguk ibunya, membawa beberapa makanan untuk Nastya. Komunikasi mereka sangat lancar setiap harinya.

'Sekarang, anaknya menelepon, untuk apa?'

Walau enggan, tapi Nastya segera mengangkatnya. Menempelkan ponsel ke daun telinga tanpa berbicara.

Narendra menyapa setelah sekian detik hening, "Halo! Nastya, apa kau mendengarku?"

"Ya, ada apa?" Suaranya terdengar sangat berbeda.

"Apa kau menangis?" Narendra menyadari akan hal itu. Suaranya terdengar habis menangis.

"Bukan urusanmu!"

"Aha, ya ... kau benar. Ini sama sekali tidak ada urusannya denganku." Narendra tidak mau terlihat kalah di depan Nastya. "Aku menghubungimu, ada sesuatu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu."

"Apa?" Jawabannya masih saja datar. Terlihat bahwa Nastya enggan berurusan lagi dengan Narendra—mantan kekasihnya.

"Kita bertemu sekarang. Tidak enak berbicara di telepon."

"Tidak bisa!"

"Mengapa tidak bisa?"

"Aku sibuk!" Lebih tepatnya, Nastya tidak ingin bertemu bahkan berbicara dengan pria itu.

"Baiklah! Jika kau sibuk, aku saja yang datang ke tempatmu." Narendra pun tahu, di mana keberadaan Nastya sekarang. Jika wanita itu tidak bisa bertemu, ia akan datang menemuinya.

"Untuk apa datang ke tempatku? Bukankah kita sudah tidak ada hubungan lagi? Itu artinya, sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan."

Mendengar penolakan dari wanita itu, jelas Narendra tidak suka. Ia berkata penuh ejekan, "Hem, tidak ada hubungan? Bukankah sekarang kita adalah ibu dan anak? Kau sendiri yang bilang, aku harus memanggilmu 'Mama', kan? Itu artinya, hubungan kita sangat dekat."

"Naren!" teriak Nastya tiba-tiba. "Mana ada anak tiri yang tega meniduri istri ayahnya sendiri!"

"Hey, itu sebagai hukuman karena ibu tiriku seorang pembohong kecil." Walau Narendra berkata dengan sinis, tapi ada sedikit kebahagiaan di hatinya. Nastya masih memanggilnya dengan sebutan Naren, panggilan sayang ketika mereka masih berpacaran.

"Siapa pembohong kecil?"

"Kau ...." jawab Narendra dengan tegas. "Kau berbohong ... mengatakan bahwa kalian menikah di rumahmu, disaksikan oleh kedua orang tuamu. Nyatanya, rumahmu dijual dan orang tuamu—" Narendra tidak melanjutkan ucapannya.

"...."

Tidak terdengar suara dari seberang telepon, Narendra berkata dengan pelan, "Tya ... ayo kita bicara. Aku tunggu kau di restoran samping rumah sakit."

Klik!

Sambungan telepon ditutup.