Parman memperlihatkan barisan giginya yang sudah ompong seraya menggelengkan kepala. "Tidak tahu, Tuan," ucapnya.
"Tidak Akang tanya untuk apa foto-foto itu?" tanya Hanjo pula. Kemudian ia merasa itu pertanyaan bodoh. Sebab ia sudah tahu jawabannya.
"Mana berani saya nyata begitu, Tuan."
Persis seperti jawaban yang ada di kepala Hanjo. Pria itu menyungkupkan telapak tangan di mulut. Ia menyeringai.
Hanjo membathin, aku sendiri juga tidak mungkin bertanya pada mereka. Mau difoto, mau digambar atau mau divideokan sekali pun tidak ada masalah. Toh, itu kepunyaan mereka. Milik orang tua mereka.
Meski begitu, Hanjo menjadi malu juga dengan kesimpulannya semula. Ia sudah mengklaim bahwa situasi aman terkendali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, nyatanya situasi malah tidak terpantau. Dan berkemungkinan besar tidak aman. Tidak terpantau dan tidak aman. Sangat beresiko sekali.
"Besok-besok kalau anak Mami itu datang ke sini selagi aku tidak ada, Akang telepon aku. Kasih tahu aku," ujarnya yang dijawab Parman dengan anggukkan tanpa suara.
Namun kemudian Hanjo merasa pula itu perintah yang bodoh. Mau datang atau tidak. Mau bermalam atau tidak. Mau apa pun mereka di rumah ini. Tidak ada haknya melarang. Mereka di rumah mereka.
"Kenapa tidak tanya langsung, Tuan. Apa maksud mereka?" tanya Parman.
Hanjo melirik cepat. Ingin ia menyembur pria kerempeng itu. Tapi kejengkelan Hanjo mengirap setelah melihat wajah yang keriput memandangnya dengan tatapan lugu. Gantian ia malah memaki dirinya sendiri.
"Ya, kenapa tidak aku tanya langsung ya," katanya seakan pada dirinya. Hanjo menyalahkan dirinya mengapa ia tidak menanyakan itu pada dirinya.
Beberapa saat kemudian ketika Parman pamit mau melanjutkan kerjanya, Hanjo membiarkannya. "Udah, kerja lagi, Kang.
Kang Parman berlalu, Hanjo duduk termangu. Tidak berselera lagi ia merokok. Masih banyak. Sudah habis separoh bungkus, tidak ada didapatkannya solusi itu. Rokok seakan tidak berpihak kepadanya. Justru kepalanya makin mumet met.
Hari ini Sabtu. Tidak ada aktifitas kerja. Ia juga tidak punya agenda. Apalagi masih pagi. Berada di rumah dengan pikiran tidak jelas begitu, tiba-tiba ia teringat seseorang. Ya, kenapa tidak bikin acara berduaan dengan gadis itu. Suntuk-suntuk begini.
Hanjo bersorak menyuruh Bik Sumi mengambilkan HP-nya di kamar. Beberapa saat kemudian, Bik Sumi menyerahkan HP. Usai memencet nama seseorang di layar HP, Hanjo mengibaskan tangan menyuruh Bik Sumi menjauh.
"Aku tunggu di hotel. Sekarang," ucap Hanjo begitu HP tersambung dan seseorang di seberang sana mengucapkan kata 'hallo sayang'.
Hanjo tidak menjawab. HP dimatikannya. Bergegas masuk rumah, Hanjo langsung ke kamar mandi. Dari nyanyian dengan suara cemprang yang terdengar dari kamar mandi, Hanjo seperti gembira sekali. Pikiran sumpeknya tentang aktifitas anak Mami agaknya ikut terguyur air yang mengucur dari shower.
Tidak sampai setengah jam kemudian, ia sudah berada di kamar hotel. Hotel berbintang dengan kamar kelas atas. Terlihat dari interior kamar yang ada ruang tamu sebelum sampai ke ruangan tidur.
Usai mengeluarkan dua botol bir kaleng dalam kulkas, ia melompat dan merebahkan badan di atas spring bed. Diputarnya televisi yang menayangkan nyanyian. Nyanyi gembira lengkap dengan goyangan para penarinya.
Habis sudah dua kaleng bir. Berganti sudah beberapa nyanyian di televisi. Namun yang ditunggunya belum datang juga.
Hanjo memencet layar HP. Namun belum tersambung dimatikannya lagi. Hanjo berteriak melemparkan HP. Ia berdiri dan mengeluarkan minuman lagi. Beberapa kaleng. Bir dan minuman lainnya. Kemudian ia kembali melompat ke spring bed.
Minum lagi sambil menyaksikan goyangan seronok penyanyi berkulit hitam. Habis beberapa kaleng, didengarnya suara bel kamar berbunyi. Bergegas ia menuju pintu. Dibukannya dengan cepat.
"Kenapa lama kali?" ceracaunya begitu pintu terbuka.
Seseorang yang datang mengembangkan kedua tangannya. "Aduh, pagi-pagi sudah kebelet," ujar gadis itu.
Hanjo tidak bersuara. Ia menubruk. Namun si gadis tidak mengelak. Dibiarkannya saja serudukan kepala yang datang dari samping wajahnya. Dibiarkannya juga terpaan bibir yang bergerilya di ujung mulutnya.
"Udah. Tutup dulu pintunya," ujar gadis itu setelah mulutnya terbebas dari sergapan.
Sonia, gadis itu, menutup pintu. Ia tertawa melihat wajah yang keras dengan mata menyipit. Ia paham situasi.
"Santai dulu, bos. Jangan kesusu," katanya seraya melenggok masuk. Hanjo mengiringi.
"Woi, sudah habis beberapa botol. Kehausan kali ya." Sonia geleng-geleng melihat kaleng minuman yang berserakkan di atas spring bed.
"Kamu itu yang lama betul datangnya," kilah Hanjo.
Sonia membereskan kaleng minuman yang bertebaran. "Maklum saja pake mobil sewaan. Konek dulu. Dipesan dulu. Jaringan lelet lagi. Ditunggu lagi. Baru berangkat," sebut Sonia seraya menyandarkan badan pada Hanjo. Pria itu membuka tangan mendekapnya.
"Ada cara biar tak pake lama." Sonia makin merapat. Ia bermaksud memainkan jurus menghadang tendangan kebelet.
"Apa?"
Gadis itu melepaskan badannya ke samping. "Tanya, tanya saja tak berguna."
"Apa?" tanya Hanjo menaikan dagunya.
"Betul mau tahu? Mau solusinya?"
"Iya, apa?"
Sonia cengengesan. Ia seakan mencari kata-kata. "Mobil. Kasih aku mobil dong," ucapnya dengan bibir berputar-putar.
Hanjo menarik badannya. Terkejut.
Tapi bukan Hanjo orangnya bila ia tidak sigap bermanuver. Hanya dua atau tiga detik ia terkejut. Detik berikutnya iIa segera tertawa menekan keterkejutan. "Oh, kalau itu soal kecil. Bisa diatur," cerocosnya.
Sonia menaikkan kepalanya memandang pada Hanjo. "Betul?"
Hanjo kembali tertawa. "Bisa diatur," ulangnya.
"Bisa diatur. Bisa diatur. Tapi kapan diaturnya?"
Tawa Hanjo terhenti.
"Nah kan. Terkejut," kejar Sonia cepat.
"Bukan terkejut."
"Keberatan."
"Ah, mana berat. Kerempeng begini. Ringan, kok," ujar Hanjo mengalungkan kedua tangannya berusaha mengangkat badan Sonia.
"Bukan berat aku. Tapi keberatan dengan solusi itu."
Hanjo menarik nafas.
"Ya, sudah kalau keberatan." Sonia melepaskan badannya. Ia berdiri lalu melangkah ke kulkas mini di sudut ruangan. Ia dikeluarkannya sekaleng minuman sari buah. Duduk di kursi di bawah jendela kaca. Ia melanjutkan jurus memancing masuk perangkap.
Berlangsung kebisuan beberapa menit. Seperti yang sudah diduganya, Hanjo tidak tahan. Hanjo mendekati perangkap yang sudah dibuatnya. Ia turun dari spring bed dan mendekati Sonia. Duduk di samping gadis itu.
"Bukannya keberatan, sayang," ujar Hanjo menahan nada bicara. "Bisa diatur itu sudah ada kepastian," tambahnya.
Sonia memandang saja tanpa suara.
"Abang janji ya. Pasti. Yang belum pasti soalnya waktunya. Kamu tunggu saja."
Senyum Sonia sedikit merekah. "Betul. Janji?"
Hanjo mengangguk. Serius.
Sonia yakin itu anggukkan yang serius. Makanya ia segera berdiri. Lalu menghambur ke dalam pelukan.
Dan seperti sudah ada kesepakatan, keduanya tidak lagi bersuara dengan kata-kata. Tetapi dengan gerakan. Gerakan tangan. Jari. Mulut. Lidah. Semuanya. Semua yang dapat bergerak. Tanpa suara. Yang terdengar hanya desahan. Decapan. Atau suara nafas yang memburu.
Kesepakatan berikutnya saling melepaskan. Melepaskan segala yang dipakai. Semuanya. Tidak ada yang tertinggal.
Bila kemudian lantai kamar hotel berubah menjadi tempat pakaian berserakan, Hanjo dan Sonia tidak keberatan. Keduanya malah suka. Sebab tidak ada lagi yang menghalangi. Keduanya bisa berlaku sesukanya.
Ditengah pendakian, Sonia masih sempat mengingatkan. "Jangan lupa dengan janjinya," ujarnya di antara nafas yang memburu.
"Ho oh, ho oh!" dengus Hanjo dengan anggukan. Tak hanya anggukan kepala. Tapi juga seluruh anggota tubuhnya.