Penampilan Hardiman necis sekali. Pakai jas simpel warga biru tua. Membalut koas ketat di dalamnya. Berwarna biru dengan terang. Tetap dengan celana kesukaannya. Jeans gombrong. Di bawah, sepatu kets bermerek. Warna hitam. Bercampur dengan garis-garis biru.
Hardiman mematut dirinya di depan kaca. Rambutnya basah berkilat. Ia suka dengan model rambut ini. Sebelum berangkat kemarin ia potong rambut. Di barber shop yang baru dua kali didatanginya, mereka menawarkan model lain. Beda dari potongan sekarang.
"Nama model potongannya comma hair. Potongan ini sekarang tengah trend di Korea. Cocok sekali dengan raut muka Abang agak bulat. Aku jamin tampilan Abang jauh lebih muda," ujar tukang potongan yang baru dikenalnya.
Hardiman tidak memperhatikan betul soal potongan rambut. Pendek, rapi dan wangi sudah cukup baginya. Namun ia tertarik juga menerima tawaran tersebut. Biar tampil beda dari biasanya.
Dipandanginya memang berbeda. Perbedaan yang sangat oke. Hardiman merasa perlu berterima kasih pria pemotong rambut itu.
"Wow, model baru rambutnya, Bro. Barusan dipotong?" tanya Hanjo yang keluar dari toilet melihat Hardiman membetulkan sisiran rambut dengan tangan.
Hardiman kembali memandangi rambutnya sebelum menoleh pada Hanjo. "Barusan, potong di mana? Dari kemarin dah macam ini rambutnya aku," ujarnya.
"Tapi model ini potongan baru kan?"
"Sebelum berangkat aku potong rambut," jelasnya.
"Kenapa kemarin tidak terlihat ya. Mungkin karena sibuk dan banyak agenda. Sampai tak sadar Bro dengan penampilan baru, hehehe..." Hanjo tertawa.
Hanjo memasang pakaian. Kemeja lengan panjang kotak-kotak. Macam baju para koboi. Pasangan yang idealnya tentulah jeans juga.
"Bro," panggil Hardiman tanpa menoleh. "Yang dua ini sudah dipastikan betul statusnya? Jangan sampai hilang pagi pula."
"Udah. Aku sudah ngomong langsung sama Marlon. Mereka memang anggota dia."
"Kenapa baru sekarang datangnya?"
"Itulah salah komunikasi. Aku bilang Jumat malam. Tapi didengarnya Sabtu malam. Maka itu baru hari ini mereka datang," jelas Hanjo menyampaikan hasil percakapannya dengan Marlon.
"Lalu cewek dua kemarin itu?"
"Itulah yang sampai sekarang aku belum ketahui. Tidak ada yang kenal dengan mereka. GM Resort ini aku tanya, pun mengaku tidak tahu. Misterius sekali," sebut Hanjo.
"Jadi betullah dugaan aku itu. Mereka cewek yang butuh hiburan. Kebetulan jumpa dengan kita. Setelah terhibur dan hati gembira mereka pun cabut. Mereka memang mencari hiburan saja," tutur Hardiman pula.
Hanjo pun sedugaan dengan Hardiman. Namun ia merasa ada keanehan juga. "Tapi mereka tahu dengan nama kita berdua," ujar Hanjo menyampaikan keheranannya itu.
"Tentu mereka mencari tahu dulu sebelum datang ke kita. Mereka tanya di resepsionist atau di mana. Itu mah gampang. Survei dulu sebelum turun ke lapangan," ujar Hardiman seraya memastikan tidak ada masalah apa-apa dengan mereka. "Mereka datang sendiri. Tidak dibooking."
"Udah. Udah. Biarkan saja itu. Sudah pergi pun." Hardiman kemudian terkekeh. "Mereka berdua ini yang perlu dipikirkan," katanya.
Hanjo pun tertawa. Kemudian ia menggelengkan kepala. "Heh, ini tak perlu dipikirkan. Sama sekali tidak perlu."
"Kenapa?"
"Cukup dipakai saja. Tidak perlu dipikirkan!" tegas Hanjo memasang wajah serius.
"Betul. Betul. Salah aku," Hardiman mengaku. "Dipakai saja. Tidak perlu dipikirkan," ulangnya tanpa bisa menahan tawa. Ia tertawa panjang. Diikuti Hanjo.
Dan tawa itu baru berhenti ketika seseorang nongol di balik pintu. Seseorang berambut sebahu, berwajah mulus.
"Meriah betul tawanya. Apa yang lucu?" tanya wanita cantik dengan tiga i itu.
Tawa keduanya terhenti. Hardiman menunjuk Hanjo. Hanjo menunjuk Hardiman. Sama-sama berkata: "Dia yang lucu." Keduanya kembali tertawa. Keduanya memang lucu.
"Hei! Ada apa? Ramai sekali tawanya?" tanya Selly yang kemudian masuk kamar.
Hanjo dan Hardiman saling pandang. Lalu serentak menunjuk pada Selly. Tidak mau ketinggalan. Rere pun ikut menunjuk.
"Lucu. Lucu," ujar mereka bertiga berbarengan. Lalu tertawa. Terpingkal-pingkal. Ketiganya. Hanya Selly yang diam. Bengong dia.
"Sudah. Sudah," kata Hardiman kemudian seraya memegang perut. "Lapar aku. Ayo kita makan," ajaknya.
"Makan di sini aja. Minta antarkan," sebut Selly. "Ngapain mesti jauh-jauh ke restoran."
Hanjo dan Hardiman kompak lagi. Sama-sama menggelengkan kepala. "Tidak mantap di sini," ujar Hardiman.
"He he, ketahuan. Baru kali ini kalian ke sini," tebak Hanjo.
Kedua gadis itu sama-sama tersenyum. Mengakui.
Begitu tiba bangunan restoran yang lebar dan tinggi dengan laut terbentang di depan, keduanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan menolak. Tapi takjub. Tak menyangka. "Woi! Bagus sekali. Sangat bagus!" teriak Rere.
"Tidak hanya bagus. Tapi juga romantis. Lihatlah laut dengan lampu-lampu kapal itu!" tunjuk Selly ceria.
Selly dan Rere mengakui. Tidak ada apa-apanya dibandingkan di kamar. "Rugi sekali kalau makan di kamar."
Kedua gadis itu makin takjub tatkala terlihat oleh mereka sudah terhampar menu makan malam di atas meja. Menu makan malam yang lengkap dan sempurna. Perlu selembar kertas untuk mencatatnya.
"Di sini meja kita?" tanya Selly seakan tidak bisa menahan rasa heran.
"Bukan," jawab Hardiman. "Itu mejanya Hanjo dengan Rere."
Hanjo dan Rere yang tegak bergandengan, tertawa. Mereka duduk. Lalu Hardiman. Kemudian Selly duduk tersipu.
"Sepertinya sudah sering ke sini," ujar Rere.
Hardiman dan Hanjo saling pandang lagi.
"Tentu lebih bila dibandingkan dengan kalian," sebut Hardiman setelah Hanjo yang ditunggunya tidak bersuara juga.
"Ya iyalah. Kami baru kali ini," aku Rere.
Tentu tidak perlu waktu panjang untuk menghabiskan menu yang tersedia. Meski memenuhi meja, enaknya minta dihabiskan segera.
"Apa agendanya lagi, Bro?" tanya Hanjo setelah membakar rokok.
"Usai makan kerongkongan aku pun terasa gatal," jelas Hardiman.
Hanjo paham dengan kata melereng itu. "Tidak masalah. Kita habiskan dulu yang terbakar ini," ujarnya.
"Suka nyanyi?" tanya Hardiman pada Selly.
"Kalo itu Rere ratunya," tunjuk Selly pada Rere.
Rere tersenyum. "Dia juga jago."
"Ya, jago teriaknya."
Masuk ruang pub, Hanjo memilih meja paling belakang. Di sudut. Sebelum masuk ia sudah mengancar-ancar akan memantau isi pub. Melihat semua tamu. Mencari-cari kedua cewek misterius itu. Jangan-jangan mereka masih masuk.
Untuk itu tentu harus duduk paling belakang. Sebelum duduk pun ia sudah mengedarkan pandangan. Belum banyak tamu pub. Baru lima atau enam meja yang terisi.
Berada di pub tentu Hardiman tokoh utamanya. Hanjo hanya sebagai pemeran pembantu. Membantu menghabiskan minuman. Hal itu menyebab ia punya kesempatan banyak untuk melepaskan mata. Tampak meja yang kemarin malam mereka tempati masih kosong. Belum terlihat orang yang dicari-carinya.
"Ayo nyanyi. Kamu duluan," kata Rere pada Selly.
"Mesti ratu yang duluan. Penghormatan untuk ratu."
"Aku?" tanya Rere memandang dirinya.
"Ya, kamu. Siapa lagi?"
Rere memandang Hanjo, Kemudian Hardiman. Seakan minta persetujuan.
"Ya. silahkah. Kalau mantap aku kasih hadiah," janji Hardiman.
"Apa hadiahnya?" tanya Selly.
"Apa yang kalian mau?"
Gantian Selly dan Rere yang saling pandang.