Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 31 - Menghabiskan Malam di Pinggir Laut

Chapter 31 - Menghabiskan Malam di Pinggir Laut

"Oke," ujar Rere segera berdiri. "Aku nyanyi. Selly yang bilang apa hadiahnya."

Tanpa menunggu aba-aba, Rere berjalan ke depan. Menyusuri beberapa meja, ia pun tiba di sebelah meja keyboard organ. Belum ada yang nyanyi. Pemain keyboardnya sudah stand by.

Segera mengalun "We were both young when I first saw you, I close my eyes and the flashback starts, I'm standin' there... dari bibir Rere. Ia memandang dengan senyuman pada Hanjo, Hardiman dan Rere.

Mendengarkan tiba bait pertama lagu itu, Hardiman sudah bisa menebak kualitas suara Rere. Kualitasnya sebagai penyanyi. Jauh di atas prediksinya. Hardiman kenal dengan lagu itu. "Love Story" yang dipopulerkan Taylor Swift.

Hanjo dan Rere terlihat menikmatinya. Keduanya seperti sudah akrab dengan nyanyian itu. Meski mereka sama-sama tidak tahu apa judulnya dan siapa penyanyinya. Sejumlah tamu pub lainnya juga mengalihkan perhatian mereka pada penyanyi yang tengah tampil.

Hanjo tidak hanya menikmati dengan pendengarannya. Tetapi dengan penglihatannya. Sebab, dari jauh makin terlihat bodi Rere yang proporsional untuk seorang wanita. Terlebih ia memakai gaun yang ketat.

Oh, oh, oh, oh,

Cause we were both young when I first saw you.... Rere mengakhiri nyanyiannya.

Hardiman berdiri. Ia memberikan aplaus dengan tepukan tangan yang panjang. Hanjo yang tersentak dari lamunannya pun berdiri. Bertepuk jangan juga. Selly lebih dari itu. Tak hanya bertepuk tangan. Terdengar suaranya melengking memberikan pujian.

Sejumlah tamu yang duduk di bagian depan, tidak hanya memberikan tepukan. Mereka malah minta Rere melanjutkan nyanyian kedua.

Rere tentu dengan senang hati menambah lagu. Satu nyanyian saja belum cukup. Apalagi ia merasa tertantang dengan janji Hardiman. Lalu mengalun tembang cinta Rossa, "Kamu Yang Kutunggu".

Tidak berlebihan bila menyatakan Rere sebanding dengan Rossa. Tetapi Hardiman menjadi tak sepenuh hati menikmatinya. Pikirannya bercabang. "Wah, terpaksa mengeluarkan hadiah nih," ucapnya dalam hati.

Begitu Rere kembali dan duduk di sebelah Hanjo, Selly langsung bertanya, "Bagaimana? Sesuai dengan patokan?"

"Lebih malah," jawab Hardiman jujur. "Apa mau hadiahnya?" tantangnya.

Rere tersenyum. Memandang pada Selly. Gadis itu segera mendekatkan mulutnya ke telinga Hardiman. Ia membisikkan sesuatu. Hardiman tertawa mengangguk. "Oke, oke!" ujarnya.

"Apa?" tanya Hanjo.

Selly menggeleng. "Rahasia. Rahasia," tuturnya seraya tertawa.

"Hanya kami berdua yang tahu," tambah Hardiman sengaja membuat Hanjo kian penasaran.

Rasa penasaran itu kemudian justru berpindah. Gantian Hardiman dan Selly yang berkerut dahinya. Setelah Hardiman selesai nyanyi dua lagu, Hanjo masih tetap bertahan.

"Di sini saja," katanya menjawab pertanyaan Hardiman.

"Bro mau nyanyi?" tanyanya.

Hanjo menggeleng.

"Kamu mau nyanyi?" tanya Hardiman pada Selly.

"Ah, enggak." Selly mengelak.

"Lalu? Tidak melanjutkan acara ke tempat lain?"

"Di sini saja. Mendengarkan nyanyian," sebut Hanjo.

Meski heran, namun Hardiman tidak menolak. Ia mendiamkan mulut dengan meneguk minuman.

Hanjo bertahan duduk guna menuntaskan rasa penasarannya dengan dua cewek misterius kemarin malam. Ia berharap mereka datang ke pub. Dan ketiga orang ini tentu tidak perlu tahu, pikirnya.

Sejam. Dua jam. Sampai tiga jam. Tidak terlihat dua cewek misterius itu. Setelah meyakinkan dirinya bahwa kedua cewek itu sudah pergi dan tidak berada di pulau ini lagi, Hanjo memberi kode pada Hardiman untuk ke luar pub.

"Ke mana?"

"Balik ke resort."

"Kembali ke kamar?" tanya Hardiman. Ia mau protes. Masih panjang malam. Mengapa cepat betul kembali ke kamar? "Tidak ada agenda lagi?"

Hanjo menggeleng. Hanjo menelan kekecewaannya. Tapi ia segera tersenyum. Ia bisa menebak keinginan Hanjo. Pasti mau ke ruang karaoke.

Masuk melalui pintu belakang, Hanjo terus melangkah ke arah ruang tamu. Tidak berbelok ke ruangan karaoke.

"Tidak ke ruang karaoke, Bro?" tanyanya.

Hanjo terus melangkah. Seakan tidak mendengarkan. Tidak pula duduk di ruang tamu atau ke sudut mini bar. Berjalan ke luar. Ke arah kolam renang.

Heh, apa mau mandi malam-malam ini? Hardiman heran mengiringi. Di belakangnya Rere dan Selly.

Halaman depan resort temaram. Lampu-lampu bersinar dengan lemah. Langit cerah dengan rembulan yang masih setengah.

Hanjo terus berjalan. Melewati kolam renang. Hanjo melangkah dengan bingung. Sohibnya itu terkadang memang susah ditebak. Mau apa lagi?

Di belakang rumpun bunga yang dipotong rapi setinggi setengah meter lebih, Hanjo berhenti. Ia menunggu Hardiman, Rere dan Selly.

"Di sana agenda kita lagi, Bro," tunjuk Hanjo pada hamparan karpet di sebelah rumpun bunga.

Hardiman terkejut. Di depannya, di atas pasir, terbentang karpet berwarna merah. Di tengah karpet ada meja rendah. Meja oshin. Tidak bulat. Tapi persegi empat. Di atasnya tertata puluhan botol minuman. Kacang. Roti. Mie gelas. Snack. Gelas. Di ujung karpet ada meja lagi. Di atasnya tertegak dua speaker aktif. Besar. Berwarna hitam.

Memandangi itu semua, tawa Hardiman pun pecah berderai. Dia betul-betul susah ditebak. Penuh ide dan kejutan. "Mantap. Mantap, Bro," tepuk Hardiman pada bahu Hanjo.

Rere dan Selly pun tercengang dengan apa yang lihat. "Untuk pesta sampai pagi ini. Lengkap sekali," sebut Selly tanpa menyembunyikan kegembiraannya.

Maka begitulah. Pesta malam minggu di pinggir laut itu pun bermulai. Gelas-gelas segera terisi minuman. Botol-botol menjadi kosong. Kacang-kacang terbuka kulitnya lalu bertebaran. Bungkusan roti dan snack disobek. Musik pun memecah kedinginan malam.

Tidak hanya itu. Keempatnya pun sibuk dengan agenda tanpa kata-kata. Tangan mereka seperti ombak yang silih berganti datang. Mengelus bebatuan, membelai pasir dan menusuk-nusuk celah karang. Berulang dan bergantian.

Ketika angin darat berhembus menuju laut, hempasan itu tidak berkurang. Malah seakan hendak melawan. Helusannya kian kuat. Balaiannya makin kencang. Kini bahkan disertai dekapan ombak pada pantai yang rebah memanjang. Sesekali menggelinjang seolah hendak melepaskan diri. Padahal, seperti pantai, ia tetap menunggu ombak datang lagi.

Seakan ikut memberikan dukungan terhadap aktivitas alam itu, irama yang keluar dari speaker pun berganti. Tidak kencang menggebu atau keras meledak lagi. Terdengar sendu mendayu. Resah mendesah.

Anehnya, rembulan di atas yang masih setengah, justru melihatnya bagai perkelahian. Bagai sebuah pertarungan gaya bebas. Saling bergumul. Silir berganti melepaskan tangan. Mencari-cari apa yang mungkin dipegang, diremas atau ditusuk.

Kaki saling menerjang. Gantian membelit dan mengunci. Hingga sang lawan tidak bisa bergerak. Tidak bisa melepaskan diri. Tidak hanya tangan dan kaki. Kepala, mulut dan bibir pun ikut serta. Betul-betul pertarungan sesuka hati.

Pertarungan itu sepertinya akan berlangsung panjang. Seimbang. Sangat berimbang. Sekali tersudut dengan desakan kaki dan tangan, begitu bisa berkelit dan melepaskan diri. Maka detik berikutnya balas melancarkan serangan balasan. Gantian mendesak. Menghujam. Gantian pula terdesak.

Karena tak ada wasit tentu tidak ada yang bisa menghentikan. Berlanjut terus. Mungkin sampai pagi menjelang. Sampai kemudian rembulan sendiri yang kelelahan. Seakan terkulai. Rebah masuk laut.