Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 33 - Mencari Cara Bagaimana Bertahan

Chapter 33 - Mencari Cara Bagaimana Bertahan

Hanjo tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Hardiman dan istrinya bertengkar. Dengan dekapan istrinya sebelah tangan saja, Hardiman bisa kehabisan nafas. Apalagi kalau sampai sang istri bertindak lebih jauh: melakukan himpitan. Waduh!

Tiba di rumah, Hanjo disambut dengan pemberitahuan yang mencengangkan dari Bik Sumi. "Tadi sore Bu Lucya dan Melisa datang ke sini. Mereka bertanya tentang Tuan," jelasnya.

"Mau apa mereka?" tanya Hanjo.

"Tidak tahu juga."

Tentu Bik Sumi tidak tahu. Namun Hanjo sudah tahu. Kedatangan mereka pastilah guna memastikan kapan mereka menghadap notaris untuk melihat surat wasiat Mamoi.

Berbeda dengan kedua anak Mamoi itu, Hanjo tidak berselera lagi mengetahui isi surat wasiat itu. Setelah mengetahui surat wasiat untuk dirinya tentang rumah kecil dan mobil tua itu, surat wasiat ini tidak penting lagi baginya.

Kuat dugaannya, surat itu tidak akan memberikan apa-apa padanya. Tetapi justru memberikan penegasan kalau perusahaan dan semua aset Mamoi diserahkan kepada anak-anaknya. Wasiat yang merupakan petaka bagi dirinya.

Ketika besok siangnya Hardiman datang ke kantor, Hanjo menyampaikan kecemasannya itu. Diutarakannya kalau dia sesungguhnya tidak ingin melihat surat wasiat itu. Namun Hardiman tidak sependapat dengan Hanjo.

"Bro harus ikut melihat dan membaca surat wasiat itu. Tidak mungkin tidak," kata Hardiman.

"Aku merasa surat itu akan menjadi petaka," ujar Hanjo menyampaikan dugaan yang sudah bermalam di kepalanya.

"Petaka, maksudnya?"

"Menyebabkan aku kehilangan perusahaan. Kehilangan jabatan sebagai CEO."

Hardiman tertawa. "Belum tentu, Bro."

"Melihat surat pertama itu, prediksi aku surat yang ini akan mempercepat kejatuhan aku," sebut Hanjo tidak bersemangat.

"Sebagai sebuah prediksi bisa saja. Kepastiannya tentu harus melihatnya. Dan itu mesti Bro lakukan."

"Kalau aku tidak mau datang?" tanya Hanjo menyampaikan pikirannya.

"Sangat tidak baik untuk Bro," Hardiman. "Mereka bisa menyebutkan hal-hal yang tidak ada dalam surat wasiat itu. Bisa juga mengatakan yang tidak sesungguhnya. Bagaimana pun Bro harus pergi dan ikut melihatnya."

"Ya, aku pikir lagilah."

Belum sempat Hanjo berpikir, HP-nya berdering. Panggilan dari Lucya. Dibiarkannya saja berdering. "Dari mereka," jelas Hanjo pada Hardiman.

"Angkat saja. Katakan pada mereka Bro siap pergi," saran Hardiman.

Tidak punya pilihan lain, Hanjo menjangkau HP dengan setengah hati. "Ya, hallo," ujarnya menjawab panggilan.

Hanjo mendengarkan. Ia tidak berselera berbicara banyak. Diputuskannya saja. "Oke. Besok setelah jam istrirahat? Baik," ucapnya. Hanjo meletakkan HP.

"Besok siang ke notaris itu," terang Hanjo melirik Hardiman. "Bro bisa ikut?"

"Ikut ke kantor bisa. Tapi aku tentu tidak diperbolehkan ikut melihatnya," jelas Hardiman pula.

"Tak apa. Ikut saja."

Bagi Hanjo kehadiran Hardiman sangat penting. Meski tidak diperkenankan ikut masuk melihat surat wasiat itu. Bisa memberikan masukan dan pendapat. Lebih dari itu, memberikan kekuatan bagi Hanjo.

"Bro punya ide tidak bagaimana aku bisa bertahan meski surat wasiat itu tidak berpihak pada aku?" tanya Hanjo setelah mereka pindah duduk ke restoran sebelah kantor.

"Bertahan sebagai CEO?"

"Iya."

"Mudah itu," ujar Hardiman enteng.

"Mudah? Mudah bagaimana?"

"Rangkul para pemegang saham. Buat mereka sepakat agar Bro tetap sebagai CEO. Bagaimana cara merangkul mereka, tentu Bro lebih tahu," tutur Hardiman.

"Pemegang saham di grup induk hanya berempat."

"Berempat?"

"Mamoi, kedua anaknya dan aku."

"Hanya berempat itu?"

Hanjo membenarkan.

"Kalau hanya berempat itu menjadi susah juga. Apalagi sekarang Mamoi sudah tidak ada. Kalau diadakan voting pun, tentu Bro akan kalah. Dua lawan satu," sebut Hardiman yang berasumsi, sebagaimana biasanya, pemegang sahamnya banyak orang.

"Jadi?"

Kening Hardiman berkerut. Ia tengah memikirkan sesuatu. Tak lama. Ia kemudian tersenyum. "Akte perusahaan ada sama Bro?"

"Di kantor. Di ruangan Mamoi. Kenapa?"

"Kita lakukan perubahan akte. Ditambah pemegang sahamnya. Dua atau tiga orang lagi. Orang-orangnya Bro. Jadi kalau voting pun, Bro yang menang," jelas Hardiman menyampaikan ide gilanya.

"Bisa itu?"

"Bisalah. Cuman tinggal ubah akte."

"Tidak menyalahi? Maksud aku apa tidak bermasalah secara hukum?" tanya Hanjo.

"Prosesnya iya. Tapi hasilnya berkekuatan hukum."

"Kalau ada sanggahan dari mereka. Akte yang baru tidak sama dengan yang lama."

Hardiman tersenyum. "Jangan sampai tahu mereka. "

Ide gila Hardiman masuk ke dalam kepala Hanjo. Ya, ya. Kenapa tidak melakukan itu? Hanjo mengangguk-angguk seakan setuju dengan ide Hardiman. "Bagaimana caranya? Bisa selesai dalam waktu yang singkat?"

"Tinggal serahkan ke notaris."

Ketika kembali ke kantor namun Hardiman tidak ikut lagi, Hanjo mencari dokumen yang diperlukannya itu.

"Untuk apa Pak Bos CEO?" tanya Putri saat Hanjo menanyakan kunci lemari dokumen di ruang Mamoi.

"Aku mencari sesuatu," jawabnya.

"Biar aku yang carikan Pak Bos CEO," ujar Putri pula.

"Tidak usah. Biar aku sendirian," kilah Hanjo tanpa peduli pandangan heran dari mata sekretaris Mamoi itu.

Tidak mudah mendapatkan dokumen itu. Ada ratusan dokumen yang tersimpan pada lemari berkaca dengan konstruksi kayu itu. Hanjo juga tidak tahu tempatnya. Meski dibongkar dan dilihat satu per satu.

Setengah jam lebih membongkar tanpa hasil, Putri masuk. Ia kembali menawarkan bantuan. "Biar aku yang cari. Pak Bos CEO mau dokumen apa?" tanyanya.

Hanjo kembali menolak. "Selesaikan saja pekerjaan kamu," perintah Hanjo menyuruh Putri meninggalkan ruangan Mamoi. Putri ke luar dengan kepala bertanya-tanya.

Tidak hanya Putri, sejumlah karyawan lainnya juga heran melihat pimpinan tertinggi di kantor itu sibuk membuka map. Melihat isinya. Membacanya. Lalu meletakkan kembali. Karena tidak jumpa apa yang dicari.

Riena, salah seorang sekretaris Hanjo, juga merasa bersalah melihat pimpinannnya membuka-buka map. Ia pun masuk ruangan.

"Aduh, kenapa Pak Bos CEO yang kerja? Biar aku yang bantu carikan," tawar Riena.

"Tidak usah!"

Sarita malah mendekat. "Mau cari apa sih Pak Bos CEO?"

"Cari sesuatu," ketus Hanjo tanpa memandang.

"Iya, biar aku bantuan carikan. Pos Bos CEO tinggal bilang apa yang diperlukan."

Lagi-lagi Hanjo menolak. Ia menyuruh Riena kembali ke mejanya. Riena ke luar namun Sarita yang masuk. Sekretaris berbodi aduhai ini malah langsung memegang tangan Hanjo.

"Pak Bos CEO duduk saja. Sebutkan dokumen apa yang diperlukan. Masak Pak Bos CEO yang kerja ini," ujar Sarita seraya mengambil map yang dipegang Hanjo.

Hanjo diam saja. Ia merasa lebih bisa menyerahkan pekerjaan ini kepada Sarita dibandingkan dengan yang lain. Hanjo mendekatkaan kepalanya. "Aku perlu akte perusahaan," ujarnya dengan suara perlahan.

"Akte notaris pendirian perusahaan?" tanya Sarita juga dengan suara lembut.

Hanjo mengangguk. "Ya," ucapnya singkat.

Dengan sigap Sarita mencari-cari map yang tersusun berdiri. Dibukanya satu per satu. Gadis sekretaris ini juga tidak paham di mana posisi map yang diperlukan pimpinannya. Setelah lemari dokumen yang dibuka Hanjo, setidaknya masih ada tiga lemari lagi yang mesti ditelusuri. Memang ada tulisan di dinding map. Tapi hanya kode-kode huruf dan angka.

"Mesti harus dibongkar satu per satu ini Pak Bos CEO," kata Sarita setelah tangannya terasa pegal.

"Cari sampai ketemu."