Hanjo mengedarkan pandangan pada Melina dan Lucya. Bergantian. Kedua anak Mamoi dari suaminya yang pertama itu diam saja. Hanjo memandang lama pada Melina. Namun Lucya yang bersuara.
"Mami meninggalkan surat wasiat. Bahwa semua perusahaan, aset berupa rumah, tanah, ruko, hotel dan kebun sawit diserahkan kepada anak-anaknya," sebut Lucya dengan suara lancar tanpa mengambil nafas.
"Terus apa lagi?" tanya Hanjo tenang seakan tidak terkejut samasekali dengan pernyataan yang didengarnya.
"Harus diserahkan. Dan kami yang akan mengurusnya!" tegas Melina dengan wajah kaku.
Hanjo menahan nafas dengan mengusap mulutnya. "Ada suratnya?" tanyanya.
"Ada. Sama notaris. Kita bersama harus pergi ke notaris itu untuk mengetahuinya," ujar Lucya.
"Belum melihat tapi sudah tahu isinya." Hanjo tidak percaya dengan perkataan Lucya. Namun ia masih bersikap santai. Tidak terlihat ia terkejut atau tidak percaya.
"Notarisnya bilang begitu!" sergah Melina lagi.
Hanjo tertawa tipis. "Biasanya surat wasiat itu tertutup dan rahasia. Baru dibuka notaris setelah yang berwasiat meninggal dunia. Dibuka bersama ahli waris dan orang-orang yang sudah ditunjuknya," kata Hanjo meragukan perkataan Melina.
Lucya tertegun sejenak. Mungkin menyadari salah omongan. "Notaris itu bilang garis besarnya. Belum dibuka juga," ujar Lucya memperbaiki ucapannya.
Hanjo menjangkau cangkir kopi. Diteguknya. Ia menyandarkan badan ke sandaran kursi. "Lalu apa lagi?" tanyanya setelah meletakkan cangkir di atas meja.
"Kapan kita ke sana?" tanya Lucya.
"Ke sana kemana?"
"Ke notaris itu."
Hanjo tidak segera menjawab. Bukannya tidak mau pergi. Tapi ia perlu mencari waktu. Perlu waktu mempersiapkan diri. Selain itu, ia juga tidak mau terburu-buru. "Mungkin lusa," ujarnya kemudian.
"Kenapa tidak sekarang? Siang ini," tanya Melina dengan dahi berkerut.
"Aku ada acara," Hanjo beralasan.
"Besok?"
"Juga tidak bisa," tegas Hanjo menggelengkan kepala.
Hanjo mendengar Melina mendengus jengkel. Ia pura-pura tidak tahu. Ia hanya mengusap rahangnya yang sudah lebat ditumbuhi bulu –sudah beberapa hari tidak dicukur.
"Oke kalau begitu," ujar Lucya. Keduanya langsung berdiri tanpa permisi. "Lusa pasti kan?" tanyanya sebelum berbalik badan.
Hanjo menjawab dengan anggukan. Setelah kedua wanita muda itu melangkah kaki dua atau tiga langkah, Hanjo buka mulut. "Mami kalian juga meninggalkan wasiat untuk aku."
Seperti yang sudah diduga Hanjo, langkah kaki Lucya dan Melina terhenti. Keduanya membalikkan badan dan menoleh serentak pada Hanjo.
"Surat wasiat?" tanya Lucya heran. Keduanya masih berdiri kaku.
Wajah Melina juga memperlihatkan rona tegang. Ia tidak percaya. Tidak mungkin Mami membuat surat wasiat untuk si Blekok itu. Pastilah dia membuat surat wasit palsu, dengusnya. Melina memandang dengan mata berkilat.
Hanjo mengangguk mantap dengan senyuman tipis. Lucya dan Melina saling pandang. Mereka meragukan pernyataan Hanjo.
"Boleh kami lihat?" Lucya memandang serius. Di sebelahnya, wajah Melina masih kaku.
"Sama notaris juga," sebut Hanjo ringan.
"Tidak mungkin ada dua surat wasit," sergah Melina cepat.
"Siapa bilang?"
Melina tidak menjawab. Ia juga merasa tidak pasti dengan perkataannya. Ia tidak tahu pasti apakah surat wasiat mesti hanya satu dan tidak boleh lebih. Lucya samasekali tidak paham dengan hukum. Apalagi dengan surat wasiat.
Keduanya juga tidak menyangka mereka akan secepat ini berhubungan dengan surat wasiat dari Mami. Mereka pun belum tahu pasti Mami sudah membuat surat wasiat. Adalah Om Bernard, pengacara Mami, yang memberitahu bahwa ada surat wasiat untuk mereka berdua saat berjumpa di perkuburan. Lucya dan Melinda diminta datang ke kantor bersama Hanjo.
Hanjo menahan senyum. Ia menikmati kebingungan kedua wanita itu. Mungkin saking bingungnya keduanya seakan lupa untuk duduk. Atau memang tidak mau duduk.
Kepada Hardiman temannya yang pengacara, bila tengah ngopi bersama, Hanjo sering bertanya hal-hal kecil yang berhubungan dengan hukum. Tentang apa saja. Terutama soal yang berhubungan dengan masalah perusahaan.
Termasuk soal surat wasiat. Ia pernah bertanya tentang itu. Dari Hardiman, Hanjo tahu bahwa tidak batasan untuk surat wasiat. Baik untuk isinya maupun jumlahnya. Berapa pun boleh surat wasiat. Asal asli dan dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Dan diketahui dan tercatat secara resmi di kantor notaris atau pengadilan.
Hanjo tersenyum. Ia teringat Hardiman. "Tidak ada larangan. Sepuluh pun boleh. Asal asli." Itu perkataan temannya semasa SMA itu yang diucapkannya lagi pada Lucya dan Melina.
Melina dan Lucya kehabisan kata. Keduanya tidak berani mendebat. Mereka samasekali tidak paham. Keduanya takut salah omongan lagi yang bisa-bisa dimanfaatkan Hanjo. Namun mereka sangat terkejut dengan adanya dua surat wasiat. Satu untuk mereka. Sementara satu lagi untuk Hanjo. Bagaimana kalau saling tidak sesaui dan bertentangan?
Dalam perjalanan ke apartemen, suami Lucya, Robert, tidak percaya dengan pernyataan Hanjo. "Itu hanya bualan agar dia juga mendapatkan. Mana ada dua surat wasiat," katanya.
Melina berpendapat yang sama. "Jangan-jangan dia membuat surat wasiat palsu. Dengan tujuan mendapatkan harta Mami bisa jadi dilakukannya penipuan seperti itu," sebutnya.
"Katanya surat wasiat itu juga ada sama notaris," ujar Lucya yang mulai bimbang kalau Mami tidak hanya membuat surat wasiat untuk anak-anaknya tetapi juga untuk suaminya, Hanjo.
"Tidak mungkin itu," tegas Melina.
"Mungkin ada tapi palsu," kata Robert mengulang dugaannya.
"Kalau surat wasiat untuk dia ada dan benar-benar asli, bagaimana?" tanya Lucya menyampaikan pikiran buruk yang sesungguhnya tidak ingin dia lontarkan.
Tidak ada yang menjawab. Robert terkunci mulutnya. Sementara Melina tidak berani bersuara.
"Bagaimana?" desak Lucya lagi.
"Dipastikan dulu kebenarannya. Ada atau tidak. Asli atau palsu," tutur Robert kemudian.
"Kita juga mengajak dia ke kantor Om Bernard untuk melihat surat wasiat Mami. Jadi mana yang harus dilihat duluan? Aduh, makin bingung aku," keluh Lucya. "Bagusnya bagaimana?' tanyanya lagi.
"Bagusnya melihat surat yang ada sama dia duluan. Sama pengacara dia itu,"
"Apa dia mau? Pada kita dia janji lusa ke kantor Om Bernard," sebut Lucya.
"Batalin ke Om Bernard. Lihat surat dia duluan," kata Robert.
"Ya kalau dia mau. Kalau tidak?"
"Buat alasan Om Benard tidak bisa hari itu. Bilang saja dia ada rapat di Ikadin atau kantor organisasi pengacara yang dia mesti hadir. Pertemuan diundur. Waktunya akan dikasih tahunya nanti. Jadi ada alasan untuk melihat surat yang ada sama pengacara dia duluan," papar Melina.
Robert menyampaikan persetujuannya. Namun Lucya masih terbawa dengan pikiran negatifnya. "Oke itu kita lakukan. Dan dia mau. Kalau surat yang ada sama dia itu asli dan benar adanya, bagaimana sikap kita? Apa yang mesti kita perbuat?
Empat orang yang dalam mobil itu kembali terdiam. Pertanyaan Lucya adalah pertanyaan yang sebetulnya sudah ada dalam kepala mereka juga. Tapi semuanya tidak punya jawaban. Apa yang mesti dilakukan?