Dengan pandangan yang menggelap, dia berusaha berjalan ke arah bathroom sambil mencengkeram kepalanya yang berdenyut menyakitkan.
Belum pernah Ramon merasakan rasa sakit seperti sebelumnya dan walaupun sesekali ada beberapa kenangan yang muncul dalam kepalanya mengenai kejadian empat tahun lalu atau kenangan- kenangan lama yang telah dia lupakan, tapi rasa sakitnya tidak pernah sampai seperti ini.
Ramon berjalan terhuyung- huyung menuju bathroom dan ketika dia telah berada di dalam, dia segera menutup pintunya agar erangan kesakitan yang keluar dari bibirnya tidak membangunkan Hailee dan membuatnya khawatir, karena itu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Suara Dr. Mark, terapisnya, kembali bergema di kepalanya, mengingatkan dia akan apa yang seharusnya dilakukan kalau hal seperti ini terjadi.
Maka dari itu, dengan perlahan, Ramon mengikuti petunjuk yang dia ingat dan duduk dengan bersandar di lantai bathroom yang dingin, dia berusaha mengatur nafasnya dan membiarkan ingatan- ingatan itu mengalir dengan sendirinya dan tidak mencoba untuk melawan.
Ingatan pertama yang muncul di dalam pikirannya adalah ketika dia tengah berdiri di sebuah balkon hotel dan tengah memandang lampu- lampu kota yang menyala di malam hari.
Angin dingin berhembus menerpa kulit Ramon dan itu terasa nyata bagi dirinya kini, walaupun sebenarnya adegan itu hanyalah bagian dari ingatannya yang kembali.
Ketika Ramon tengah berdiri di sana, menikmati keheningan, seseorang tiba- tiba memeluknya dari belakang dengan erat.
Untuk suatu alasan, Ramon mengetahui siapa yang tengah memeluknya kini.
"Giana," ucap Ramon lirih dan nama itu meluncur dari bibirnya, terdengar sangat intim dan familiar. Seperti itukah Ramon selalu memanggilnya dulu?
Mendengar namanya disebut, Giana tertawa pelan di balik punggung Ramon yang telanjang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya, dia mengintip dari balik punggung Ramon dan menatapnya dengan matanya yang sayu.
Giana hanya mengenakan bathrobe dan rambutnya sedikit basah, tampaknya dia baru selesai mandi.
"Tidak ada," jawab Ramon dengan suaranya yang datar dan Giana mengerucutkan bibirnya dengan manja.
"Kau bohong, aku tahu ekspresi itu," ucap Giana. "Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya. "Katakan saja, aku akan mendengarkan."
Untuk sesaat Ramon menatap Giana, tapi wanita itu tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya Ramon rasakan, karena dia menutupi perasaannya dengan baik.
"Tidak ada," ucap Ramon lagi, mengulangi jawaban yang sama, kemudian dia menggerakkan tangannya ke belakang untuk meraih tubuh Giana, yang mana kemudian dia memeluk wanita itu dengan erat.
Mendapat perlakuan manis seperti itu tentu saja membuat Giana senang. Dia membenamkan wajahnya ke dada Ramon, sementara pria tersebut mengusap rambutnya yang panjang.
"Bagaimana denganmu?" tanya Ramon, tatapannya kosong ketika dia melihat cahaya malam kota A. "Bagaimana hubunganmu dengan Leon?"
Mendengar nama itu disebut, Giana mendesah dengan lelah. "Dia masih tidak ingin kembali ke rumah dan bahkan tidak tergiur untuk mendapatkan warisan keluarga Dawson. Seandainya Paman Leon mau meminta maaf pada kakek, pasti dia akan dimaafkan, karena biar bagaimanapun juga dia adalah putra pertama."
"Hm," Ramon bergumam ketika dia mendengar jawaban Giana. "Kalau Leon mendapatkan warisan tersebut, bukankah posisi Larry akan terancam?"
Giana mengerucutkan bibirnya. "Ya, aku tahu…" gumamnya dengan murung. "Tapi, kalau aku boleh jujur, aku lebih menyukai paman Leon daripada ayahku sendiri."
Kemudian keheningan melingkupi mereka berdua setelah jawaban Giana tersebut, sampai wanita itu kembali berkata.
"Mungkin ini aneh, tapi kenapa kau sangat tertarik mengetahui keadaan paman Leon? Atau ini hanya perasaanku saja?" tanyanya dengan hati- hati, sambil menatap Ramon dengan matanya yang besar.
Dan kenangan tersebut berhenti sampai di sana.
Ramon tidak bisa mengingat apa jawabannya saat itu, atau bagaimana reaksinya ketika Giana mempertanyakan hal tersebut.
Tapi, yang pasti, satu hal yang dia ketahui. Entah apapun hubungannya dengan Giana, tampaknya dirinya tertarik dengan informasi mengenai Leon Dawson.
Siapa pria itu sebenarnya? Dan apa hubungannya dengan Lis?
Informasi yang Ramon dapatkan tampaknya sangatlah kurang… dia harus mengetahui lebih jauh mengenai hubungan Lis dan Leon serta siapa pria ini sebenarnya.
Setelah Ramon merasa rasa sakit kepalanya telah sedikit berkurang, dia lalu melangkah dengan gontai ke kamarnya dan mendapati Hailee masih tertidur.
Entah kenapa, menatap wajah istrinya yang tengah tertidur dengan pulas tanpa rasa khawatir pada sekitarnya, membantu Ramon merasa jauh lebih baik.
Dengan perlahan, Ramon naik ke atas ranjang dan memeluk Hailee dari belakang, mengecup tengkuknya dan ini membuat Hailee membalik badannya, masih dalam keadaan tertidur dan memeluknya.
Ramon mendekapnya lebih dekat, hingga aroma khas tubuh Hailee dapat tercium olehnya dan ini membantunya kembali terlelap.
Ramon berharap ingatannya tidak datang secara tiba- tiba lagi seperti tadi, karena dia masih merasa lelah dengan semua misteri yang mengelilingi dirinya.
Untuk saat ini, Ramon hanya ingin menikmati tidurnya dan melewati malam dengan Hailee dalam pelukannya.
==============
Giana mendesah ketika Dillon menyentuhnya dengan kasar.
Nafas mereka memburu di kegelapan kamar yang hanya diterangi oleh cahaya temaram dari bulan yang menyorot keduanya dari jendela kamar.
Dillon menarik Giana, hingga wanita itu menatapnya, sementara Giana menatap Dillon dengan sorot mata penuh hasrat.
Ini memang bukan kali pertama mereka melakukan ini, tapi ini adalah pertama kalinya Giana melakukan hal ini dalam kondisi sadar dan kini dia dapat melihat betapa Dillon menginginkannya.
Pria itu menginginkan dirinya seutuhnya dan tidak ada kata lain yang dapat melukiskan bagaimana Dillon menatapnya sekarang selain kata memuja.
Cahaya rembulan yang lembut masuk ke dalam kamar tersebut melalui jendela besar di belakang Dillon, menyorot punggungnya yang berkilauan karena keringat yang membasahi bahunya yang telanjang.
Semua ini tampak tidak nyata dan memabukkan, tapi ketika Dillon berhenti untuk berbisik pada Giana, suaranya bergetar dan dipenuhi oleh emosi yang dalam.
"Giana aku mencintaimu, aku menginginkanmu…" bisiknya penuh harap agar Giana mengatakan hal yang sama, atau kalau tidak, mereka akan terbangun dan bersikap seolah hal ini tidak pernah terjadi dan Dillon tidak menginginkan itu.
Sementara itu, Giana dapat merasakan nafas Dillon yang hangat di lehernya dan ketika dia menjawab pernyataan putus asa pria tersebut, dia memeluk tubuhnya dengan erat.
"Ya, aku juga… kembalilah padaku…"