Chereads / Pembalasan Alicia / Chapter 7 - Privasi

Chapter 7 - Privasi

Part 7

Detak jantungnya berdetak sangat cepat, kepalanya semakin bertambah pusing.

Tanpa berkata apapun ia beranjak dari tempat duduk meninggalkan Gabriel yang masih berdiri.

"Huh, begini ternyata rasanya jatuh cinta."

Alicia berjalan dengan tergesa-gesa, beberapa kali saat berjalan ia menabrak karyawan.

Fikirannya kali ini hanya mama dan mama.

Ia tak ingin kehilangan mamanya, tak pernah terfikir jika mamanya tidak ada di dunia.

"Hey Alicia," sapa seseorang dari suaranya sangat familiar.

Alicia memutar badan nampak Zena berdiri di hadapannya sembari tersenyum.

"Ada apa? Ngapain lu kesini?" tanya Alicia ketus.

"Gua kesini mau ke lihat bagaimana perkembangan perusahaan calon suami gua," desis Zena. Matanya mengamati sekeliling.

Entah apa yang di lihat wanita satu itu.

"Jangan mimpi ini perusahaan mama gua," ejek Alicia.

"Oh ya terus mana mama lu? Mama lu aja diam-diam aja tuh?"

Sejenak Alicia terdiam ucapan Zena sangat menyigung perasaaan. Apa maksud ucapannya itu?

Apa karena sekarang Laura terbaring koma?

"Kenapa diam? Tak bisa bicara lagi? Fakta kan?"

Tangan Alicia mengepal, rasanya ia ingin memberikan hadiah pada wanita tak punya perasaan ini.

Zena terus saja mengoceh membuat darah di tubuh Alicia mendidih.

Plak!!!

Alicia menampar wajah wanita itu dengan sangat keras. Hingga meninggalkan warna merah di pipi mulus Zena.

"Hei! Apa-apaan, Lu!" teriak Zena kesakitan tangannya tak lepas memegangi pipi.

"Udah gua bilangin diam mulut itu . Sekarang rasakan akibatnya kan?"

"Oh jadi lu mau main-main sama gua ya?" Tangan kecil Zena meraih rambut Alicia lalu, menariknya dengan keras.

"Rasakan ini!" Zena menarik rambut Alicia membuat kepalanya bergerak kekanan kekiri.

Akan tetapi bukannya melawan Alicia diam. Dia sama sekali tak melawan sedikit pun.

Sikap Alicia yang diam membuat Zena semakin meras senang.

Semakin kuat ia menarik rambut Alicia, tapi tiba-tiba Alicia meraih tangan Zena memutarnya dan mengunci tangan itu.

Jelas saja Zena merasa kesaktian dan berteriak.

"Au!! Sakit! Help me! Tolong!" teriaknya keras.

Kebetulan saat itu Riza melewati tempat parkir. Begitu mendengar suara minta tolong bergegas ia mencari sumber suara.

Matanya terbelalak kala melihat atasannya sedang mengunci tangan seorang wanita.

"Bu Alicia!" Riza berlari mendekati mereka berdua.

"Bu, ada apa ini? Tolong lepaskan dia, Bu?" Ragu-ragu ia mengucapkan kata itu.

"Siapapun kamu help me, sakit," pinta Zena dengan nada memelas.

"Bu tolong jangan seperti ini." Riza mencoba menenangkan persaan Alicia.

Namun, Alicia tak menghiraukannya sama sekali.

"Aaaa!!" Suara Zena menahan sakit.

"Gua peringatkan sama lu jaga mulut lu kalau masih ingin hidup!" Alicia melepaskan tangan Zena.

Segera Zena berlari meninggalkan Alicia dan Riza tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Maaf, Bu. Saya bukan ingin ikut campur tapi saya," ujar Riza.

Alicia tak menjawab ucapan Riza, hanya membalas dengan lirikan mata yang begitu menusuk.

"Tapi ibu hebat, apa ibu dulu seorang gangster?" tanyanya lagi dengan polos.

Lagi atasannya itu tak menjawab sama sekali. Membuat hati Riza bertanya baru kali ini dia bertemu dengan wanita dingin seperti Alicia.

Tanpa basa-basi Alicia bergegas masuk kedalam mobil lalu pergi begitu saja.

"Huh, wanita yang dingin." Riza meghela nafas panjang.

***********************

Sepanjang jalan Alicia tak bisa berkonsentrasi. Keadaan lalu lintas siang ini sangat padat.

Butuh waktu lebih lama untuk tiba di rumah sakit.

Teriknya matahari menambah suasana hati Alicia begitu runyam.

Tit....tit

Suara klakson mobil bergantian, entah apa yang terjadi di depan sana.

Alicia mencoba beberapa kali menghubungi dokter Josh tapi, nihil ia sama sekali tak mengangkat telpon.

Fikirannya mulai gusar rasa takut kehilangan mendominasi.

Akhirnya Alicia putuskan untuk keluar dari dalam mobil.

Tampak beberapa mobil masih saja berbaris rapi.

"Tak ada pilihan lain aku harus berjalan menuju rumah sakit," gumam Alicia.

Ia langkahkan kakinya menusuri jalan trotoar. Cuaca yang panas membuat tenggorokannya terasa kering.

Lelah kakinya melangkah, sengaja ia beristirahat di bawah pohon.

Angin sepoi-sepoi membuatnya merasa katuk.

Saat matanya hendak terpejam seseorang memangil namanya.

"Alicia," panggil lelaki yang berdiri di sebelah.

Mendengar namanya di panggil kepala Alicia mendongak.

Ternyata lelaki itu adalah Gabriel, entah sejak kapan ia mengikuti langkah Alicia.

Dalam hati yang terdalam sejujurnya Alicia merasa sangat risih karena sifat Gabriel.

Dia memang seorang lelaki yang gentelmen dan bertagung jawab tapi entah mengapa akhir-akhir ini sifatnya sangat menjengkelkan.

Seandainya saja ia bukan sahabat dan kaki tangan perusahaan sudah pasti Alicia akan memecatnya.

"Al, kamu ngapain di sini?" tanya Gabriel.

"Nyari tukang cilok," celoteh Alicia tanpa menatap wajah Gabriel. Ia masih merasa jengkel.

"Kamu marah sama aku?"

"Fikir aja sendiri." Alicia bergegas bangun dan melanjutkan kembali perjalanan menuju rumah sakit.

Namun, dengan sigap Gabriel mencegah langkah kakinya.

"Kamu mau kemana?" Gabriel menahan langkah kaki Alicia.

"Minggir." perintah Alicia.

Kedua bola mata mereka saling tatap, dari balik bola mata berwarna biru Gabriel mencoba mencari kejujuran.

Apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat sikap Alicia berubah drastis.

Dia rindu Alicia yang dulu, gadis manis dan ramah.

Andai Alicia tahu dari hati terdalam seorang Gabriel Alexander begitu mencintai dirinya.

"Bu, Alicia!"

Teriakan itu seketika mengejutkan Gabriel. Riza berjalan mendekati Alicia dan Gabriel yang saling berhadap-hadapan.

"Aduh lagi ngapain mereka berdua," batin Riza

"Bu, Pak," sapa Riza.

"Ada apa kamu kesini?" Gabriel dengan wajah datar seperti tak menyukai kehadiran Riza.

"Maaf, Pak, Bu tadi saya mau ke supermarket mau beli sesuatu eh lihat ibu Alicia disini," terang Riza sejujurnya ia merasa takut mengatakan itu.

"Alicia baik-baik saja sudah balik lagi sana!" ujar Gabriel dengan nada menekan

"Oh baiklah, Bu. Pak saya pamit."

"Riza tunggu!" Alicia berjalan mendekati Riza yang masih berdiri di sebelah motornya.

"Ada apa, Bu?"

"Bisa antarkan saya ke rumah sakit," kata Alicia.

"Jadi tadi kamu mau kerumah sakit kenapa enggak ngomong langsung," pekik Gabriel terselinap rasa marah karena Alicia tak mengatakannya langsung apa tujuan ia duduk di kursi pinggir jalan.

"Mana helmnya," Alicia menepuk pundak Riza.

"Ah i--ini, Bu." Riza menyodorkan sebuah helm ke Alicia.

"Cia! Aku sedang bicara sama kamu! Apa karena hal sepele itu kamu marah sama aku!" bentak Gabriel kini ia tak bisa lagi membendung emosinya.

Alicia menghela nafas, megapa hari ini rasanya Gabriel sangat menjengkelkan. Dia selalu ingin tahu semua yang di lakukan oleh Alicia.

Apakah sifat seorang kakak akan begini ke adiknya?

Mendengar Gabriel yang terus saja berucap Alicia mendekati lelaki beramata indah yang ia kenal sejak masih kecil dulu.

"Berperilaku lah seperti seharusnya kamu hanya sahabatku dan jangan pernah menggurui aku. Aku juga punya privasi. this is my life, this is my choice, understand ?"

"Tapi Al."

Alicia tak menghiraukan ucapan Gabriel sama sekali ia tetap pergi ke rumah sakit bersama Riza.

Sabar ya Gabriel dengan ya cia punya privasi wkwkw.